Saat terbangun dari tidur, James masih saja termangu di kamarnya. Sebetulnya, dia tak bisa tidur dengan baik semalam. Ketika hendak memejamkan mata, perkataan itu acap kali muncul.
Adiknya tak bisa diselamatkan.
Dia harus dibunuh sebelum membahayakan yang lain.
James mana sampai hati berbuat sejauh itu. Tapi kemudian ia bimbang karena orang-orang menatapnya kasihan. Maria, Jillian, Steward—pria asma dan dua anaknya, Bill dan Freddie. Haruskah ia benar-benar melenyapkan Rachel? Ia bahkan tak mampu melakukannya.
"Apa yang dikatakan dokter Austin benar, Ayah. Kau dengar sendiri 'kan, Bill? Monster itu berbahaya." Itu suara Freddie bicara di ujung dapur. Suara cemprengnya begitu keras hingga sampai ke tempat James.
Mereka memang sering bangun lebih awal. Sebab Steward harus minum obatnya tepat waktu, pun dengan Bill dan Freddie—yang siaga menyiapkan segala keperluan ayah mereka.
"Kecilkan suaramu, Fred. Tidak enak jika paman James mendengarnya," ujar Steward.
Lagi-lagi, James terdiam. Biar jauh pun pembicaraan mereka bahkan tak teredam sama sekali. Justru malah semakin mengiris hatinya.
"Ya, kau selalu seperti itu. Bocor!"
"Aku tidak bocor! Aku bilang apa adanya. Bibi Rachel memang baik, tapi itu dulu! Dia seorang monster sekarang."
Kemudian terdengar sahut-menyahut pertengkaran. Hal biasa yang selalu diributkan oleh anak-anak. Saling membela diri, tidak mau mengalah, dan merasa paling benar.
"Hei? Kau terbangun?" Jillian menelengkan kepala. "Jangan mendengarkannya."
Perempuan itu tidur di kamarnya semalam. Sepeninggalan Rachel, entah mengapa Jillian terlihat lebih peduli padanya. Itu seperti meninggalkan kesan berlebih untuknya.
"Pergilah. Aku benar-benar tak ingin diganggu."
"Oke, kalau kau butuh sesuatu ... ketuk saja kamarku. Kuharap aku bisa membantumu." Jillian berucap tulus.
Ia hendak kembali ke kamarnya. Namun seketika langkahnya terhenti saat mendengar perkataan James.
"Menurutmu, apa tindakanku semalam benar? Apa jawabanku sudah tepat?"
Senyap. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Jillian. Hal itu mengundang tawa miris dalam hatinya. Pertanyaan itu seperti mengasihani dia, mengolok-ngoloknya yang akan kehilangan keluarga satu-satunya. James pun tak sanggup membayangkannya.
"Retoris. Itu maksudmu, 'kan?" James menghela napas. "Aku tau ...," ia menimang-nimang. "Kalau aku yang melakukannya, jelas takkan bisa."
"Apa yang kau maksud?"
"Katakan pada Austin untuk membunuh dia agar tak lagi merasakan sakit."
****
Rumah ini, biarpun luas—tetap saja terasa pengap. Suasana di dalam sedang tidak bagus. Leher terasa tercekik saking tidak nyamannya. Ingin melakukan sesuatu pun tidak enak. Satu-satunya yang membantu hanya tiduran—walau harus berguling kesana-kemari.
Ia jadi teringat kemarin.
"Aku minta maaf atas perkataanku. Maaf—mulutku kadang susah dikontrol." Kirey tertunduk. Di hadapannya ada Jillian dan James yang duduk berjarak.
Jillian menoleh. "James?" Panggilnya pada pria itu yang berkutat dengan sesuatu di atas meja.
"Aku akan memikirkannya—" ia meralat, "Kau mau mengunjungi adikku. Aku tak bisa menjamin hal-hal yang terjadi." James kesusahan berkata-kata. "Seperti Jill, aku juga tak ingin ada korban lagi. Yang dikatakan Austin itu benar, aku tidak bisa menerima fakta saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
RUN OUT
Ficção CientíficaPenyakit flu burung mulai menjangkiti masyarakat satu persatu. Banyaknya unggas yang mati secara bersamaan seperti membuktikan kekhawatiran para dokter. Mereka memperkirakan para pasien akan merasakan dampak yang lebih parah dari sebelumnya. Beberap...