4

311 44 8
                                    

Tangisannya yang semula pelan, kini berubah menjadi isakan, meski ia coba tahan. Perlahan terdengar sebuah langkah kaki yang menghampiri, meski masih memejamkan mata, Irene tahu kalau orang tersebut tampak berjongkok di depannya.

"Gue pakein ya?" Ucap perempuan yang lebih muda tiga tahun dari nya, yang kini mengambil kotak P3K itu ke pangkuan.

Irene mengangguk tanpa harus melihat siapa yang berbicara, jelas ia tahu betul siapa suara ini. Dengan pelan ia menunjuk ke balik bahu yang tertutup kemeja. Ada beberapa titik lebam disana. Bikin Seulgi jadi meringgis sendiri.

"Mau sampai kapan sih, kak?" Tanyanya pelan, sembari mengoleskan salep memar ke beberapa titik kulit yang membiru dengan lembut, takut kalau Irene merasa kesakitan.

Tangisan Irene makin pecah, sesaat jemari Seulgi dengan lembut mengelus punggungnya, mencoba menenangkan.

"Gue masih sayang, Gi. Tapi gue juga gak kuat kalau harus di giniin, gue harus apa? Kalau pekerjaan nyuruh gue buat syuting sama lawan jenis?" Ucapnya sedikit merancau, meski sebisa mungkin ia pelankan suara itu takut membangunkan yang lain.

Seulgi selalu tahu betapa jatuh cintanya sang leader pada sosok dari teman sekolah itu, yang ia yakini sebagai cinta pertama. Yang ia bingung kalau hubungan kedua manusia itu jadi makin rumit kian waktu.

"Gue gak ngerti kalau hubungan sesama cewek bisa sampai segini nya. I mean, kok bisa dia main tangan dan lo gak ngelawan sama sekali" ucapnya berkomentar,

Irene menggeleng lemah,

"Dia gak mukul, aku yang mukul diri sendiri karena dia berusaha bunuh diri tadi sore. Aku gak tahu harus berbuat apa lagi buat nenangin dia, Gi"

Ah, self harming? Seulgi bahkan gak nyangka kalau seorang Irene yang terkenal kuat bakal ngelakuin hal bodoh kayak gini demi orang yang dia sayang. Perkataan Wendy yang sejak tadi ia dengar dari balik pintu kamarnya, tampak terasa benar di kepala.

Bukan bermaksud menguping, karena sejak kepulangan mereka ke dorm malam tadi, Seulgi tak merasakan kantuk sedikitpun. Sudah seperti biasa, alkohol bikin dia jadi sulit tidur, makanya saat mendengarkan pertengkaran kecil keduanya, bikin Seulgi jadi mengerti kemana arah pembicaraan ini.

"Jangan bilang kalau dia juga ngancem kamu?" Ucap Seulgi terdengar marah, meski intonasi nadanya masih pelan.

"Dia bakal up soal hubungan kita ke internet kalau aku gak nurutin semua kemauannya, aku takut kalau itu bakal berdampak sama grup. Cukup berita terakhir kali aja yang ngancurin, aku gak mau kejadian lagi" kata Irene sembari memeluk Seulgi erat, terlalu takut akan kenyataan di depan mata yang bahkan belum tentu terjadi.

"Anjing, sinting tuh orang!"

Seulgi menarik diri dari pelukan, ia menatap ke arah netra Irene dengan tajam dan berkata,

"Lo gaboleh bego, anceman kayak gitu bisa di pakai buat jeblosin dia ke penjara. Peduli apasih lo soal skandal? Agency gak bakal tinggal diam juga. Dan please, demi semua member dan staff lain, lo harus bertindak waras Kak" ujar Seulgi dengan tegas, meski raut wajahnya gak kalau frustasi.

"Gue gamau ngelukain dia, Gi. Tapi gue janji bakal lepas dari hal ini secepatnya, lo percaya gue kan?"

Irene menatap Seulgi dengan penuh harap, tentu perempuan yang lebih mudah itu mengangguk mantap.

"Thanks" ucap Irene mencoba tersenyum.

"Btw lo harus minta maaf ke Wendy, dia yang susah payah ngelobby staff stasiun tv buat gak nge up masalah lo absent tadi. Dan ya, dia juga cari tahu soal kehidupan pribadi lo karena dia perduli. Lo boleh marah, tapi gak semua orang di muka bumi ini gak setulus keluarga lo, Kak. Ada spesies kayak gue, Joy bahkan Yeri yang memang perduli. Dan salah satunya Wendy" ucapnya gak kalah serius malam itu.

Moonlight Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang