8

409 42 6
                                    

Baru aja Irene ingin memejamkan mata, dering ponselnya lebih dulu memecahkan rasa kantuknya yang sudah di ujung. Ia mengerang marah sesaat harus membuka matanya lebar, mengambil ponsel itu di samping nakas, melihat siapa penelepon bodoh yang hendak mengganggu tidur indahnya di sepertiga malam begini.

'A🤍' sebagai id pemanggil,

Irene dengan buru-buru mengusap layar ke kanan, mencoba mengangkat panggilan itu secepat kilat, sebab desiran darahnya mendadak naik sampai dada.

"Iya?"

".."

"Sekarang banget? Aku takut ada yang lihat"

".."

"Ah iya maaf, aku kesana.." ucapnya dengan gemetar sembari buru-buru mematikan panggilan.

Irene mengambil syal dan menggulungkannya ke leher sampai menutupi setengah hidungnya, lalu memakai topi hitam yang biasa ia gunakan untuk menutupi wajah agar tak di kenali orang-orang sekitar. Bahkan ia sama sekali lupa untuk memakai bra di balik hoodie yang menutupi tubuh itu, sangkin ingin cepat sampai pada tempat pertemuan.

Dengan pelan ia membuka pintu kamarnya, terlalu takut untuk membangunkan Seulgi yang masih terlelap pada sofa, mencoba mencari keberadaan Wendy yang mungkin masih aja berada di kamar Seulgi, sebab mereka memutuskan untuk tidur terpisah, toh kamar Seulgi masih kosong untuk perempuan muda itu tempati hari ini.

Ia beranjak pelan, menyusuri ruang tengah yang jadi penghubung ke pintu utama, lalu memakai sepatunya dengan sembarang, tanpa mengikat tali-tali itu sama sekali, sebab di kepalanya hanya satu; ingin cepat sampai menemui kekasihnya yang mungkin sedang menunggu di luar sana dengan kondisi cuaca yang mulai dingin.

Salju akan segera turun dalam hitungan minggu.

Baru saja selesai menutup pintu dengan rapat, ia begitu terkejut saat sebuah suara mengintrupsi di balik punggung,

"Mau kemana?" Tanya Wendy penuh selidik, menunggu jawaban dari mulut Irene dengan sabar,

"Anu, ketemu dia" kata Irene dengan jujur meski pelan. Ia terlalu panik untuk menemukan jawaban lain sebagai tameng, lagian orang normal mana yang bakal keluar apartemen pada pukul tiga dini hari di kondisi cuaca kayak gini?

"Ah i see, mau gue temenin?"

Irene menggelengkan kepalanya pelan, baik kedua netra itu mulai berkaca-kaca, saat merasakan rasa takut yang menyeruak.

Wendy mengangguk pelan, ia menyalakan layar ponselnya,

"Kirimin gue location lo, kalau ada apa-apa gue bakal turun kesana, btw.." ungkapnya sesaat menatap tali sepatu yang berantakan menyentuh lantai tersebut.

Dengan sedikit berjongkok, Wendy langsung mengikat kedua tali sepatu itu dengan erat tanpa diminta.

"Lo harus proper untuk membela diri sendiri, at least sepatu lo cukup kencang buat di bawa lari kalau ada apa-apa" katanya sembari tersenyum hangat.

Irene tersenyuh sebentar, terlalu takjub sama aksi sederhana barusan yang menurutnya jarang ia temui di orang sekitar, bahkan mungkin kekasihnya.

Tapi belum sempat ia menjawab, layar ponselnya lebih dulu berdering sekali lagi, menandakan kalau ia harus segera pergi.

Wendy mengerti situasi, ia mengangguk pelan menandakan kalau ia membiarkan untuk wanita itu segera beranjak dari sini. Irene pun segera berlari untuk menemui perempuan lain yang mungkin sedang menunggunya di sebrang gedung.

Tanpa tahu kalau ada sepasang mata yang masih setia memperhatikan punggungnya pergi dari sini.

.

"Mana uangnya?" Kata perempuan yang lebih tinggi dengan rambut pendek itu, menyerupai lelaki. Kalau saja orang-orang tak memperhatikan buah dada yang hampir tak terlihat di balik binder itu, mungkin semua orang bakal mengira kalau yang sedang berpapasan dengan Irene ini adalah lelaki tulen.

Moonlight Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang