Risih

458 71 6
                                    

I don't know what to feel about this one but I hope it's as good as the other chapters LOL

***

"Cici mau sampai kapan sih gimik kapal-kapalan kayak gini?" tanya seorang perempuan yang sedang menghadap ke arah laut.

"Maksud kamu apa?" balas perempuan satunya. Sudah beberapa minggu ini mereka tegang. Entah karena pekerjaan, hubungan dengan satu sama lain, atau kombinasi dari itu semua.

"Aku risih. Orang jadi mikir yang aneh-aneh. They're objectifying us, Ci. Kalau mau naik, ya, naik pake cara lain—yang lebih berkelas."

"Aku deket sama kamu bukan karena kapal doang, ya. Aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Iya, aku ngerti kok, kamu sekarang terkenal banget. Jauh lebih banyak yang suka kamu dibanding aku. Tapi, kayak gini? Keterlaluan," ungkap Cynthia, perempuan yang dipanggil 'Ci', itu.

Ia mencoba mengambil nafas dan menenangkan diri, berusaha agar air matanya tidak tiba-tiba turun. Pada saat itu, ia berhasil, tetapi ia tidak tahu bagaimana nantinya. Tak mau juga membayangkan masa depan.

"Nggak usah berlagak kayak paling tersakiti deh. Selama ini, aku kurang-kurangin interaksi sama kamu di di depan kamera, aku berusaha biar kita nggak terlalu deket, tapi kamu maksa mulu. Capek, Ci."

"Ya, udah. Aku nggak bakal ganggu kamu lagi. Mulai hari ini, kita nggak usah interaksi sama sekali. Itu, kan, mau kamu?"

"Nggak gitu, aku cuman—"

"Aku nggak butuh penjelasan kamu. Habis dari Bali, kita asing aja."

Ucapannya menjadi kenyataan. Semenjak hari itu, di Bali, Cynthia tidak pernah berhubungan dengan Greesel lagi. Satu pesan pun tidak ada. Ia berlagak seperti tidak pernah mengenal Greesel.

Seperti sekarang, contohnya. Mereka berdua berpapasan di lorong, namun Cynthia memilih untuk menunduk dan pura-pura tak menyadari kehadiran Greesel. Perilaku tersebut membuat Greesel terheran-heran, ia mencoba untuk menggaruk kepalanya.

Mereka berlatih seperti biasa, berdansa seperti biasa, istirahat seperti biasa, namun ada yang berbeda. Tak ada satu pun interaksi. Greesel ingin meminta maaf, tetapi egonya terlalu besar, sedangkan Cynthia sudah terlampau sakit hati dengan omongan Greesel tempo hari.

Bayangkan saja, Cynthia berusaha sekuat tenaga untuk menjaga semuanya tetap hidup. Ia sering mengunggah foto bersama Greesel, menge-tag-nya, bahkan memvideokan temannya itu. Namun, responsnya selalu tidak baik. Cuitannya tidak pernah dibalas, story pun hanya di-repost tanpa adanya caption tambahan. Lama-lama ia lelah juga. Tidak enak, rasanya, semangat sendiri.

Jarum jam pendek dinding sudah menunjuk ke angka dua, artinya mereka bisa segera pulang. Sialnya, yang lain pulang relatif cepat, menyisakan mereka berdua di lobi. Sungguh, pengalaman yang sangat canggung.

Greesel mencoba membuka ponselnya, terus saja menggulir media sosial. Cynthia, ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan memutar musik sekencang mungkin sambil membaca buku. Saat sedang asik menertawakan video, tiba-tiba tertera tulisan Time Limit. Sialan, bisa-bisanya ia lupa bahwa screen timenya memang hanya sampai pukul dua lewat sepuluh saja.

Greesel ingin sekali melihat apa yang Cynthia lakukan, namun gengsinya lebih besar. Ia lebih memilih untuk terlihat sengsara di lobi gedung. Dasar manusia tak jelas.

Setelah hening menyelimuti kedua dari mereka untuk beberapa saat, Greesel akhirnya memberanikan diri untuk membuka suara. Ia berkata, "Ci?"

Cynthia tak mendengar ucapan itu, kedua telinganya tertutup dan lagu berputar dengan amat kencangnya. Baru ketika Greesel menepuk pundaknya, ia tersadar. Satu earphone dicopotnya dan ia menghadap ke arah perempuan satunya.

Gre/Greecyn One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang