Ada Apa dengan Cynthia?

909 60 3
                                    

Enjoy... 

***

Momen-momen kebersamaan ini pasti akan aku rindukan nanti. Sebagai siswi kelas 12, bayangan atas masa sekolah yang segera berakhir menghantuiku. Aku tidak mau keluar dari zona nyaman ini. Aku sudah terlampau nyaman dengan pelajaran yang tidak seberapa dan juga kebebasan untuk melakukan apa yang ingin aku lakukan. Ditambah lagi, pada masa-masa ini aku tidak harus pusing memikirkan soal bimbel karena aku sudah mengambil keputusan untuk kuliah ke luar negeri. 

Kamarku selalu dijadikan base camp oleh teman-temanku. Kami menghabiskan banyak sekali waktu di sini. Bahkan, ada satu buku yang selalu kami isi setiap kali bertemu. Tidak hanya itu, mereka selalu sangat suportif kepadaku. Seperti sekarang, sekolah akan mengadakan pentas seni, sehingga aku memutuskan untuk mengirim puisiku. Biasanya, aku yang menang sehingga aku juga tidak mau terlalu pusing memikirkannya. 

Sedari tadi, aku menyadari bahwa Jeane terlihat lebih murung dari biasanya. Kami semua sudah tahu bahwa keluarganya bermasalah. Sejak dulu, bapaknya memang sering main tangan. Ia juga mengatakan bahwa ia pasrah karena tidak memiliki pilihan lain. Ibunya telah diancam-ancam jika saja beliau memutuskan untuk meninggalkan hubungan pernikahan sialan itu. 

"Jeane, lo nggak apa-apa, kan?" tanyaku memastikan di sela-sela obrolanku mengenai puisi dengan yang lain.

"Nggak, kepikiran aja. Gue capek dijadiin samsak terus sama bokap. Apa dia nggak puas, ya, nyiksa nyokap?"

"Bokap lo nggak ada belajar-belajarnya, ya?" tanya Gendis.

"Hah? Belajar? Bukannya bapaknya Jeane udah lulus S2?" sahut Alya. Ini lagi, setiap kali ada obrolan, dia pasti paling lelet. 

"Bukan belajar kayak gitu, Al. Maksudnya belajar dari pengalaman hidup," balas Anin. Duo A itu memang selalu saling melengkapi. Yang satu sedikit lola sedangkan yang satu selalu ada untuk menjelaskan. Alya pun hanya ber-oh ria mendengar itu. 

Jeane yang awalnya terlihat murung tiba-tiba tertawa. "Makasih, ya, gue nggak tau gue bakal ada di mana kalau gue nggak punya kalian."

"Kita bakal selalu ada buat lo, Jeane," ucapku menenangkannya. Kami berlima pun berpelukan setelah itu. 

"Kita joget aja nggak sih?" ujar Anin tiba-tiba. 

"Rada gila dikit ya lo," balas Gendis. 

"Udah lah, bener kata Anin. Joget aja biar lebih santai dikit," tambahku.

Aku pun mengambil CD yang berada di dalam lemari dan memasukkannya ke stereo system. Kami masuk ke dalam formasi dan mulai menari ketika lagunya berputar. Saat-saat seperti ini tidak pernah gagal untuk membuatku tertawa lepas. Aku menyukai hal ini, aku pasti akan merindukan mereka semua. 

Setelah lagunya selesai, kami langsung duduk kembali. Jeane terlihat jauh lebih bahagia sekarang—ya, walaupun kesenduan itu masih ada di matanya. Setidaknya, sekarang ada sedikit senyuman di bibirnya. 

Saat sedang mencoba untuk mengambil nafas kembali seperti saat ini, tiba-tiba Jeane menceletuk, "Cyn, lo masih suka jalan bareng sama Mada? Nggak banget tau dia tuh."

"Kadang-kadang aja sih. Seru aja gitu jalan bareng kalau bosen. Lo tau sendiri bonyok jarang di rumah."

"Masalahnya dia sama temen-temennya serem, Cyn. Kemarin aja gue baru denger dia bareng Rasha sama Gabriel ngegebukin cowo gara-gara deketin cem-cemannya Rasha."

Gre/Greecyn One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang