Toko Buku

1K 65 2
                                        

Pacaran semasa SMA. Pertemuan tidak disengaja setelah bertahun-tahun. Original release date: 23/11/23. ~3400 kata.

***

Rintik hujan menyertainya ketika ia hendak masuk ke lobi utama pusat perbelanjaan. Bajunya sedikit basah dan ia merasa kedinginan dari semua angin yang telah menyerangnya. Desir angin pun masih bisa terdengar dari dalam gedung.

Ia adalah Greesel, seseorang yang sudah sangat lama tidak menginjakan kaki di Indonesia. Sudah lima belas tahun lebih ia tinggal di London. Sampai saat ini pun ia tidak tahu apa yang membuatnya kembali ke sini.

Lorong-lorong yang tak asing itu ditelusurinya. Meski dulu sering dilewati, tetap terasa bahwa ada yang berbeda. Tata letaknya terasa berbeda, auranya terasa berbeda, semuanya terasa berbeda. Meski begitu, ia tidak bisa menentukan satu hal yang memang benar-benar berbeda. Sungguh perasaan yang aneh.

Terlihat kerumunan orang yang masing-masing sedang mencoba mencari sesuatu. Greesel tidak pernah mengerti mengapa orang-orang suka pergi ke pusat perbelanjaan. Ia sendiri jarang pergi ke tempat seperti ini. Apa yang sebenarnya dicari? Kebutuhan apakah yang mengharuskan seseorang untuk pergi ke pusat perbelanjaan?

Pergi ke gedung ini pun ia tak memiliki target spesifik. Ia hanya ingin bernostalgia atas masa mudanya. Mengenang hari Senin-nya yang dipenuhi les gitar dan buku, hari di mana ia membeli kado untuk teman, juga beberapa hal lain yang sama-sama memiliki sentimen khusus. Gedung ini mengandung banyak kenangan.

Ia naiki eskalator itu. Hatinya terasa lega namun juga perih. Ia lega karena bisa berada di sini namun juga merasa perih karena bingung ke mana saja sisa harinya pergi.

Toko buku itu masih berdiri. Tampilannya sudah sedikit lebih baru. Ia tak tahu buku apa yang akan ia beli, lagi pula sudah lama sekali semenjak dirinya membaca buku berbahasa Indonesia. Ia juga tidak suka dengan gaya penulisan sastra modern, menurutnya penulisannya terkesan pretentious dan terkadang membuat perut terkocok.

Meski ia memiliki ketidaksukaan terhadap sastra Indonesia modern, rak pertama yang ia tuju tetaplah rak fiksi. Ia lihat setiap sampul buku yang ada di sana, tidak ada yang menarik untuknya. Semuanya terlihat... membosankan dan terlalu modern. Tetap saja, ia terus mencoba mencari. Siapa tahu ada cetakan ulang novel bagus.

Ketika ia menegakkan postur tubuhnya setelah berjongkok-jongkok, ia melihat figur familiar membelakanginya. Figur yang telah lama ia tak lihat. Ia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa orang itu bukanlah orang yang selama ini menghantui pikirannya, namun apalah dayanya? Perempuan itu membalikkan badannya dan membenarkan asumsinya. Jantungnya berdebar kencang, ia tak tahu apabila ini hanya akal-akalan otaknya saja atau apa yang dilihatnya memang benar.

Greesel pun memberanikan dirinya untuk pergi ke rak sebelah. Dengan setiap langkah kakinya, irama jantungnya menjadi lebih cepat. Ludahnya pun tercekat di tenggorokan. Akhirnya ia pun sudah berada di sebelah perempuan itu. Rambutnya yang sebahu dibiarkannya terurai, kacamata bulatnya masih dipakai, kulitnya sekarang sudah jauh lebih bersih. Greesel pun berkata, "Cynthia?"

Perempuan itu menoleh, melihat Greesel dari atas sampai bawah. Cynthia terlihat sedikit bingung. Greesel tampil dengan tampilan yang sangat feminin, berbeda dengan Greesel yang ia kenal di bangku SMA. Mereka berdua memiliki sejarah bersama. Pertemanan yang terjalin masih jelas teringat oleh Cynthia.

"Ya ampun, Greesel. Sejak kapan ada di Jakarta?" tanya Cynthia basa-basi. Ia juga sebenarnya tertegun melihat Greesel berada di hadapannya. Tidak pernah terbesit di pikirannya untuk dapat bertemu Greesel kembali secepat ini. Greesel juga sudah lama pergi dan ia juga sudah terbiasa dengan ketidakadaan tersebut.

Gre/Greecyn One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang