BAB 12: Gagal

273 36 6
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu oleh Jean akhirnya tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari yang ditunggu-tunggu oleh Jean akhirnya tiba. Setelah konfliknya dan Andri kemarin selesai, Jean tidak jadi berpamitan pada anak-anak dan penduduk pulau. Lagi pula ia datang tiba-tiba tanpa permisi, jadi pergi tiba-tiba tanpa berpamitan pun rasanya tak masalah bukan?

Kemarin Langit bertanya mengenai kondisi tubuhnya yang basah saat kembali bersama Andri, untungnya Langit percaya jika mereka baru saja membantu nelayan di pantai untuk memindahkan ikan. Meski setelahnya Langit tidak berhenti mengomel karena ia khawatir terjadi sesuatu pada kaki Jean.

Kini, ia dan Langit tengah berjalan dengan santai sembari menghirup udara pagi, sesekali mereka akan menegur penduduk yang lalu-lalang untuk melakukan kegiatan pagi mereka. Kebanyakan dari mereka memiliki tujuan yang sama dengan Jean dan Langit, yakni ke tepi pantai. Entahlah, Jean pikir pulau ini memiliki dermaga untuk tempat parkir kapal tersebut, tetapi ternyata mereka hanya akan parkir di pinggir pantai dan menurunkan barang dengan bantuan beberapa warga. 

"Kak Langit, sekali lagi makasih, ya?" kata Jean saat keduanya sudah berjalan cukup jauh dalam keheningan.

Langit hanya melirik sekilas, kemudian menganggukkan kepalanya. Tidak berniat untuk menjawab kalimat yang Jean lontarkan padanya.

Jean yang merasa sedikit canggung pun kembali membuka pembicaraan dengan sebuah kalimat gurauan. "Kak  Langit kayaknya sedih banget?"

Langit lagi-lagi hanya melirik Jean sekilas, lalu menghela napas panjang. Langkahnya terhenti membuat Jean pun turut berhenti melangkah. "Benar, saya sangat sedih," Kalimat itu keluar tanpa aba-aba, membuat Jean merasa tenggorokannya tercekat. "Saya memiliki seorang adik," imbuh Langit setelah terdiam beberapa saat.

Jean dapat menangkap kesedihan dari mata Langit yang menatap pada matahari yang memancarkan cahayanya. "Namanya Laut." Langit kemudian melanjutkan langkahnya yang cukup lama tertunda.

"Aku ga pernah lihat, dia ke mana?" tanya Jean, karena selama tinggal di kediaman Langit, ia hanya bertemu Agung dan Langit di rumah tersebut. Terkadang Jean ingin menanyakan di mana keberadaan Ibu dari Langit, atau anggota keluarganya yang lain. Namun, Jean merasa pertanyaan itu tidak terlalu sopan. Maka saat Langit membuka topik mengenai pertanyaan yang selama ini Jean pendam, ia cukup penasaran dengan cerita Langit.

"Pergi, dia pergi bersama Ibu saya. Jauh sekali," kata Langit dengan suara yang bergetar. 

Jean terkejut mendengarnya, mengenai fakta tentang ibu dan adik Langit, juga terkejut mendengar suara Langit yang bergetar. 

Sosok Langit yang Jean kenal sangat tenang, sabar, dan juga sosok yang tak pernah menunjukkan emosinya kini justru hampir menangis di hadapan Jean.  "Kalau boleh tau, mereka kenapa?" tanya Jean. Bukannya tak menghargai perasaan Langit atau menyepelekan kepergian orang terkasihnya, Jean hanya sudah terlanjur penasaran. Lagi pula ini kali terakhir ia akan bertemu Langit, setelah ini, mungkin mereka akan jarang bertemu. Bahkan mungkin saja tidak akan bertemu kembali.

"Pergi, laut yang membawa mereka pergi. Lucu, ya? Laut pergi dibawa Laut." Langit terkekeh, tetapi air matanya jatuh begitu saja.

"Em, kita duduk di sana dulu gimana, Kak? Lagi pula ini masih terlalu pagi," ajak Jean karena nyaman rasanya berbincang sambil berjalan.

Langit pun tak menolak, ia mendahului Jean berjalan menuju sebuah pohon yang tak jauh dari pantai. Dari sini Jean dapat melihat kapal pengantar barang yang akan membawanya pulang. Pantas saja tidak ada dermaga di sini, karena kapalnya pun tidak terlalu besar, sehingga masih bisa parkir di pinggir pantai.

Setelah kembali hening untuk beberapa saat, Langit kembali melanjutkan ceritanya. "Hal yang membuat hati saya tergerak untuk membantu kamu adalah, karena adik saya mirip sekali denganmu. Wajahnya, suaranya, bahkan sifat kalian pun sama."

Tubuh Jean menegang karena terkejut akan fakta yang baru saja ia terima. 

"Lima tahun yang lalu, Laut pergi bersama Ibu karena terseret ombak laut. Hari itu, Ibu dan adik saya pergi ke pantai untuk menyusul saya dan Ayah yang sedang mencari ikan. Namun, karena bosan menanti saya dan Ayah, Laut memutuskan untuk bermain air. Ibu saya hanya diam dan mengawasi dari kejauhan, hingga tidak sadar jika adik saya tertelan ombak," Langit menarik napas dalam saat merasakan paru-parunya kekurangan oksigen. "Ibu saya tersadar jika Laut menghilang saat tubuhnya sudah cukup jauh dari bibir pantai. Ibu saya yang nekat pun berusaha berenang untuk menyelamatkan Langit. Naasnya, Ibu justru ikut hanyut meninggalkan saya dan Ayah saya. Jasad mereka bahkan tidak pernah ditemukan hingga sekarang karena kami tidak bisa nekat mencari mereka di tengah laut."

Setelah kalimat panjang itu selesai, Jean dapat mendengar Langit terisak pelan. Ia pun menepuk pundak Langit. 

"Lalu, hari itu datang, hari di mana saya menemukan kamu. Maaf, awalnya saya mengira kamu adalah Laut yang telah kembali, tetapi ternyata saya salah." Langit mengusap air matanya kasar, lalu mengangkat pandangan dan melihat kapal masih cukup ramai, menandakan bahwa penurunan barang mungkin masih lama selesai. "Saya ke rumah Sastra dulu, ingin menumpang buang air. Kapalnya mungkin masih lama, kamu tunggu saja di sini." 

Tanpa menunggu jawaban dari Jean, Langit pergi meninggalkan Jean yang terdiam menatap hamparan laut yang luas. Ternyata tidak hanya ia yang merasakan kerinduan karena bertemu orang-orang yang mirip dengan orang terdekatnya, tetapi Langit bahkan tidak akan bisa bertemu kembali dengan Laut.

Saat tengah asyik termenung memikirkan kebetulan-kebetulan yang telah banyak terjadi dalam hidupnya, Jean tak sengaja mendengar suara teriakan yang membuat atensinya teralihkan. 

Begitu menemukan sumber suara, jantung Jean berdebar kencang karena melihat dengan mata kepalanya sendiri orang yang ia kenal diseret oleh tiga orang pria asing yang menggunakan penutup wajah. "Andri!" serunya yang terdengar keras. 

Tiga orang yang membawa Andri pun mempercepat langkah mereka karena takut aksi mereka ketahuan. Jean berteriak meminta tolong, tetapi sayang sekali tidak ada warga yang lewat di sekitarnya, juga jarak pantai masih sekitar tiga ratus meter, sehingga suaranya tak terdengar.

Jean yang takut kehilangan jejak pun dengan tangan bergetar mencoba menegakkan tongkatnya dengan benar, lalu berjalan cepat mencari keberadaan Andri.

Tiga orang pria itu membawa Andri ke sebuah hutan, Jean sangat mengenali hutan itu meski baru sekali melintasinya. Hutan yang menjadi pembatas untuk pantai yang menjadi tempat ia ditemukan oleh Langit dan teman-temannya. 

Jantung Jean berdetak cepat karena perasaan takut dan kalut. Ia takut tidak bisa membantu Andri dengan kondisi kakinya yang sekarang. Rasanya Jean ingin menangis keras saat memasuki hutan tersebut dan tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Andri.

Hingga tatapannya tak sengaja melihat beberapa ranting patah dan jejak memanjang seperti tempat itu baru saja dilintasi orang. Tangannya yang masih bergetar pun ia paksakan untuk menggerakkan tongkat yang ia gunakan sebelum kembali kehilangan jejak. Dalam hati Jean berharap semoga ia dapat menyelamatkan Andri, meski ia sendiri tak yakin akan hal tersebut.

 Dalam hati Jean berharap semoga ia dapat menyelamatkan Andri, meski ia sendiri tak yakin akan hal tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lov, tolong hibur aku yang galau karena gabisa nonton konser pertama enhypen di Indo:(

Find My Home (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang