BAB 9: Ingin Pulang

288 47 12
                                    

Langit dan Jean tiba di rumah saat hari mulai gelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit dan Jean tiba di rumah saat hari mulai gelap. Langit memasuki rumah dengan kedua tangan yang menenteng ember berisi kepiting, selain itu kondisi tubuhnya pun sudah setengah basah dan kotor karena terkena pasir. Berbeda sekali dengan Jean yang masih bersih, hanya saja Jean tampak sangat kelelahan dengan kegiatannya hari ini. 

"Ayah, saya pulang!" seru Langit saat memasuki rumah.

Agung yang baru saja selesai mandi menghampiri Langit dan Jean yang duduk di kursi ruang tamu. "Habis dari mana?" tanyanya.

Langit menegakkan tubuhnya yang semula bersandar pada kursi. "Dari pantai, Yah."

Agung menghela napas. "Mandi sana, malam ini kita ada acara perkumpulan di lapangan," ucap Agung yang telah berdiri dengan membawa dua ember di tangannya untuk ia pindahkan ke dapur.

Jean sedari tadi hanya diam menyimak, selain karena merasa tidak diajak bicara Jean juga sangat lelah  meski hanya untuk membuka suara. Langit yang menyadari Jean hanya diam tanpa berbicara apa pun sejak memasuki rumah pun tak berbuat banyak dan memilih untuk membersihkan diri di kamar mandi.

Menyadari ia kini duduk sendirian di ruang tamu, Jean membuka matanya yang sejak tadi terpejam. Beberapa kali ia menghela napas dan mengerutkan dahi karena merasa sedikit pusing. "Tadi Om Agung sama Kak Langit bilang mereka mau ke lapangan, ya?" gumamnya.

Lagi-lagi Jean menghela napas lelah sebelum akhirnya ia berdiri dengan berpegangan pada sandaran kursi lalu berjalan ke kamarnya yang beberapa hari ini menjadi tempatnya melepas lelah. Jean sedikit kesulitan saat hendak berbaring dan meringis saat merasa kakinya sakit. Napasnya berembus kasar, lalu kembali memejamkan mata. Entah kenapa hari ini ia benar-benar merasa lelah. Padahal ia tak berbuat banyak saat di pantai bersama Langit dan lima pemuda lainnya. 

Saat Jean tengah memejamkan mata dan hampir menyelami alam mimpi, Langit memasuki kamar dengan rambut yang masih basah setelah mandi. "Jean?" panggilnya yang hanya dijawab Jean dengan gumaman.

Jean yang tidurnya terganggu pun membuka matanya dan melihat Langit sudah rapi di tempatnya. "Kenapa, Kak Langit?" tanya Jean.

"Kamu mandi sana, setelah itu bersiap dan ikut saya ke lapangan bersama Ayah." 

Mendengar kalimat tersebut Jean sejenak terdiam dan memikirkan alasan apa yang tepat dan dapat diterima Langit agar ia tak perlu ikut bersama pemuda itu dan Agung. "Aku gak ikut, deh, Kak. Kepalaku agak pusing, aku juga rasanya capek banget."

Langit yang mendengar alasan tersebut pun mengerti, mungkin karena tubuh Jean masih sakit ia jadi lebih mudah lelah. Akhirnya Langit pun percaya dengan alasan yang diberikan pemuda itu. "Ya, sudah. Saya dan Ayah tidak masak, jadi kami akan membawakan makan malam untuk kamu nanti." Biasanya, tiap kali ada perkumpulan rutin penduduk pulau akan makan bersama di lapangan dan melakukan hal menyenangkan seperti membuat pentas seni, atau sekadar melihat anak kecil menampilkan tarian mereka. Perkumpulan yang dilakukan seminggu satu kali ini bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi.

"Iya, Kak. Aku juga ga ngerasa laper, kok. Tenang aja," jawab Jean.

Langit menghela napas lega. "Jangan lupa mandi dulu sebelum tidur."

Kalimat itu menjadi penutup sebelum Langit berlalu pergi dengan membawa handuk di tangannya. Begitu pintu kamar tertutup rapat, Jean pun menghela napas. Lega karena Langit tak mencurigai alasannya yang tak ingin ikut pergi. Meski tak sepenuhnya berbohong karena Jean benar-benar lelah saat ini. Tepatnya Jean lelah dengan hatinya yang terus-menerus merasa sakit hati dengan sikap teman Langit.

"Oma, Jean bener-bener kangen banget. Di sini ga enak, Ma ... Jean ga suka di sini." Lirihanya. Lagi-lagi Jean menangis. Susah kedua kalinya di hari yang sama air mata Jean jatuh membanjiri pipinya. Perasaan rindu yang mendalam tak mampu lagi ia tahan. Air mata itu menjadi saksi bisu bagaimana pedihnya hati Jean yang terluka akibat perlakuan orang-orang di sekitarnya saat ini.

Apakah salahnya jika ia terdampar di pulau ini? Jika boleh memilih pun, tampaknya Jean lebih baik mati di lautan dari pada harus terdampar dan menjalani hari yang berat seperti saat ini. Boleh katakan Jean terlalu berlebihan dan sebagainya, karena faktanya ia benar-benar merasa hidupnya berada di titik terendah saat ini. Bahkan terdampar di pulau ini jauh lebih sakit di bandingkan menjalani hidup sebagai bayang-bayang dua saudara kembarnya. 

Jean menangis terisak. Ia tahu Tuhan tidak akan menguji hambanya melebihi kemampuan yang ia punya, hanya saja kenapa begitu banyak ujian yang Jean alami? Tidak, Jean tidak membenci takdir yang Tuhan berikan padanya, ia hanya  merasa sangat lelah dengan kehidupan yang ia jalani. 

"Ya Allah, Jean emang pengen banget hidup jauh dari Mami dan Papi, tapi bukan dengan cara kaya gini. Jean ga sanggup, Jean butuh Oma."

Benar, hidup jauh dari orang tuanya adalah keinginan yang sudah lama ia pendam. Hingga Jean diberi kesempatan untuk pergi ke luar kota bersama omanya. Namun, bukannya mendarat di pulau tujuannya dengan selamat, ia kini justru terdampar, terluka parah, dan menjadi orang hilang yang diwaspadai oleh penduduk pulau. Di pulau ini hanya Langit dan ayahnya yang mau menerima Jean, sedangkan penduduk lain masih takut jika ia tiba-tiba berbuat jahat.

Jean terkekeh, merasa miris dengan kehidupan yang ia jalani. "Boro-boro mau berbuat jahat, buat jalan aja aku masih pakai tongkat," lirihnya sebelum ia kembali menangis memanggil dan mengataka rindu pada omanya. Andai Jean terdampar di pulau ini bersama sang oma, mungkin rasanya tidak akan seberat ini.

Andai saja di pulau ini terdapat alat komunikasi atau transportasi yang bisa mengantar Jean pulang kapan saja, Jean pasti sudah pulang sejak ia sudah bisa berjalan menggunakan tongkat. Sayangnya Jean terdampar di pulau yang sangat terpencil.

Seharian menghabiskan waktu bersama Langit dan teman-temannya membuat Jean semakin rindu dengan rumah. Melihat wajah-wajah yang tak asing tengah bersenda-gurau tanpa memedulikan kehadirannya membuat Jean merasa hatinya sakit. "Mi, Pi ... hidup menjadi bayangan buat Kakak dan Adek ternyata lebih baik daripada harus diwaspadai kaya gini."

Andai waktu dapat diputar kembali, Jean sangat ingin menunda keberangkatannya dan Oma Rena. Sayangnya, kalimat tersebut hanyalah andai yang tak akan pernah sampai. Kini Jean terdampar di pulau terpencil tanpa tahu kabar mengenai oma dan keluarganya. Jean kini hanya bisa berharap waktu berjalan dengan cepat ke waktu di mana kapal pengantar barang datang untuk membawa ia kembali menemui keluarganya. 

Setelah menyadari jika ia terlalu banyak menangis, Jean pun menghapus air matanya lalu bangun untuk membersihkan diri. Rumah ini diterangi oleh lampu sumbu diisi minyak tanah, sehingga tidak begitu terang jika ia mandi di saat hari sudah gelap seperti sekarang. Namun, mengingat tubuhnya yang berkeringat dan bau, Jean tetap akan mandi meski dengan sedikit bergelap-gelapan.

 Namun, mengingat tubuhnya yang berkeringat dan bau, Jean tetap akan mandi meski dengan sedikit bergelap-gelapan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jujur aja aku ngerasa cerita ini ga seru:(

cerita ini emang ga begitu berat bahkan cenderung membosankan, wkwk, cuma nyeritain gimana Jean bisa kembali menemukan rumahnya. tapi semoga kalian tetep enjoy yaaa...

Find My Home (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang