Chapter 3 - Pergi

9 7 0
                                    

"Sekarang mau kemana?" Thelonius bicara sambil membawakan tas yang Thalassa gunakan tadi pagi.

"Makan? Kamu sendiri mau kemana?" Thalassa menatap yang lebih tinggi.

"Aku ikut kamu saja, terserah kemana. Kalau kamu disana, aku ikut." Apa-apaan ini? Ungkapannya selalu manis dan membuat Thalassa jatuh cinta.

"Kau, kenapa tidak cari pacar saja sih? Banyak yang suka padamu loh," celetukku jahil.

"Kalau aku mencari pacar, siapa yang akan membawakan tasmu ketika sedang pergi seperti ini? Hanya aku yang mau." Thalassa akui, Thelonius ini bajingan. Dia seolah mempermainkannya dengan setiap perilaku manis yang dia berikan.

"Thelonius!" Thalassa berteriak sambil menyentuh lengan Thelonius.

"K-kau! Mimisan!" teriak Thalassa pelan. Dengan segera Thelonius menatap sedikit ke atas untuk meminimalisir keluarnya mimisan.

"Kau kelelahan?" Kenapa tidak bilang sih?" Thalassa mengerutkan keningnya khawatir.

"Gak apa-apa, ini biasa aku alami kalau merasa terlalu panas." Kerutan Thalassa yang awalnya khawatir berubah jadi marah.
"Memang apa susahnya bilang sih? Aku kan bisa mencari tempat teduh agar kita sama sama nyaman," ucap Thalassa marah. Thelonius menarik tangan Thalassa untuk mendekat dan mendudukkannya di bawah.

"Aku harus pulang, sekarang sudah waktunya." Thelonius meninggalkan Thalassa, sendirian. Hanya menyisakan sebatang bunga Gompie potong yang sedang berendam di dalam botol. Thalassa mulai berasumsi kalau Thelonius itu seorang bajingan.

T-Thelonius? Sial hatiku sakit sekali. Kenapa dia pergi begitu saja? Apa baginya aku di hadapannya itu?

"Aku akan pergi. Kembali, kerumah." Perlahan pandanganku memudar diperjalanan. Aku masih tak menyangka dia akan meninggalkanku sendirian disini. Hanya bersama botol berisi bunga yang bahkan hampir mati. Mataku terus bertahan dengan air mata yang terus mengganggu penglihatanku.

Tidak ada monolog, aku menyelesaikan pekerjaan yang bisa aku lakukan saat sampai dirumah. Dengan keheningan tanpa ada lagu yang terdengar di indera pendengaranku.

Memang tidak berdiam diri untuk menangis, namun mataku sembab.
Dia bajingan, dia menyakiti hatiku. Dia tidak mengerti aku. Dia, mempermainkanku.

Pekerjaan selesai, aku mencuci kaki dan tanganku lalu merebahkan diriku di kasur sambil menatap jendela. Tak ku sadari, air mata yang telah kutahan dan kusimpan malah membanjiri bantalku, cukup terasa lembab dan mengganggu.

"Mau tidak mau, kalau kamu tidak membalas perasaanku, berarti aku harus melupakanmu. Ini perihal mudah, namun terasa sangat sulit." Hatiku semakin sakit dengan perilakunya. Thelonius satu-satunya yang ku cintai, sejak kecil, namun perilakunya semakin hari semakin berubah. Dan sekarang dia seolah menghindar dari ku untuk bersama terlalu lama. Padahal dulu kamu tidak mau pulang hanya demi bermain denganku.

"Kamu terlalu dekat untuk tidak diketahui, namun apa yang kamu sembunyikan sekarang?" Mataku terpejam menahan sakit dan rasa ingin tahu.

Apa yang sebenarnya dia sembunyikan dariku? Kenapa dia tidak membiarkanku tahu?

"Bahkan pesan yang biasa kau kirim kali ini tidak terkirim lagi ke dalam nomorku. Apa yang sedang kau lakukan? Jika memang istirahat, beritahu aku dengan secuil pesan singkat yang dapat menenangkan perasaanku." Sesederhana itu, namun tidak semua laki-laki mengerti tentang ini. Sebagai perempuan, kita ingin sekali dilibatkan dalam sesuatu yang penting dalam hidup sang lelaki. Bahkan sekalipun bagi sang lelaki itu tidak penting, kami juga tetap ingin tahu apa yang mereka pikirkan.

"Aku sakit tenggorokan Thelo, aku rindu menerima pesan darimu. Mana suaramu yang indah di telepon itu? Mana suaramu yang sangat kurindukan di pesan suara itu?" Semua terasa menyedihkan hanya karena sebuah harapan. Karena kita pada awalnya tidak diperbolehkan untuk berharap pada manusia. Jika kita hanya menunggu, kita tidak mungkin hanya menunggu.

Memangnya apa yang menjadi motivasi seseorang untuk menunggu jika bukan sebuah harapan?

Mataku mengantuk dengan sendirinya karena kelelahan dalam menangis, perlahan terpejam menggelapkan area sekitarnya.
Suara angin kini tidak terdengar lagi karena sang pendengar mulai jatuh kedalam mimpinya sendirian.

🕐

When The Time Takes You - Thessalonians Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang