Kieran sebetulnya bukan balita yang sulit untuk diasuh; dia kalem, tidak pilih-pilih makan, dan generally juga penurut—kalau ada satu-dua kali iseng atau rewel itu lumrah, toh usianya masih kecil. Kali ini si balita kembali duduk anteng di lantai ruang tengah sambil hadap balkon di mana sang kakak sibuk menjemur baju, seprei, dan kasurnya. Kasur mereka bukan yang berbahan busa tebal, jadi lumayan cepat dikeringkan di bawah matahari.
Balita tiga tahun itu bermain dengan melipat kertas koran, biasanya dia menonton TV, tapi sudah hampir dua minggu tabung elektronik itu tidak mau muncul gambar saat dinyalakan dan Kakak terlalu sibuk untuk peduli benda itu diperbaiki. Alhasil, TV cuma jadi pajangan saja di ruang tengah ini bersama dengan perabotan masak—rumah sewa mereka lumayan sempit, dapur dan meja makannya jadi satu dengan tempat santai—dan banyak tumpukan koran di pojok ruangan. Kakak bilang yang sudah ditumpuk berarti tidak dipakai, jadi Kieran boleh ambil untuk mainan.
Kruuk, Kieran berhenti melipat kertas warta, dia lalu menunduk dan peluk perutnya; wah, para anak ayam di dalam sana sudah protes belum diberi makan sejak bangun pagi. Merasa lapar itu bukan dosa, si balita berdiri hampiri pintu balkon. “Kakak, Elan mau salapan,” perbendaharaan kata anak seusia Kieran memang belum banyak—terlebih dia cuma punya Kenneth untuk teman ngobrol—tapi sudah bagus ketika si balita mengerti cara menyampaikan maksud atau keinginannya. Hanya saja sang kakak malah diam, terus melanjut agenda jemur baju seolah Kieran tidak bicara padanya. “Kakak? Halo? Elan lapal,” sang balita ambil langkah maju, memeluk tepian pintu kaca geser yang jadi batas ruang tengah dengan balkon.
“Sabar. Tahu sabar tidak? Ini belum selesai, coba lihat pakai mata.” Kata yang diucap sang kakak pedas sekali, tapi Kieran belum begitu mengerti tendensi dalam suatu kalimat kecuali memang disampaikan dengan nada marah-marah. Balita tiga tahun itu manyun, duduk merosot tepat di tengah ambang pintu, biar saja nanti sang kakak tidak bisa lewat. “Elan mau makan sekalang, nanti anak ayam mati.” Seloroh Kieran, kedua tangannya bersilangan, pipi bulat meronanya menggembung ngambek.
“Nasi dan lauknya masih harus dihangatkan, tunggu sepuluh menit lagi, Kakak belum selesai.” Kieran sukses merengut dan malah teriak, “Elan mau sekalang! Lapal, Kakak! Sekalang!” Di mana-mana biasanya lebih sulit memaksa balita makan, tapi ini malah sebaliknya. “Sekalang! Ayo Kakak, cepat!” Kenneth kesal sekali, dia belum dapat istirahat yang cukup untuk meladeni tingkah bocah tidak tahu diuntung satu ini. Bermodal hanger plastik di tangan, si omega merubah rengekan Kieran menjadi tangis kesakitan—lengan kecil itu dipukul hingga bilur kemerahan membekas di kulit putihnya.
“Sakit, ampun, Kakak!” Mohon si balita, dan Kenneth di sana hanya berdiri dengan napas tak beraturan. Hanger yang dipegangnya sudah patah, tanda seberapa kuat tenaga dia pakai untuk menyabetkan benda itu ke tubuh ringkih sang putra. “Anak sial, menyingkirkanmu dari dulu sulit sekali.” Gumam omega itu geram. Entah anaknya punya keturunan setengah dewa atau bagaimana, semua percobaan Kenneth untuk menggugurkan si janin berakhir sia-sia hingga Kieran terpaksa lahir.
“Tidak ada makanan untukmu hari ini, itu hukumanmu karena sudah merepotkan Kakak.” Kenneth buang hanger patahnya sembarangan, lalu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa ada niat menenangkan Kieran. Nanti kalau tetangga datang dan bertanya, dia tinggal menjawab adik bandelnya banyak tingkah sampai terluka sendiri. “Sial, aku masih harus kerja setelah ini.”
***
Terlahir sebagai alpha dari keluarga berpengaruh adalah sebuah privilese yang tidak semua orang merasakan. Status sosial dan secondary gender sama-sama tinggi, bisa dipastikan segala macam urusan terlaksana mulus seturut kemauan. Namun, tidak demikian bagi Maximilian, sebab keluarga Hale-Carter hanya mengenal kakaknya sebagai penerus kekuasaan. Max si nomor dua, baik dari urutan lahir maupun perhatian ayahnya; anak bungsu yang sedari kecil tumbuh dibayangi prestasi kakaknya. Orang-orang yang bekerja di bawah sang ayahanda bahkan punya julukan khusus untuk si dua bersaudara—mereka bilang Max adalah bulan, karena dia tidak bisa bersinar dengan cahayanya sendiri.
Max sudah berdamai menerima nasib sebagai cadangan yang tidak dibutuhkan. Selama Mathias masih ada, mau dia menghilang atau mati pun siapa yang akan berkomentar? Pemuda sembilan belas tahun ini berencana hidup tenang hanya di belakang sang kakak, dan dia pasti masih bisa menikmati itu apabila kejadian hampir empat tahun silam disikapinya dengan lebih baik.
“Kau berhutang dua tahun kebebasan padaku, Maximilian. Tidak kubiarkan kau merusak rencanaku lagi.” Sang kakak baru ditemuinya lagi setelah dua tahun tak bersua. Perjumpaan pertama mereka tidak hangat, pun yang lalu-lalu tidak pernah. Max tahu di mata sang kakak dia hanya alpha menyedihkan sampai tak sudi mau mengakui bahwa mereka sedarah. “Octavius, dengar dan bekerjalah untuk kakakmu.” Kalimat singkat datang dari ayah mereka. Beliau masih duduk santai di kursinya, melipat tangan ke atas lutut yang saling bertumpu. Tatapan mata beliau berbeda terhadapnya, tidak ada kesan rindu meski sama-sama lama tak bertemu seperti Mathias.
“Kakak baru saja bebas, apa tidak terburu-buru?” Kerutan alis camar si anak sulung lekas menandai pupus kesabarannya. Mathias raih kerah baju sang adik, ditariknya kuat hingga kaki Max melayang beberapa mili dari lantai kayu rumah. “Pikirmu kenapa aku sampai masuk penjara kalau bukan salahmu?!” Alpha muda itu meyegak, gema suaranya lantang mengisi penjuru ruangan. Obsidian segelap kayu arang mengunci iris panik yang muda, lantas hempas tubuh si bungsu ke kursi; memaksa dia duduk. “Kalau malam itu kau mengurus si omega dengan benar, menurutmu mulutnya masih bisa merepet dan menjebloskanku ke penjara? Bodoh!!” Max telan ludah sewaktu sang kakak menarik keluar pistol dari balik punggung. Moncong dingin benda itu sudah menyentuh pelipis sang leo muda, namun kerling matanya melihat ayah mereka hanya diam tanpa ekspresi.
Jika itu Mathias yang menarik pelatuk pistol dan melubangi tempurung kepalanya pun beliau tak akan bergeming. Malah dengan senang hati beliau menutupi segala salah serta kekacauannya.
“Jangan buat kesalahan lagi. Bawa omega sialan itu ke hadapanku ... informanku bilang dia pindah dan hidup dengan identitas baru.” Ibu jari Mathias menarik tuas hammer senjata di tangan, mempersiapkan lajur peluru yang dijamin melesat bersarang di kening Maximilian kalau dia benar-benar menekan pemicunya. “Anjing sekalipun tahu balas budi, Max ... jangan lupa kakakmu dipermalukan untuk apa kalau bukan atas namamu.” Ancaman Mathias terdengar dingin, namun sedetik kemudian disusul sebuah kekehan ringan seiring moncong pistol ditariknya mundur kembali.
“Kudengar dia juga tinggal bersama adiknya yang masih balita, tidakkah itu mencurigakan?” Manik mata Max melebar sedetik; reaksi kagetnya jadi hiburan tersendiri bagi sang kakak. “Ah, apa pentingnya, adik omega itu jelas tidak ada hubungannya dengan urusan ini,” kekeh Mathias, dia turun merunduk hingga bertatap muka dengan Maximilian, “Kecuali jika kecurigaanku benar dan dia adalah putramu.”
Bersambung
tadinya ini cerita noren, terus aku bikin dua versi sama nahyuck, terus ketik-hapus mulu dan akhirnya stay nahyuck biar noren nanti pake plot yang lain; paling lama mikir nama karakter aja, udah ganti berapa kali sendiri *mrenunk*
tapi ini buku kayak tahu bulat sih, dadakan gitu idenya, jadi paling gak bakal panjang, suka-suka gwejh
KAMU SEDANG MEMBACA
For Better or For Worse | ft. Nahyuck (✓)
FanfictionKesalahan besar membuat kapabilitas Max dipertanyakan. Hanya tinggal satu kesempatan tersisa untuk sang alpha membuktikan kesetiaan kepada keluarga besar mafia Hale-Carter. Dalam misi balas dendam, tugasnya kali ini berujung dilema tak terbayangkan...