Chaos

749 106 27
                                    

Sepasang mata bulat terbuka pelan dengan disambut cahaya temaram. Masih sambil berusaha lepas dari timangan kantuk, anak laki-laki itu mengangkat kepala yang semula bersandar. Tubuhnya dilingkupi hawa hangat, deria penciumannya tangkap wangi cukup asing, tapi entah kenapa terasa nyaman. Tangan kurus bocah itu mengucak mata, lantas begitu dia berhasil lebih fokus dan menoleh ke depan, raga kecilnya beku seketika.

“Kakak, takut ...” cicit si balita, Kieran, yang terbangun disambut kenyataan menakutkan bahwa dirinya tidak lagi ada di rumah dan dipeluk oleh Kakak. Bayi tiga tahun itu gemetaran, kenali sosok terlelap sambil memangku tubuhnya kini sebagai alpha jahat yang hendak mengambilnya dari Kakak. “Kakak, tolong Elan,” buliran air matanya mulai berjatuhan, si kecil memeluk kedua lengannya karena tidak tahu bagaimana cara kabur dari sini tanpa membuat si alpha marah dan menyakitinya lagi. Pergerakan samar Kieran rupanya cukup menjadi sinyal bagi alpha yang memeluknya untuk segera bangun. Anak itu sudah berusaha menahan, tapi akhirnya dia menangis keras begitu oniks gelap sang alpha terbuka menatapnya.

Huaa~ Elan mau pulang, huaa~ pulang! Pulang!” Jeritan si bayi amat nyaring, buat Max yang belum selesai mengumpulkan kesadaran jadi lekas terjaga. Alpha muda itu sedikit panik; bibirnya melukis senyum tipis dengan harap putranya mau tenang. “Stt ... kenapa? Kieran tidak perlu takut pada Ayah.” Lengannya menjaga agar si bayi tidak sampai jatuh karena posisi mereka sekarang tengah duduk di kursi. Kieran banyak bergerak dan berontak meski dia tak berani angkat muka menatap Maximilian; selimut abu-abu yang tadi disampirkan sang ayah untuk menutupi tubuh kecilnya ikut melorot dan jatuh ke lantai.

“Tidak! Hiks, Elan tidak punya Ayah! Lepas! Tidak boleh pegang!” Rasanya sakit sekali jauh di dalam hati sang asad, mendengar putranya sendiri menolak hubungan darah mereka. Namun, Max juga mengerti, Kieran tumbuh tanpa mengenalnya, bahkan ibunya saja menyebut diri sebagai kakak di hadapan si balita malang. Dia harus sabar, sesuatu sebesar ini harus dijelaskannya secara perlahan. “Oke, maaf ... Ayah tidak akan peluk Kieran, tapi kamu harus tenang, Nak. Nanti kalau jatuh bagaimana?” Max berujar perlahan, membangun rasa aman bagi putra kecilnya bahwa dia tidak memaksa. Namun agaknya akan sulit ketika kesan pertama pertemuan mereka sudah buruk.

“Tidak! Kakak, tolong Elan! Elan mau pulang!” Kieran mengelak dengan tanpa perhitungan saking merasa takut; tanpa sengaja tubuh kecilnya oleng ke belakang. Di sana, sebuah meja sudah menanti benturan, jika saja dia tidak lebih dulu didekap erat oleh alpha yang mengaku-ngaku diri sebagai ayah untuknya. “Hati-hati!”

Bruk!

Kejadiannya sangat cepat, Kieran yang syok tanpa sadar genggam bagian depan kemeja sang alpha. Sementara lengan sosok itu masih menjaga di balik punggung dan juga belakang kepala si balita; refleksnya bergerak tergesa, membiarkan diri ikut jatuh dan pundak terbentur meja sebagai gantinya.

Max meringis kilas, napas dan detak jantungnya belum kembali normal, tapi dia berusaha tenang bertanya, “Kieran baik-baik saja? Tidak luka, ’kan?” Hanya satu gelengan kecil yang jadi jawab saja sudah cukup membuat Max lega; dia tersenyum, menggumam syukurlah, lalu segera menarik lengannya lepas dari tubuh sang anak. “Aduh, tadi Ayah sudah janji tidak akan peluk, ya? Maaf.” Kieran menurut saja waktu diangkat dan dipindahkan duduk ke lantai, tepat di sebelah sang alpha. Anak itu bisa lihat sosok di depan memegang pundak sehabis menurunkannya, “Ah, ini karena Ayah lama tidak olahraga sepertinya.” Cengir sosok itu, padahal bahunya pasti sakit akibat terbentur meja waktu mereka jatuh tadi.

“Yang penting Kieran tidak luka.” Telapak lebar sang alpha mencapai pucuk kepala Kieran dan beri usak lembut. Dia terlihat bahagia sekali waktu si kecil tidak menolak, tapi hanya sebentar, sebab setelah itu tangisan Kieran kembali datang meski lebih pelan tanpa jeritan. Air muka di paras sang asad berubah khawatir, takut putranya berbohong soal dirinya tidak terluka. “Kenapa menangis? Mana yang sakit, hm?”

For Better or For Worse | ft. Nahyuck (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang