What Lies in The Past

640 95 20
                                    

“Jangan terlalu malam, Ayahmu tidak akan suka itu,” kata-kata dari mulut Ibu tidak terdengar hangat, tapi juga tidak ketus; hanya hambar. Beliau sibuk memotong wortel untuk bahan menu makan malam nanti, tidak berniat menengok ke remaja yang diajak bicara. Hal yang begini sudah sangat biasa dialami si remaja, jadi dia tidak banyak menjawab selain sebuah ya singkat, lalu berpamitan. Langkah kakinya mencapai ambang pintu dapur, masih sempat untuk dengar Ibu kembali mengingatkan, “Ayah pulang pukul enam, Peter.”

Hm, ya, aku tahu.” Remaja usia lima belas tahun bersurai ikal kecokelatan itu tak ambil pusing. Dimarahi Ayah berada di nomor kesekian ketakutan terbesarnya, sebab beliau memang galak, dan yang pasti karena beliau selalu menemukan alasan untuk marah padanya serta Ibu. Sungguh, Peter sampai bosan sekali dengar omelan beliau tiap hari. Akan tetapi, begitulah namanya nasib; Peter Zane  Davis terlahir di tempat yang salah—dia adalah anak keempat dari lima bersaudara, sekaligus satu-satunya yang berstatus omega. Sialnya, garis keturunan sang ayah amat memuja status alpha; mungkin itu kenapa Peter dianggap seperti anomali, atau bahkan produk gagal (?)

Apa pun itu, rencana Peter adalah menabung sebanyak mungkin, lalu keluar dari rumah orang tua setelah usianya cukup. Hari ini juga seperti biasa, dia berangkat kerja paruh waktu—ya meski cuma bantu teman menggantikan sementara berjualan di stand makanan, bagaimana juga usia Peter masih sangat muda untuk bisa mulai diterima bekerja.

Temannya hanya meminta dia berjualan sampai sore, tapi anak itu selalu malas pulang buru-buru, dan lagi penjualan hari ini belum banyak, makanya Peter putuskan untuk lanjut saja beberapa jam. Dia sungguh tidak mungkin mengira keputusan kecil untuk menunda jam tutup sanggup menjungkirbalikkan jalan hidupnya dalam semalam.

Hoahm, baru pukul tujuh kenapa aku sudah ngantuk?” Gumam Peter pada angin, sebab dia berjalan kaki sendiri untuk pulang. Bisa saja naik moda transportasi supaya hemat tenaga, tapi itu tidak akan menghemat uang yang susah-susah dia tabung. Upah membantu teman begini juga tidak seberapa, yang ada habis duluan kalau dipakai ongkos. “Hoahm-- aduh, aku benar-benar harus cepat sampai rumah sebelum ketiduran di jalan.” Dengan kesadaran setengah ditarik alam mimpi, anak itu melenggang lewati jalan pintas seperti biasa jika dia tengah dikejar waktu.

Tidak ada keanehan apa pun yang memaksanya untuk waspada, hingga tiba-tiba, “Hmph--” seseorang datang dari belakang, membekap mulutnya, dan menodongkan pisau tepat di depan leher. “Berhenti melawan jika kau tidak mau mati.” Orang itu tekan bilah tajamnya ke kulit leher Peter; tak pelak si remaja begitu ketakutan. Tubuhnya gemetar, tidak tahu harus apa selain mengangguk patuh sambil merapal doa dalam hati. “Bagus, tetaplah diam atau kurobek keluar pita suaramu!” Lekum sang jauza bergerak naik-turun menelan saliva; Peter diseret paksa menuju gang, di mana di sana beberapa orang lain dan sebuah mobil van sudah menunggu. Dia diculik!

“Pasang itu!” Perintah orang yang masih menekan pisau ke lehernya, sementara rekan orang itu bergegas meraih kain dari dalam mobil. Mulut Peter disumpal, tangannya diikat, dan terakhir kepalanya ditutup kain hitam sebelum didorong masuk jentera empat di sana. “Ini sudah cukup, Mathias tidak akan suka menunggu.” Rungu Peter mendengar dengan baik suara pukulan kemudian, tapi bukan melayang ke tubuhnya. “Bodoh kau! Kenapa sebut nama sembarangan!”

“Brengsek! Lagipula dia sudah pasti akan dibereskan setelah urusan selesai nanti! Jangan seperti orang susah!” Peter terus mendengar ribut antara dua orang itu seturut jalan, air mata si omega menggenang, untuk pertama kalinya dia sangat berharap Ayah ada di sini menyelamatkannya.

***

“Astaga, bukankah kau ini kakak yang baik, mau-maunya mengasuh bayi begitu.” Dengusan sebal mengudara dari sosok Mathias sehabis dengar komentar yang sama terus berulang. Pada perayaan hari ulang tahunnya ke-18, Ayah malah menitipkan adik bungsu yang berusaha dia hindari. “Diam, biar kukunci anak itu di toilet nanti daripada mengacau.” Kawan si alpha muda terkekeh kompak, tidak peduli kerumunan mereka sangat mencolok di kelab malam ini. Jangankan berpesta, usia mereka saja seharusnya masih belum cukup untuk akses masuk. Tapi siapakah yang bisa membantah tuan muda pertama keluarga Hale-Carter; semua orang tahu betapa sang Tuan Besar mengasihi putra sulungnya dan tidak segan menuruti semua kemauannya.

“Hei, jangan begitu, kau lihat saja dia, miris sekali duduk sendirian macam anak hilang.” Tunjuk temannya ke meja di sudut; adiknya menempati kursi itu sendirian, sangat kentara kalau Maximilian tidak begitu suka berada di tempat ini. Namun, Mathias sebatas mendecih dan pasang satu seringai, “Memang. Aku yakin dia dan aku tidak benar-benar berhubungan darah.” Leo muda berbicara, undang sorakan dari kawan-kawannya yang satu kubu dengannya memandang si bungsu. “Benar, dia terlalu cupu dan lembut hati untuk jadi adikmu, lebih lagi seorang alpha. Mungkin dia itu setengah jadi,” guyonan menghina seperti ini banyak sekali keluar tiap mereka bicara tentang bungsu Hale-Carter. Kenyataan Mathias, si kakak, turut mendukung perilaku itu juga tidak membantu.

“Oh, aku punya ide brilian untuk menakuti adikmu itu. Kemari, aku bisiki.”

“Apa? Awas saja jika idemu tidak seru.”



“Apa kau sadar dengan yang barusan kau katakan, Kak? Bagaimana bisa pikiranmu terlintas hal keji dan amoral begitu?!”

“Aku akan meringkasnya dengan bahasa paling sederhana; kau ingin diterima, maka buktikan kalau kau alpha dominan. Gagahi omega itu di hadapan kami.”



Bersambung.

bjrit, jahat betul

bjrit, jahat betul

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
For Better or For Worse | ft. Nahyuck (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang