Infinitely Falling (Extra)

737 92 61
                                    

Dari balik jendela kaca etalase toko, sepasang mata menatap kemacetan lalu lintas jalan menuju pusat kota. Ia hanya berdiri mengamati, dalam hati sudah menduga hari ini ramai orang akan berbondong-bondong pergi ke puncak perayaan festival yang dari seminggu lalu dinantikan. Mestinya ini jadi peluang bagus bagi pelaku usaha sepertinya untuk menaikkan penjualan; barangkali satu-dua orang terlalu bosan menunggu macet, jadi mereka akan turun dan berkunjung ke tokonya. Ya, meski dia juga tak begitu yakin. Tokonya ini menjual barang-barang antik—orang tidak tiba-tiba keluar rumah untuk festival dan malah pulang membawa sebuah lampu gantung, ’kan?

“Aku tidak mau membayangkan di alun-alun kota akan seramai apa.” Ia bergumam sendiri, lalu menoleh kala mendengar suara benda jatuh di atas meja. Iris deragemnya tidak berubah menatap pemandangan sebotol tinta dengan tutup terbuka memuntahkan isinya seperti air terjun ke lantai. Tak usah repot-repot mencari tahu siapa yang berulah menyenggolnya, sebab di meja kasir itu hanya ada seorang balita laki-laki dengan wajah terkejut dan tangan memungut botol tinta. “Ibu, maaf,” dia berujar sesal, hampir menangis sebab takut kenakalannya ini akan membuat sang ibu marah. Ia sungguh tidak bermaksud sengaja, mainan mobil-mobilan miliknya yang sudah menabrak botol itu.

“Sudah, biarkan, tangan dan bajumu jadi kotor,” ujar ibunya dengan satu senyuman hangat, dan si kecil lekas menurut tarik tangannya kembali di samping badan—terlupa tinta yang disentuh masih basah dan berujung mengotori kaosnya lebih banyak. Si ibu hanya tertawa, mendekati anak polosnya, sejurus kemudian tangkup pipi tembam sang balita sambil usap rambut ikalnya. “Kamu sudah mandi, lho, sekarang jadi harus ganti baju lagi dan cuci tangan.” Pucuk hidung si kecil dicolek, buat senyum manis ikut terlukis di wajah putranya. Dia senang sekali Ibu tidak langsung marah meski kadang—wajarnya anak kecil—dia juga nakal.

“Kemari, biar Ibu lepas bajunya.” Kaos warna kuning pastel yang belepotan noda diangkat lepas dari tubuh anak laki-laki itu. Lalu, karena Ibu juga lap sisa tinta di tangannya, telapak Ibu jadi ikut berwarna biru. “Walna bilu sepelti Smulf, hihi,” kikikan gelinya mengomentari kulit mereka yang berwarna seperti karakter sebuah film fantasi. “Wah, iya ... tapi Kieran tidak bisa jadi Smurf terus, setelah ini mandi, oke?” Anak itu mengangguk oleh tuturan ibunya, lantas dibantu turun dari kursi meja kasir supaya dia bisa duluan naik ke lantai dua. Bisnis ini dibangun di lantai bawah sebuah ruko dua lantai, menyisakan area lantai atas sebagai rumah tinggal mereka.

“Ibu, nanti kita pelgi ke fes-- fes ... um, apa namanya tadi?” Telunjuk Kieran tiba di dagunya, coba mengingat kata yang baru kemarin dia pelajari. Anak itu membuat noda biru menempel di mukanya karena jari-jari yang penuh tinta. “Mandi dulu, nanti kalau sudah, kita baru pergi, mengerti?” Ibu banyak tersenyum hari ini, Kieran mengamati dan ikut senang. Setelah beri angguk serta menurut duluan naik ke lantai atas—Ibu harus membereskan meja dulu—suasana toko kembali sepi. Tak banyak pengunjung akhir-akhir ini, mungkin orang-orang lebih suka tren dekorasi minimalis.

Sebuah helaan napas lolos, omega itu, Kenneth, menutup kembali botol tinta biru yang isinya tinggal tersisa setengah. Dia juga tidak tahu kenapa menaruh benda itu di meja, padahal putranya senang bermain di situ. “Ini pasti tidak akan mudah hilang,” ucap sang jauza, sedikit bersungut-sungut ketika berusaha mengelap jejak noda tinta di meja serta lantai. Ia tak sadar menurunkan atensinya pada sekitar selama bersih-bersih; bahkan fakta kalau sedari tadi seseorang sudah mengamatinya pun tak diketahuinya.

Pria berpakaian serba hitam tiba di depan pintu, semula dia jauh di sisi lain jalan ketika sang omega sibuk berdiri dekat jendela. Wajahnya tak bisa dilihat jelas, tertutup masker dari hidung ke bawah, tetapi netra tajam yang dimilikinya sehitam abu jelaga. Lengan si pria misterius tersembunyi di balik punggung, entah apa itu yang ia bawa hingga perlu dijauhkan dari pandangan mata orang. Ketika pintu toko didorong membuka, genta kecil di atasnya selalu berdenting sebagai tanda agar penjaganya siap menemui pelanggan—dan Kenneth, yang sibuk berjongkok mengelap lantai, segera menoleh untuk sambut si pelanggan.

For Better or For Worse | ft. Nahyuck (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang