A Hug

736 112 30
                                    

Bulan berpendar malu-malu di langit gelap tanpa bintang. Awan berarak ditingkahi embusan angin yang kian lama kian kuat—seakan terburu-buru, entah mengejar apa. Malam ini suhu sekejap terasa gerah, lalu mendadak jatuh drastis dan terasa dingin nan lembab. Bau petrikor bahkan lebih dulu hadir sebelum rintik air hujan datang; beruntungnya ramalan cuaca untuk hari ini sudah diberitakan sejak tadi-tadi, ketika tetesan air langit itu akhirnya tiba menyentuh bumi, orang ramai sudah persiapan dengan keluar membawa payung atau jas hujan.

Mulanya hanya gerimis, kemudian berubah semakin deras; para pejalan kaki mempercepat langkah mereka; laju para pengendara lebih pelan dan perhitungan; beberapa cukup sial lupa tak membawa payung atau jas hujan hingga terpaksa pergi menepi untuk berteduh. Di antara mereka yang sibuk dengan dunia, Maximilian tidak ragu menyebut dirinya sebagai si paling sial. Riuh sang bayu serta gemuruh guntur menutup hampir semua suara-suara lain yang datang dari alam—Max temukan diri seperti orang bodoh yang hilang kewarasan, sebab dari tadi berlarian tanpa arah dan tak segera meneduh meski habis kuyup sekujur badan.

Sang asad merutuki kecerobohan serta ketidakmampuannya untuk bertindak cepat di bawah tekanan, dan kini terpaksa harus menelan pil pahit kenyataan ketika netranya—yang susah payah membuka diterpa rinai langit—nihil bertemu apa yang dicari-cari. Dia kehilangan jejak sang omega, dan hujan sialan ini semakin membuatnya kesulitan mengikuti scent yang ditinggalkan oleh Peter—ah, tidak, namanya sudah berganti; pastinya dia begitu ingin mengubur masa lalu itu dalam-dalam.

Detikan waktu terus mengejar; jika boleh bicara jujur, kekhawatiran yang memenuhi isi kepala dan batinnya sekarang bukan lain karena sang putra berada di tangan kakaknya. Maximilian tahu dia berhutang kata maaf pada omega yang dihamilinya berjuta-juta kali, dia juga mengerti untuk memohon ampunan pasti tidak akan gampang. Akan tetapi, harus diakui kalau tanggung jawab yang dimilikinya terhadap sang omega dan putranya jelas berbeda. Ikatan mereka terhubung kuat oleh kelatnya darah—sebuah garis keturunan yang tidak dapat dibantah, pun dimungkiri faktanya, bahwa sang balita terlahir dengan mewarisi sebagian dirinya.

Sedang di sisi lain, Max bahkan tidak pernah mengikat si omega sebagai miliknya.

Mungkin terdengar jahat untuk seorang pendosa seperti dia sampai berpikiran begini, tapi Max sungguh dibutakan kasih sayangnya kepada sang anak. Dia hanya harus menuruti perintah Mathias dengan membawa omega itu padanya, barangkali sang kakak akan sedikit berbelas kasih atas Kieran. Ya, mengejutkannya, ide itu terlintas cukup banyak di rentang waktu yang terbatas ini, tetapi Max tidak mungkin bisa melakukannya tanpa menemukan si omega terlebih dahulu.

“Ke mana pergimu ... demi Tuhan, tidak tahukah nyawa putra kita sedang dipertaruhkan!” Gusar sang alpha; ruas jemari naik menyelinap celah rambut dan menariknya ke belakang. Dia sudah kehabisan waktu.

***

For fucks sake, tenangkan anak sial itu! Kita tidak butuh kebisingan lain di tengah hujan guntur ini!” Wanita yang barusan dibentak semakin memeluk tubuh kecil dalam dekapannya erat. Bibirnya membuka untuk ucap kata penenang seiring telapak tangan menemukan tempat tutupi kedua telinga seorang balita yang terus menangis. Dia tidak mungkin tahu bila gelegar petir menakuti Kieran, dan lebih buruk lagi suara bentakan sang tuan memperparah kepanikan balita itu. “Di mana pula bajingan itu sekarang, lamban sekali! Tugasnya bahkan tidak rumit kalau hanya untuk menyeret seorang omega. OMEGA!!” Lagi dan lagi, gerutuan marah sang tuan tidak berbalas, sebab mereka yang ada di sana takut mendapat masalah.

Ck, kalian juga tidak membantu sama sekali. Ini cuma hujan air, bukan batu. Lemah.” Sang alpha melirik sengit tiga anak buahnya yang turut serta kemari. Dua orang ditugaskannya berjaga sekaligus memeriksa seluruh area rumah, terutama untuk menunggu di depan dan mengabari bila adiknya sudah tiba—tapi mereka malah masuk karena hujan deras. “Maaf, sir. Kami cukup kesulitan memantau di bawah guyuran hujan--” Telapak sang alpha terangkat memutus kata-kata dari mulut si anak buah. Tidak butuh ada ucap atau teguran, hanya ditatap saja dan alpha bawahannya menunduk tanpa berani membalas kontak mata.

For Better or For Worse | ft. Nahyuck (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang