“Jangan sentuh aku! Lepas-- hentikan, kumohon-- apa salahku pada kalian?” Max terbangun dari tidur singkatnya, masih duduk di meja kerja dengan beberapa map terbuka. Mimpi buruk yang gemar mengacau istirahatnya itu sudah menahun dialami sang alpha. Alur mimpinya selalu sama, tentang kejadian yang tak akan bisa dilupakan oleh Maximilian sekalipun dia sudah terjaga. Bisa dikatakan malam peristiwa itu terjadi adalah titik balik pengubah hidupnya; membekas jadi trauma yang lekat mengikuti setiap langkah kakinya. Dia bisa saja mencari bantuan dari praktisi psikologi untuk meredakan kecemasan ini, tapi banyak hal jadi pertimbangan; aturan keluarga menyuruhnya senantiasa bungkam dengan urusan bawah tangan, dan yang lain, Maximilian pikir dia layak untuk dihantui rasa bersalah.
Hirup napas dalam-dalam, Max usap wajahnya kasar. Pemuda itu kembali menelisik dokumen di meja setelah sempat ketiduran. Lembar-lembar kertas tersebut memuat data diri seseorang yang kakaknya suruh untuk dia seret kemari; omega dari sebuah peristiwa masa lalu yang menyakitkan baik untuknya maupun sosok itu. Tangan Max mengambil beberapa cetakan foto yang ikut serta dalam dokumen itu, diamatinya satu per satu hingga henti di sebuah potret. Ibu jari sang leo mengusap wajah kecil yang tengah tersenyum di sana; seorang balita laki-laki bersurai ikal, matanya bulat dengan hidung mungil dan pipi bulat. Tanpa diminta, segaris senyum hadir leluasa.
“Mirip sekali dengan ibunya.” Max bergumam, menikmati waktunya sendirian sampai tiba-tiba jendela ruang kerjanya terbuka oleh angin. Suaranya lumayan keras dan membuat kaget, tapi Max tidak langsung menutupnya. Alpha muda itu memandang jauh ke luar jendela, pada bulan yang bersinar terang, tapi berkali-kali ditutupi mega. Sesuatu dalam dirinya merasa tidak nyaman tentang malam ini.
***
Kenneth dapat jatah lembur beres-beres dapur hari ini, jadi dia pulang sedikit lambat. Dari restoran tempatnya kerja ke rumah jaraknya lumayan jauh, dia butuh naik bus dan jalan kaki di sisa perjalanan. Namun, karena malam ini hampir larut, dia jadi tertinggal jadwal bus terakhir. Mulut si omega tidak ada henti melontar sungutan sepanjang dia berjalan pulang; untung saja area yang dilewatinya selalu ramai—Kenneth sengaja mencari tempat tinggal di daerah padat aktivitas. Dia tidak mau lagi melewati jalanan sepi sendirian setelah kejadian traumatis empat tahun silam sampai berujung pada lahirnya Kieran.
Ah, membicarakan anak itu, hari ini Kenneth menghukumnya untuk tidak makan apa pun karena membuatnya kesal. Sebenarnya, dia pun sedikit tak tega memarahi anak itu; dan itu juga kenapa dia bawa lebihan makanan dari restoran ke rumah. Tadinya dia mau menelepon lebih siang karena Kieran itu penurut sekali, anak itu tak akan berani menyentuh nasi sedikit pun kalau belum diberinya izin, tapi restoran sangat ramai dan dia tak temukan waktu menghubungi rumah.
Kadang Kenneth merasa kasihan pada putranya; akan jauh lebih baik untuk anak itu kalau dia tidak pernah lahir ke dunia yang kejam ini. Namun, harus diakuinya pula, bahwa melihat Kieran selalu mengingatkannya pada hari di mana kesuciannya direnggut semena-mena oleh alpha bajingan. Meski pengakuan darinya kepada pihak berwenang sudah berhasil menjebloskan orang itu ke penjara, kehormatan serta harga diri, lebih lagi kehidupan normalnya, tidak mungkin bisa dikembalikan. Kieran menjadi bukti hidup atas semua derita yang mesti Kenneth tanggung, dan hatinya tidak sekuat itu untuk memupus dendam.
“Lampunya mati,” gumam Kenneth di depan bangunan rumah susun lantai empat tempatnya tinggal. Unit yang disewanya ada di lantai dua, dan dari luar nampak hanya gelap di jendela. Ini bukan kali pertama dia pulang lambat, tapi biasanya lampu rumah sudah menyala saat dia kembali. Kieran balita cerdas, anak itu bisa menarik bangku kecil untuknya memanjat dan menyalakan lampu.
Kenneth diam sebentar, alisnya menukik curiga. Tiba-tiba dihinggapi perasaan tak enak—bagaimanapun, dia tetaplah omega yang melahirkan Kieran. “Apa yang anak itu pikirkan!” Emosinya meluap, tapi siapa pun melihat juga tahu kalau si omega tengah khawatir. Langkah kaki Kenneth tergesa, meniti tangga dengan tak sabaran untuk sampai ke unit sewanya. Tiba di depan pintu dengan stiker nomor tujuh, tangan bebasnya rogoh saku mencari kunci.
Klek.
“Kieran?” Panggilnya begitu sudah di dalam. Kenneth nyalakan lampu, taruh keresek bawaan ke meja dengan asal, dia bahkan cuma lepas sepatu dan menyisakan kaos kaki masih terpasang. Manik si omega mengedar, rumah ini tidak punya banyak ruang untuk sembunyi, jadi ketika si balita tak ditemuinya di ruang tengah, pencariannya berlanjut ke kamar mandi. “Kieran?” Nihil, itu berarti tinggal satu ruangan tersisa; kamar mereka. Kenneth menggeser pintu kamar yang sedikit terbuka, lantas maniknya temukan sosok yang dicari-cari. Putranya tidur beralaskan lantai, meringkuk dengan tubuh gemetar kedinginan, padahal tepat di sebelahnya ada tilam milik sang ‘kakak’ yang bisa ditempati.
Kenneth bergegas pindahkan tubuh si balita ke pelukannya, menyentuh leher dan kening Kieran yang terasa panas. “Ck, kenapa tidur di lantai, kasurku kan ada,” omelnya, tapi masih terus mendekap si kecil yang kini mengulas senyum tipis. “Nanti Elan pipis, kasul Kakak jadi bau. Elan kasihan Kakak halus cuci kasul lagi.” Terkadang Kenneth tidak ingin percaya putranya ini baru berusia tiga tahun; caranya bersikap dan berpikir terlalu cepat dewasa. “Kakak hangat sekali, Elan suka.” Kenneth terdiam tatkala lengan kurus sang putra membalas pelukannya lebih erat. Dia tidak bisa, dia belum siap untuk ini.
“Tunggu di sini, biar Kakak buatkan bubur.”
“Tapi Elan tidak boleh makan--”
“Siapa yang membuat aturan? Kau atau aku?” Kieran tidak menjawab lagi, dia menurut waktu Kenneth menidurkannya ke kasur miliknya dan diselimuti. “Diam dan jangan rewel.” Katanya pada sang putra, meski dia tahu Kieran pasti akan diam saja.
Kenneth beranjak keluar, memasak bubur seadanya dari nasi yang belum sempat termakan. Lauk ayam yang tadi dibawa juga ikut disuwirnya ke dalam bubur supaya tidak hambar. Sambil menunggu buburnya jadi, dia ambil secarik kain untuk kemudian dibasahi dengan air hangat—Kenneth bawa kain basah itu ke kamar dan menaruhnya di kening Kieran sebagai penurun demam. Waktu bubur sudah masak, si omega memindahnya ke mangkuk kecil, lalu dia suapi sang putra sedikit demi sedikit. “Kakak, mau lagi apa boleh?” Kieran meminta dengan kikuk setelah menghabiskan satu mangkuk buburnya. Wajar saja, dari pagi anak itu belum makan apa pun, pasti perutnya sangat lapar.
“Boleh, tunggu sebentar,” jawaban dari sang kakak membuat si balita terkejut, dia tersenyum lebar, “Telima kasih, Kak.” Kalimatnya menahan langkah Kenneth di ambang pintu; rahang sang omega bergemeletuk menahan apa pun yang hatinya rasakan sekarang. “Ya,” cuma itu balasan dari bibirnya, lalu beranjak mengambil porsi kedua yang putranya minta. Namun, sepanjang Kenneth menuang bubur ke dalam mangkuk, dia juga menyeka basah di pipinya. Sang omega menumpu kedua tangan di konter dapur, dia harus ambil waktu sejenak untuk dapat kendali diri.
“Kenapa kau harus lahir ... dunia ini tidak layak menerima anak selugu dirimu.”
Bersambung
mksie
KAMU SEDANG MEMBACA
For Better or For Worse | ft. Nahyuck (✓)
FanficKesalahan besar membuat kapabilitas Max dipertanyakan. Hanya tinggal satu kesempatan tersisa untuk sang alpha membuktikan kesetiaan kepada keluarga besar mafia Hale-Carter. Dalam misi balas dendam, tugasnya kali ini berujung dilema tak terbayangkan...