Keributan kecil baru saja terjadi di bangsal gawat darurat rumah sakit pinggir kota. Seorang omega muda dilarikan kemari setelah ditemukan tak sadarkan diri oleh pejalan kaki yang kebetulan lewat. Dari awal dia siuman, si omega lekas menunjukkan gejala paranoia; menolak disentuh ataupun didekati oleh tenaga medis sekalipun; meracau kalimat berulang dengan histeris, dan; menuduh siapa pun yang tertangkap pandangan mata punya niat jahat terhadapnya.
Butuh tiga orang untuk menangani si omega, itu pun harus dibantu injeksi obat penenang. Situasinya sekarang sudah lebih terkendali, tetapi dokter belum mengizinkan sang pasien diganggu beragam pertanyaan—di mana itu berubah jadi masalah lain ketika petugas paramedis yang membawanya kemari butuh cari tahu kontak darurat sang omega. “Andrew, sudah kau urus keluarganya?” Pria usia pertengahan kepala tiga di sana merasa terpanggil. Barusan saja dia selesai dengan sebuah sambungan telepon, dan kini wajahnya pucat kesi kala menoleh ke arah sang rekan.
“Apa yang terjadi?” Tuntutan kembali datang pada Andrew karena dia tak kunjung menjawab, lantas pria alpha itu menyerahkan gagang telepon di meja resepsionis kepada rekannya. Hanya ada bunyi sambungan, tidak ada panggilan apa-apa, “Kau belum bicara dengan keluarganya?” Andrew menggeleng, tapi mengangguk di detik berikutnya, gestur yang cukup membingungkan dan tidak tegas untuk seseorang dengan profesi serius sepertinya. “Ed, kita harus hubungi polisi. Nyawa seorang anak mungkin dalam bahaya.”
***
Masa pertumbuhan anak-anak itu mestinya diwarnai bahagia dan juga dukungan untuk merangsang lebih baik perkembangan di tiap tahapan usia. Namun, tidak untuk Kieran. Si balita hampir-hampir tidak mengenal siapa pun di luar sang kakak; bahkan kalau mau jujur, mereka juga tidak dekat dengan tetangga rumah sewa di satu lantai yang sama. Keberadaan dan identitas si bocah laki-laki sudah seperti disembunyikan dari dunia, dengan dosa terbesar berupa kalau dia berani keluar sendirian tanpa izin.
Kakaknya bilang, Kieran masih terlalu cepat seribu tahun untuk tahu cara kerja dunia di luaran sana, sekaligus tentang bagaimana mereka sudah tidak punya orang tua, sehingga dia harus mematuhi apa pun perintah sang kakak yang merawatnya. Meski itu berarti setiap hari hanya bermain sendirian di rumah sampai kakaknya pulang kerja; tanpa diawasi, tanpa dititipkan pada yang lebih dewasa seperti lazimnya anak-anak lain ketika ditinggal cukup lama. Kieran percaya kalau dia akan aman jika mengikuti perkataan sang kakak— sampai malam ini tiba, dan hidup si balita akan segera berubah.
“Halo, jagoan.” Di ambang pintu, berdiri seorang alpha asing yang tak pernah Kieran temui sebelumnya. Balita itu mundur pelan dengan tangan menggenggam erat selimut, ketakutan. Dia tidak tahu harus apa, Kakak tidak pernah membiarkannya keluar rumah, otomatis Kieran tidak pernah belajar caranya membela diri ketika berhadapan dengan orang jahat. Kakak, cepat pulang, Elan takut, anak itu hanya bisa membatin sebab mulutnya terkunci rapat.
Kini, si alpha asing justru menoreh senyum; turun berlutut di hadapan si balita sampai pandang mereka bersibobrok. Dari parasnya yang tegas, terpancar sedikit hangat dan ketenangan kala bibirnya membuka, “Akhinya Ayah menemukanmu.” Kata itu sangat awam bagi Kieran, sebab dari lahir dia hanya punya kakaknya seorang. Maka, ketika bayi tiga tahun di sana menggeleng kaku dibarengi gestur tubuh ketakutan yang kentara, senyum sang alpha lekas memudar. “Tidak apa-apa, sayang, jangan takut, Ayah akan memastikanmu aman.” Pelan-pelan, alpha asing itu mulai mencoba mendekati Kieran, buat si balita makin mundur gemetaran.
“Elan sudah t--tidak punya Ayah, Elan belsama Kakak.” Kieran menunduk, masih memegangi selimut yang dia jadikan dukungan emosional karena itu milik sang kakak; berharap kalau Kenneth segera pulang. “Itu tidak benar. Kamu masih punya ayah dan ibu—tidak ada banyak waktu untuk menjelaskan, tolong percayalah pada Ayah, sayang.” Alpha itu mencoba mendekat lagi, lengannya sudah maju hendak meraih pundak Kieran, dan itu membuatnya panik. Si balita mengumpulkan seluruh tenaganya untuk berteriak sekaligus lari, tapi kaki-kaki kecilnya terlalu lamban mencapai pintu yang dengan sigap ditahan tertutup oleh si alpha.
Kieran tertahan berdiri dekat kaki sang tamu tak diundang—yang mana seperti menara menjulang dari sudut pandang si bocah. Sang alpha ikut panik setelah menyadari kalau Kieran tidak mau mengikuti perintahnya dengan semudah itu. “Tolong jangan begini ... jangan buat Ayah harus memaksa, Kieran. Ayah mohon.” Kata-katanya terdengar putus asa, tapi Kieran tidak sempat lagi mau peduli. Dia cuma mau lari dan mencari sang kakak yang entah di mana sekarang. “Tidak mau! Elan tidak mau! Pelgi! Olang jahat, pelgi!” Diteriaki dan diusir oleh bocah bukan hal yang serius di banyak kasus, tapi mendengar kalimat Kieran kali ini agaknya jadi batas akhir kesabaran sang alpha. “Kieran, berhenti teriak, nanti orang lain dengar-- Kieran, Ayah tidak mau menyakitimu!”
“Pelgi! Pelgi! Olang jahat pelgi!” Tidak dia sangka bayi tiga tahun sudah bisa mengerti hal-hal seperti ini. Alpha itu mengagumi kecerdasan putranya, tapi dia tak bisa berlama-lama membiarkan mulut kecilnya terus meneriakinya begini. “Pelgi--hmph!!” Kieran terkejut, tubuhnya mendadak ditarik ke dalam pelukan, lalu mulut serta hidungnya dibekap dengan secarik saputangan. “Maaf, sayang, Ayah minta maaf harus melakukan ini.” Berontakan si balita mulai lemah, terpengaruh inhalasi sedatif yang dibubuhkan pada kain pembekapnya.
“Sttt, it’s okay ...” Pucuk kepala Kieran diciumi, rikmanya dibelai sayang, “It’s okay, baby ... you’ll be just fine, don’t be afraid, your daddy’s here ... I won’t let you be alone ever again.” Si balita segera jatuh lelap dalam pelukan erat sang alpha yang sekali lagi berucap maaf. Teriring untai penyesalan itu, dia tertunduk menatap wajah Kieran dan lekas temukan nyaman kala telapak lebar menyentuh pipi merona si bayi.
“Can you believe that,” katanya pada udara kosong dengan senyum tipis terukir hangat, “You’re a father to a son, Maximilian.” Sang alpha muda terkekeh kecil, menyugar rambut ikal sang putra yang berantakan, “And I’m gonna protect you with my life.”
Bersambung
s(se)uka-s(se)uka gwejh aj lh yh, gk nymbunk ydh gffh
kok tinggi bet lu jem
KAMU SEDANG MEMBACA
For Better or For Worse | ft. Nahyuck (✓)
FanfictionKesalahan besar membuat kapabilitas Max dipertanyakan. Hanya tinggal satu kesempatan tersisa untuk sang alpha membuktikan kesetiaan kepada keluarga besar mafia Hale-Carter. Dalam misi balas dendam, tugasnya kali ini berujung dilema tak terbayangkan...