The "First" Encounter

572 96 15
                                    

Sebuah mobil hitam terparkir di gang seberang jalan, kaca jendela bagian pengemudi terbuka beberapa senti, ciptakan celah yang hanya cukup dilewati sebatang rokok. Tuk tuk, ketukan jemari merontokkan abu bakaran sigaret jatuh ke tanah; api baru melahap habis sepertiganya, tetapi jika mata turun memandang, setidaknya empat puntung lain sudah dicampakkan. Merokok di dalam kendaraan dengan hampir semua jendelanya tertutup, orang mungkin akan salah paham mengira dia ingin bunuh diri, tapi bukan. Apa yang terjadi tidaklah seperti itu, malahan sangat jauh.

Pemuda yang sendirian dalam jentera empat itu bawa batang sigaret kembali ke celah bibir. Manik matanya waskita, memantau apa pun itu di seberang tempatnya memarkir kendaraan. Dua ruas jari menyusup kerah kemeja—sebentar iris gelap naik memindai pantulan bayangnya dari spion tengah—melepas kait baju teratas yang dirasa terlalu mencekik. Ketika dia temukan biji kancing itu sukar sekali berkompromi, decaknya lolos, lalu ditariknya paksa hingga meloncat copot entah ke mana. Dia tutup agenda berbenah penampilan ini dengan semprotan wewangi dari botol parfum miliknya di laci dasbor.

Satu, dua, tiga kali cairan minyak wangi itu bersentuhan dengan baju dan juga kulit; bau menyengat nan memicu pening segera berjebah ke seluruh penjuru interior mobil saking banyaknya parfum disemprotkan. Harum yang kompleks itu bercampur aduk dengan kepulan asap sigaret yang sejak tadi baru sedikit temukan celah keluar. Meski harus hidungnya sesak, meski itu membuat kepalanya berdenyut nyeri, dan meski paru-paru sudah mendesak dia keluar untuk dapatkan oksigen segar, dia tak peduli—upayanya kali ini hanya satu, untuk menghapus jejak feromon tubuhnya meski hanya sementara.

Maximilian tidak bisa bersabar lebih lama lagi; tentang dirinya yang sudah dihantui perasaan bersalah pada si omega sejak hari pertama sekaligus terakhir mereka bersua. Hari-harinya tanpa istirahat nyenyak dan makan enak karena memikirkan kesalahan dari masa lalu, mungkin akan bisa dibenahi setelah ini nanti. “I’ll make it right this time.”

***

Jika ada satu hal yang selalu Kenneth banggakan dari dirinya sendiri, maka jawabannya adalah insting. Sejak kejadian empat tahun silam yang menjungkirbalikkan jalan hidupnya, sang omega belajar satu hal untuk jadi lebih waspada dan berhati-hati. Banyak kali dia sudah diselamatkan oleh firasatnya sendiri; Kenneth sangat berpegang pada intuisinya, mungkin beberapa orang akan mengira dia sedikit paranoid karena tidak tahu latar belakangnya di kota ini—setelah bersaksi di pengadilan, Kenneth mendapat program perlindungan saksi dan menghapus identitas lamanya—tapi sang omega tak akan goyah pada pendapat apa pun jika suara hatinya sudah bicara.

Hari ini berjalan biasa saja, restoran tidak begitu ramai, jadi dia sempat menelepon ke rumah dan mengecek apakah Kieran berulah. Selain itu, hampir tak ada hal istimewa, kecuali jantungnya yang mendadak berdebar di sore menjelang shift-nya usai. Dia berdiri diam, menghentikan langkah yang semula hendak membuang sampah ke belakang. Gemini itu bertanya pada dirinya sendiri, apa yang dia konsumsi atau lakukan sampai detak jantungnya jadi tidak beraturan begini.

“Hei, kau tak apa, Ken?” Tanya salah seorang rekan kerjanya, dan Kenneth ulas senyum seraya mengangguk. “Aku terlalu banyak minum kopi,” jelas si omega, padahal tahu persis dia cuma minum secangkir kafein di pagi hari tadi—jauh sangat terlambat jika reaksinya baru sekarang dialami. Lagipula, caffeine rush tidak seperti ini, Kenneth tahu bedanya. Ini adalah debaran yang terjadi ketika dia tidak merasa tenang atau aman. “Relax, Ken, bukan apa-apa,” tenangnya pada diri sendiri, mengatur hirupan napas sambil terus mencoba berpikir jernih. Kenneth tidak suka ini, kenapa harus di saat dia akan pulang dan sendirian di jalan.

“Tidak akan ada apa-apa, kau hanya kurang istirahat.” Satu penghiburan terakhir, sebab setelah itu Kenneth putuskan lekas menuntaskan jatah pekerjaannya. Dia mendorong pintu karyawan yang menuju belakang restoran, tangan menggeret kantong plastik besar berisi sampah untuk dibuang. Lagipula ini masih sore, dan lahan parkir karyawan juga letaknya di belakang, jadi dia tak benar-benar sendirian saat di sana. Dua orang rekan kerjanya baru sampai, mereka akan memulai shift setelah ini, “Oh, astaga, sampah berapa bulan baru kau buang, Ken?” Guyon mereka begitu lihat volume sampah di keresek bawaan Kenneth, sedang si omega tertawa menanggapi.

Obrolan singkat itu berakhir setelah rekan kerjanya masuk, tapi segera ada orang lain menyusul, “Masih belum selesai dengan sampah itu, Ken? Biar kubantu.” Temannya yang tadi menanyakan perihal apakah dia baik-baik saja—Erica namanya. Gadis itu seumuran dengan Kenneth, atau lebih muda malah, dia cuma kerja paruh waktu untuk menambah uang jajan. “Terima kasih, Er, kemarin pasti ada yang terlupa membuang sampah sampai menumpuk begini.” Si gadis mengangguk sepaham, tapi dia lekas mengganti topik. “Di depan tadi ada pelanggan, alpha yang tampan, tapi aneh—bau parfum dan rokoknya, astaga!” Keluh Erica yang belum terbiasa bertemu berbagai macam pelanggan, tak seperti Kenneth.

“Kenapa heran, alpha memang makhluk paling tidak jelas yang maunya selalu menang. Mereka tak akan peduli sekalipun mengganggu banyak orang di sekitarnya.” Erica lagi-lagi mengangguk, gadis itu dan keluarganya adalah beta, jadi akan sedikit percuma kalau Kenneth menjelaskan lebih—dia sudah bisa menebak alpha tadi ingin menghapus bau feromon di tubuhnya, mungkin habis tidur dengan jalang dan takut pacarnya tahu atau bagaimana. Para beta tidak memiliki feromon tertentu, jadi hidung mereka pun tidak sepeka alpha dan omega. “Baiklah, sudah, aku bisa pulang sekarang!” Seru Kenneth, sedang Erica mendengus karena dia masih ada sedikit cucian piring tadi. “Curang, kenapa kau tidak membantuku juga?”

“Oh, jadi tujuanmu membantuku supaya dibantu juga? Erica, kita itu tidak boleh pamrih kalau berbuat baik, oke?” Kenneth tertawa; bukan tidak mau membantu, tapi dia harus segera pulang dan mengecek balita tiga tahun di rumahnya. Sang omega kembali masuk ke dalam restoran, melepas atribut kerjanya dan ambil barang bawaan di loker. Kenneth terbiasa untuk lewat pintu depan saat pulang karena letak halte bus ada di seberang, supaya lebih dekat saja ketimbang harus memutar.

Gemini itu menyapa beberapa rekan kerjanya, termasuk bercanda dengan Erica sekali lagi, lalu barulah dia pergi keluar. Melewati salah satu meja, si omega baru membuktikan omongan Erica soal pelanggan aneh berbau parfum dan rokok menyengat—masih baik bukan alkohol—Kenneth sampai harus menahan napas sembari curi lirik ke alpha yang dimaksud. Dia tak begitu melihat dengan jelas, toh juga untuk apa, rasa penasarannya tidak sebesar itu pada seseorang yang mungkin hanya akan ditemuinya sekali seumur hidup.

Kling

Gema kecil lonceng pintu restoran berbunyi ketika Kenneth membuka dan melewatinya, tidak menoleh ke belakang di mana sepasang obsidian gelap tak kunjung berkedip menatap punggung si omega menjauh.

Max sama sekali tak menyentuh makanan yang terhidang di atas meja; dia justru berdiri, merusuh dengan tiba-tiba berlari keluar dari restoran menyusul langkah omega yang jadi tujuannya kemari. Sosok itu belum jauh, berdiri di ujung marka penyeberangan sambil menengok lajur kendaraan kiri dan kanannya. Kedua tangan sang alpha mengepal erat, kelebatan fragmen akan hari itu kembali datang menghantui; Tolong, ampuni aku-- kumohon hentikan!” Isak tangis dan rintihannya masih dekat terdengar di telinga Max, Tidak, aku tidak mau-- Tuhan, tolong aku! Satu kali tegukan saliva basahi keringnya kerongkongan, Max pejamkan mata sejenak dengan gejolak emosi tak terbendung.

Ketika lampu lalu lintas di depan sana bertukar merah, tubuh sang alpha bergerak mengikuti insting lebih dulu ketimbang akal sehat. Suara langkahnya yang tergesa sudah pasti juga didengar oleh si omega, sehingga dia berbalik untuk melihat siapa yang baru saja tiba di belakangnya. Mata bertemu mata, beribu rahasia ditahan tetap terjaga di sebalik jendela hati paling jujur.

Ada sirat waspada dari paras cantik sang omega; satu langkah mundur ke belakang, lalu belah bibir merahnya membuka, “Maaf? Ada yang bisa saya bantu? Oh, Tuhan, Maximilian kini yakin bahwa pencariannya sudah benar-benar berakhir.


Bersambung

Bersambung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
For Better or For Worse | ft. Nahyuck (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang