7 Mimpi Berdarah - 32

23 13 6
                                    

Tidak terlalu banyak orang yang menghadiri pemakaman Leo dan Victor.

Hanya beberapa pengurus yang mengurus jenazah dan teman dekat Victor dan Leo saja.

Peti mati yang terlihat kokoh itu diangkat dari ambulans.
Suasana hening.

Daffa, Barra, dan Leno yang juga ada di area pemakaman hanya bisa menatap peti Leo dan Victor yang perlahan-lahan dimasukkan ke lubang yang sudah dipersiapkan dengan sorot mata kosong.

Pikiran mereka melayang jauh.

Momen-momen yang mereka lalui bersama terlintas di kepala.

Saat mereka tertawa, saat mereka bersedih, saat mereka bahagia, mau pun saat mereka dalam duka.

Semuanya dilalui bersama-sama seolah hal-hal jahat yang dunia berikan kepada para remaja itu tidak terasa beratnya.

“Bang, ini beneran Leo sama Victor ninggalin kita selamanya?” suara lirih Leno terdengar.

Matanya mulai basah.

Dia masih tidak mau mempercayai kenyataan yang sedang dihadapi.

Daffa mengangguk sebagai respons. “Mereka udah pergi. Sekarang, cuma ada kita bertiga.

Ke depannya, pasti bakalan ada yang terasa kosong, tapi semoga aja bisa berjalan dengan baik.”

Barra menghela napas berat.

Dia mendongak, menatap langit sebagai usaha agar air matanya yang sudah menggunung di kelopak mata tidak jatuh.

Barra tidak mau terlihat lemah.

Di hadapan dua rekannya yang sudah tiada, Barra harus tetap menjadi sosok yang kuat.

“Tapi senggaknya kita udah bantu mereka berdua buat menemukan siapa pengkhianat tersebut.

Gue cuma berharap, semoga mereka bisa tenang di alam sana dan mendapat kedamaian yang enggak mereka dapatkan di dunia ini.”

Daffa dan Leno mengangguk serentak. Mereka setuju dengan kalimat Barra.
“Gue juga berharap semoga mereka bisa ketemu sama orang tua yang mereka rindukan itu.

Biar perjuangan Leo dan Victor enggak sia-sia,” sambung Daffa, suaranya masih terdengar kecil, tetapi tetap bisa didengar Barra dan Leno yang berdiri berdekatan dengannya.

Liang kubur mulai diisi tanah.

Perlahan-lahan, peti mati berwarna cokelat muda tersebut hilang dari pandangan.

Semakin lama tanahnya semakin menggunung dan akhirnya terlihat lebih tinggi dari sisi-sisi di sampingnya dan membentuk gundukan.

Bunga di tabur di atas tanah gundukan tersebut.

Daffa, Barra, dan Leno juga ikut menaburkan bunga ke atas makam.

Aroma khas bunga yang mereka gunakan menguar, mengisi indra penciuman dengan pekat.

Satu per satu orang yang hadir mulai menghilang dan akhirnya hanya menyisakan Barra, Daffa, dan Leno yang masih setia di tempat tersebut.

Ketiganya berjalan semakin mendekat ke makam, lalu berjongkok di salah satu sisi.

Mereka masih tidak bisa percaya bahwa saat ini Leo dan Victor sudah berada di bawah tanah.

Mereka mati.

“Sekarang, Leo dan Victor udah enggak sakit lagi.

Kalian udah bisa pergi ke tempat orang tua kalian dengan tenang,” ucap Leno.

Suaranya terdengar bergetar karena menahan tangis yang sejak awal berusaha disembunyikannya.

“Terima kasih buat kalian berdua atas segala hal yang udah kalian beri buat gue.

Gue enggak akan lupakan kalian, Leo, Victor.”

Daffa menyesap ingus yang mendadak mengalir dari hidungnya sebagai efek samping karena menahan air mata.

“Victor dan Leo, abang bangga sama kalian yang udah bisa bertahan sampai akhir.

Orang tua kalian pasti bangga sama kalian yang udah berjuang sampai titik darah penghabisan.”

Barra mengambil sejumput bunga, lalu kembali menaburkannya di atas makam Leo dan Victor.

“Kalian adalah sosok yang hebat. Abang bangga sama kalian.

Terima kasih, ya, buat semuanya.

Sekarang, tidur yang tenang dan enggak perlu khawatir sama apa pun lagi.”

Leno tidak bisa menahan tangisnya lebih lama. Dia mulai tergugu .

Hatinya masih terasa nyeri mendapati semua kenyataan ini.

“Cih, katanya lu berdua mau kalahin gue main game.

Tapi apa.

Kalian malah pergi duluan ....” Leno menjeda kalimatnya.

Dia sulit bicara karena tangisnya yang mulai pecah. “Tapi enggak apa-apa. Leno udah maafin kalian, kok.”
Ketiganya terdiam untuk beberapa saat.

Benak mereka masih terasa berat untuk beranjak.

Hal tersebut berlangsung beberapa lama hingga akhirnya Barra menguatkan diri dan berdiri yang kemudian disusul Daffa dan Leno yang ikut berdiri.

“Kita enggak boleh kelihatan lemah kayak gini.

Leo dan Victor udah tenang di alam lain dan kita harus terus melanjutkan hidup dengan bahagia,” ucap Barra, berusaha menenangkan dan memberi semangat pada dirinya sendiri dan kepada Daffa serta Leno.

Daffa dan Leno mengangguk setuju.

Apa yang dikatakan Barra benar.

Mereka harus bisa tegar dan menjalani hidup dengan baik.

Ketiganya pun berbalik, mereka hendak pergi meninggalkan pemakaman.

Namun, dengan cepat pun langkah mereka terhenti saat mendapati dua sosok remaja yang menggunakan seragam SMA.

Remaja yang sangat mereka kenal, remaja yang sangat akrab dengan ketiganya.

Mata Daffa, Barra, dan Leno membeliak seolah hendak melompat dari tempatnya.

“Apa dua remaja itu adalah mereka?”

Apa yang mereka lihat ini nyata?

To be continue
.
.
.

Jangan lupa vote dan komen
And makasih
Lopyouu semuanya 🫵🏻🤍

THE 7 BLOODY DREAMS [TERBIT] OPEN PO!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang