8. Sebelah Mata

733 111 6
                                    

Jangan lupa vote komen ♡
Happy reading~

***

Guntur saat ini berada di pantri. Matanya terus menatap ponselnya, bahkan bibirnya terus tersenyum sejak beberapa menit yang lalu. Jari-jarinya juga terus bergerak menyentuh layar ponsel. Bukan sedang bermain game, tapi sedang berkirim pesan dengan seseorang.

"Jatuh cinta, sejuta rasanya." Rangga menyanyikan sebait lirik lagu jatuh cinta lalu duduk di seberang Guntur.

Guntur menoleh sembari terkekeh sebentar. "Mau ke mana atau dari mana?" tanyanya lalu meletakan ponsel di atas meja dan mengambil gitar yang tergeletak di atas sofa.

"Dari kamar," sahut Rangga sembari menyalakan TV.

"Tumben wangi."

"Penghinaan," ujar Rangga terdengar menekankan kata itu. "Emang biasanya nggak, Bang?" tanyanya.

"Kadang wangi, tapi ini wangi banget kaya mau pergi."

"Parfum baru." Rangga menaik turunkan alisnya.

"Pantes," balas Guntur yang membuat keduanya terkekeh bersama.

Rangga bukan tidak pernah wangi, justru Rangga selalu wangi. Bahkan terkadang dia belum muncul saja baunya sudah tercium. Mungkin kali ini wanginya sudah sangat over dan menyengat di hidungnya, jadi Guntur bertanya. 

Selanjutnya keduanya hanya menonton TV dengan sedikit berbincang tentang keberadaan Nadil.

Tidak lama kemudian, Zaenal datang bersama Arjuna yang membawa bingkisan.

"Wah, bau aroma duniawi," celetuk Rangga yang membuat Guntur yang sedang meletakan gitar terkekeh.

Selain wangi, hidung Rangga juga sangat tajam.

"Hidung lo bolong banget, Ngga." Zaenal duduk di sebelah Guntur, sedangkan Arjuna memilih duduk di sebelah Rangga sembari meletakan bingkisan di atas meja.

"Gue tebak, ini martabak telur." Rangga menggerakkan tangannya seperti apa yang dilakukan para koki jika sedang mencium bau aroma masakan. "Tumben banget, Jun. Padahal gajian masih lama," lanjutnya.

"Kalau ada rezeki itu Alhamdullilah." Bukan Arjuna yang menimpali, tapi Zaenal yang juga sedang menunggu Arjuna membuka bingkisan.

"Udah, nggak usah ribut. Ini di makan," tutur Arjuna kemudian mengambil sepotong lalu menyenderkan tubuhnya di sofa. Matanya melirik ke sana kemari seperti mencari seseorang.

"Oh iya, Nadil sana Jenin di mana?" tanyanya. "Biasanya juga mereka jadi penunggu pantri," lanjut Arjuna lalu menyuapkan potongan besar ke dalam mulutnya. Dia tidak bertanya soal keberadaan Hilal, pasalnya Hilal memang suka menghilang tiba-tiba.

"Nadil cuti tiga hari, kalau Hilal keluar. Jenin, gue nggak tahu," jawab Rangga setelah menelan makanan yang ada di mulutnya. "Coba tanya kakaknya," lanjutnya sedikit menyindir Zaenal.

"Gue nggak tau," timpal Zaenal dengan cepat lalu mengambil ponsel di saku dan segera memiringkannya. Mungkin sebenarnya dia juga mencari keberadaan Jenin, tapi gengsi menguasai dirinya. 

"Emang kamu dari mana, Jun? Tumben rapi banget." Guntur bersuara.

"Ada kepentingan tadi," jawab Arjuna lalu kembali menatap fokus pada TV di depannya.

"Sok penting."

"Gue jait juga mulut lo, Ngga." Lagi-lagi Zaenal yang menimpali kejulidan Rangga.

"Nah." Rangga menantang.

Zaenal berdiri yang membuat Arjuna menggeser bokongnya menjauh dari Rangga. Belum juga Arjuna mendekap Rangga, ponsel empat petugas pemadam kebakaran itu berdering bersamaan.

Kesatria GeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang