9. Hangusnya Kenangan

565 97 3
                                    

Jangan lupa vote komen ♡
Happy reading~
Yuk, spam komen sesuai isi cerita, biar sering up.

***

Dalam waktu 10 menit setelah melewati kemacetan yang cukup parah, Rangga dan Guntur akhirnya tiba di lokasi. Keduanya segera turun lalu segera memakai perlengkapan.

Guntur menepuk bahu Rangga, kemudian berlari lebih dahulu mendekati Yudhistira yang sedang mengarahkan anak buahnya yang sedang memadamkan api. Terlihat Api sangat berkobar menghanguskan gedung yang biasa di gunakan oleh warga Rawa Ijo untuk kegiatan sosial.

"Komandan, bagaimana dengan Nadil?" tanya Guntur dengan wajah gelisahnya, karena memang sejak tadi memikirkan, dan mengkhawatirkan Nadil.

Yudhistira menoleh. "Guntur," ujarnya lalu menggelengkan kepalanya, dia benar-benar tidak tahu keadaan Nadil, dia bahkan tidak melihatnya. "Sebelum kita datang, dia sudah masuk ke gedung serbaguna untuk mencari neneknya tanpa menggunakan perlengkapan," jelasnya terdengar sangat mengkhawatirkan keadaan anak buahnya.

"Baik, terima kasih, Komandan." Guntur kemudian berlari untuk bergabung dengan teman-temannya yang sedang mulai memadamkan api.

Para petugas pemadam kebakaran bahu membahu memadamkan si jago merah yang terus membumi hanguskan desa Rawa Ijo dan kenangannya.

***

Sedangkan di dalam gedung serbaguna, Nadil masih mencari keberadaan neneknya. Hanya dengan kaos hitam dan celana jeans berwarna senada, laki-laki itu nekat masuk ke kobaran api.

"Nenek!" teriaknya memenuhi gedung yang sudah mulai habis karena di lalap si jago merah. Gedung berwarna abu-abu muda itu sudah berubah menjadi merah menyala karena api.

Atap-atap dan tembok-tembok yang di bangun dengan sangat apik, kini sudah hampir habis dimakan api. Bahkan kursi-kursi dan beberapa ornamen yang dibeli dari hasil iuran warga setempat juga sudah mulai habis, menyisakan puing-puingnya saja.

"Nenek!" Suara pemuda itu hampir habis, seperti tenaganya. Berlarian di antara api membuat energinya cepat terkuras, itu karena dia tidak sembarangan berlari.

Nadil mengusak wajahnya, dia panik sekali. Hatinya dipenuhi dengan rasa menyesal, kenapa dia tidak mau menemani neneknya tadi? Kenapa dia harus menolak? Jika dia mau menemani neneknya mungkin tidak akan terjadi seperti ini. Nadil menyesal, bahkan titik air sudah jatuh dari pelupuk mata kecilnya.

Bukan hanya air matanya saja yang jatuh, bahkan tubuh Nadil sudah dipenuhi dengan keringat. Wajahnya yang sudah merah padam kini hampir penuh dengan warna hitam dari arang yang beterbangan.

"Na—dil—"

"Nenek." Nadil menghentikan langkahnya lalu memutar tubuhnya. Dia tidak fokus hingga tidak bisa mendengar dengan jelas dari mana suara itu berasal.

Matanya kemudian terfokus pada satu ruangan yang sudah hampir habis di lalap si jago merah. Dengan tatapan kosong dan langkah gontai, Nadil melangkahkan kakinya, karena yang ada di pikirannya hanyalah neneknya saja.

Langkahnya kembali terhenti saat dia mendengar suara kayu yang hampir roboh. Nadil memfokuskan dirinya lalu kembali melangkahkan kakinya dengan hati-hati.

"Nenek!" Nadil terus memanggil-manggil neneknya.

"Nen—" Ucapan dan langkahnya kembali terhenti saat ada yang memanggilnya.

"Nadil!"

"Dil!"

Nadil menoleh, seorang berpakaian safety berjalan le arahnya sembari membawa apar. "Bang Juna," ujarnya. "Bang, jangan ke sini. Bahaya!" teriaknya berharap di dengar oleh Arjuna lalu kembali fokus pada tujuan utamanya.

Kesatria GeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang