Bab - 1

552 7 0
                                    

“Phra Phai, apakah kamu benar-benar akan belajar di sana? Bisakah kamu pergi sendiri, anakku?” Sebuah suara seorang wanita berusia di atas 40 tahun menanyakan kapan putra satu-satunya masuk dan mengatakan bahwa dia akan belajar di Bangkok.

"Bu, Phai umurnya 18 tahun. Jadi Phai bisa mengurus dirinya sendiri. Mengenai biaya asrama, Phai akan bekerja ekstra untuk membiayai dirinya sendiri. Bu, jangan khawatir," seorang anak kecil berkulit putih halus berkata dalam sebuah suara memohon.

“Ibu tidak khawatir soal uang Phai, kamu adalah anakku satu-satunya, ibumu bisa menyekolahkanmu. Tapi ibu lebih khawatir karena kamu harus pergi sendiri,” kata ibu Phra Phai dengan nada khawatir. Phra Phai berjongkok di dekat pangkuan ibunya.

"Apa yang Phai katakan padamu? Bahwa Phai bukan anak kecil lagi, Bu, jangan khawatirkan aku," pinta pemuda itu lagi. Ibu anak laki-laki itu mengangkat tangannya dan dengan lembut membelai kepala putranya.

"Bisakah kamu memberitahuku kenapa kamu ingin bersekolah di sana?" tanya ibu anak muda itu penasaran. Phra Phai berhenti sejenak sebelum wajahnya menjadi pucat.

"Yah... Phai ingin belajar tentang masyarakat baru. Dan kemudian... uh..." Phra Phai tampak sedikit ragu-ragu. Sebelum ibunya tersenyum lembut.

"Ah, sepertinya aku tahu. Kalau Phai bersikeras untuk pergi, Ibu tidak akan melarangnya. Tapi Ibu harus melihatnya dengan mata kepala sendiri," kata Ibu Phra Phai sambil tersenyum penuh pengertian. Tapi dia pikir dia sudah tahu cara membuat Phra Phai tersenyum lebar karena bahagia.

“Aku tahu ibuku pasti mengizinkanku,” ucap pemuda itu dengan percaya diri karena ibunya sangat menyayanginya.

...

"Libur semester, dari pada pulang kadang malah nggak pulang sama sekali. Itu kalau mama nggak nelpon, Mama nggak bakal kepikiran untuk pulang, Pakin," Suara seorang pemuda jangkung yang duduk di dalam Ruang tamu sambil membaca koran menyapa pemuda yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan suara yang sedikit kesal. Pakin memandangi saudara laki-lakinya dari sudut matanya.

"Minumlah kopi, itu akan mendinginkanmu terlebih dahulu," kata Pakin dengan suara tenang sebelum berjalan menuju dapur dimana kakak laki-lakinya tahu bahwa dia mengejeknya untuk berhenti berbicara dan meminum kopinya dengan tenang.

"Pakin!!" Kakak Pakin berteriak tidak senang. Namun Pakin tidak berpikir untuk terus berdebat. Dia langsung menemui ibunya, yang dia tahu akan ada di dapur sekarang.

"Halo! Halo, Bibi Salee," Pakin mengangkat tangannya untuk memberi hormat kepada ibunya dan pembantu rumah tua yang sudah lama bersama keluarganya. Keduanya sedang memasak di dapur.

“Ah, tidak apa-apa, tapi ada apa dengan kakakmu? Kami mendengar suara keras dari dapur,” ibu Pakin menoleh dan tersenyum ke arah putranya yang berjalan mendekat dan memeluknya.

“Entahlah,” jawab Pakin setenang biasanya.

"Apakah kamu sudah bertemu ayahmu?" Tanya ibu Pakin membuat pemuda itu sedikit terdiam.

“Belum,” jawab Pakin singkat.

“Khun Ras, kamu boleh duduk dan bicara dengan Khun Nu dulu. Aku sendiri yang akan melakukannya,” kata Bibi Salee dengan rendah hati.

Terima kasih. Kalau begitu aku serahkan padamu, kata ibu Pakin kembali kepada Bibi Salee sambil tersenyum sebelum memeluk lengan putranya. Dia berjalan menuju ruang tamu lain yang bukan ruang tamu tempat duduk putra sulung.

"Kenapa kamu jarang pulang ke rumah, Kin? Bukankah semesternya sudah selesai?" Tiba-tiba ibu pemuda itu bertanya.

“Aku hampir setiap hari ada pelatihan untuk anak-anak. Jadi aku jarang kembali,” jawab Pakin sambil duduk di sofa di samping ibunya.

LS : Pakin & Phra Phai ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang