"And I heard about you, oh, you like the bad ones, too?"
—
Sehari sebelumnya...
Pertama kali aku bertemu Daniel (lagi) adalah pada hari pertama semester ganjil di tahun freshman-ku.
Bibirku kering karena waktu itu angin Basalt sedang kencang-kencangnya, tapi aku selalu membawa Burt's Bees di saku outer. Aku berhenti di jendela Rolls Royce yang dua generasi lebih tua daripada Rolls Royce adik laki-lakiku, Zeo, lalu mengoleskan Burt's Bees sampai ke ujung-ujung bibirku yang berkerak. Saat itulah jendela Rolls Royce bergeser turun, dan Daniel tersenyum padaku dengan wajah yang minta dipukul.
Kalau saja aku tidak melihat kepala pirang di dasar kabin mobilnya yang bergerak naik turun, seharusnya itu akan menjadi reuni akbar kami sebagai mantan rival basket di SMP. Yah, bukan begitu, sih, persisnya. Aku main untuk tim putri Pyxis dan cowok itu main untuk tim putra Basalt. Kami tidak pernah ketemu sungguhan di lapangan, hanya anggukan singkat saat melewati satu sama lain di gimnasium tempat sekolah kami berlomba. Tapi aku tahu apa saja yang cowok itu lakukan setelah melewati masa pubertasnya. Cewek, cewek, dan cewek. Aku sudah agak hilang hormat pada Daniel setelah itu, dan melihat cowok itu diberi blowjob di hari pertamaku sebagai mahasiswi arsitektur membuat rasa hormatku copot yang secopot-copotnya.
Aku merogoh kulit permen yang kusimpan bersama Burt's Bees di saku outer-ku dan melemparnya ke kepala si cewek sebelum lari tunggang langgang.
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Tapi rasanya apa yang terjadi tidak membuat Daniel senang. Sejak saat itu, aku tidak pernah melewati Daniel tanpa cowok itu memberi tatapan seperti dia hendak membunuhku. Bahkan saat cowok itu sedang bersama pacar-pacarnya yang tidak bisa kusebutkan satu per satu karena terlalu sering gonta-ganti, Daniel masih menyempatkan diri untuk memberiku Marki special-nya: Kedua alisnya yang tebal mengeras, matanya yang setajam elang berkilat-kilat. Romantis sekali. Aku harus bersyukur karena kami tidak pernah mengambil kelas yang sama. Kalaupun iya, aku akan ada di kelas A, dan dia B. Atau sebaliknya, dia B dan aku A. Dare to say, kami adalah kutub magnet yang sejenis.
Lalu, pada suatu hari di awal semester delapan, hal yang kutakutkan pun terjadi.
Kelas Vernakular E cuma sekumpulan mahasiswa uzur yang kepengin cepat-cepat lulus. Kami sudah bosan kuliah dan mungkin sudah bosan hidup. Senangnya, ini semester terakhirku jika aku bisa langsung mengumpul tugas akhir. Aku duduk di tempat favoritku, menempel pada tembok seperti cicak, lalu mengupas kulit permen dan melempar isinya ke dalam mulut. Hari ini pilihan permenku adalah Big Babol rasa krim stroberi, pilihan yang aneh karena aku juga makan permen ini di hari pertamaku? Yang kulempar ke kepala pacar Daniel waktu itu juga bungkus permen ini.
Weird.
Itu pertanda buruk yang pertama dan terakhir karena musibahnya langsung datang dan duduk di sebelahku. Aku ternganga. Daniel memakai outfit black-on-black-nya yang biasa. Cowok-cowok lain akan terlihat seperti satpam dengan pakaian serbahitam, tapi Daniel terlihat seperti, uh, ninja. Jenis yang membuat rakyat gempar saat maskernya dibuka karena gantengnya bukan main. Harus kuakui, cowok di sebelahku ini memang ganteng. Dia fit dan percaya diri dengan badannya sendiri. Sejujurnya, aku suka cowok-cowok macho seperti dia. Tapi jika aku pernah melihat kelamin cowok itu disedot secara live oleh cewek random yang tidak kukenal? Bunuh saja aku.
Kelas dimulai, dan aku melepeh permenku yang sudah hambar kembali ke pembungkusnya. Dosenku tidak akan suka melihatku makan permen di kelas.
Lalu, samar-samar terdengar suara nge-bass Daniel memanggil namaku, "Hey, Marki."
Really? Cowok ini baru mengajakku bicara sekarang? Setelah memikirkan seribu satu cara untuk mengubur mayatku lewat tatapan-tatapannya itu?
"Apa?" aku menggeram.
"Catch."
Daniel melempar kepalaku dengan remasan kertas.
Fuck.
Dia pasti membalas dendam soal yang waktu itu.
Sambil setengah mengomel, aku membuka remasan kertas itu dan membacanya:
NBA babies w/ me?[1]
"Wow," ujarku, terkesan.
Cowok ini benar-benar brengsek.
Meski dia ternyata tidak membenciku—dan tatapan-tatapannya bisa berarti dia memikirkan bagaimana cara kami membuat bayi-bayi NBA itu—aku sama sekali tidak lega. Aku membalik kertas lecek yang Daniel lemparkan padaku dan menulis G dalam bold, underline, dan italic sebelum menunjukkan jawabanku kepada seluruh dunia.
"Yes, Ms. del Rosario?" kata dosenku dari podiumnya.
"Oh, uh, nothing, Sir!" kataku cepat-cepat. "Tadi, uh, ada nyamuk di kuping saya!"
Daniel menahan tawanya.
Aku mendelik.
Sebenarnya, highlight dari hari itu tidak terletak pada kelas Vernakular tempat kami bertemu. Setelah percakapan non-verbal itu berakhir, kami belajar selayaknya mahasiswa yang taat. Dosenku pun membubarkan kelas tepat waktu. Mengesampingkan tetek bengek soal Daniel, itu hari yang cukup indah. Aku makan sendirian di Ritz Carlton dan dilayani seperti putri raja. Aku kemudian pulang, latihan boxing sebentar—one on one dengan samsak tunggalku—lalu mandi di pancuran.
Aku sedang tidur-tiduran di sofa, mendengarkan Led Zeppelin dengan segelas Cabs yang sangat enak saat bunyi bel bergema di sudut langit-langit apartemenku.
Kalau itu barang yang kupesan di Amazon, maka aku akan memberikan penilaian bintang lima karena datangnya cepat sekali. Dengan gerakan anggun, aku mengayunkan kepalaku dan membuka pintu lebar-lebar seperti menyambut tamu negara.
Hanya untuk melihat seonggok wujud manusia tidak berguna yang mengajakku bikin bayi-bayi NBA di kelas Vernakular pagi ini.
☆
[1]biasanya cowok-cowok (di US) bilang begini ke cewek-cewek tinggi (yang mereka taksir).
—
.
Aku suka banget Markiniel, mereka se-vibes sama lagu End Game-nya TS. 😌
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss & Tell
RomanceSemua orang tahu Daniel Desjardins, eye candy Basalt yang bikin cewek-cewek mendadak suka nonton basket. Cowok itu bintang di By the Beach; apa saja yang cowok itu inginkan, bisa cowok itu dapatkan. Kecuali satu hal. Namaku Marki del Rosario, usiaku...