19. It's Raining Cats and Dogs

505 46 46
                                    

Meskipun musim panas, rasanya Basalt dan Pyxis tidak pernah ketinggalan satu hari pun hujan.

Di sini, kami bahkan terbiasa beli ponco bagus agar bisa dipakai jalan-jalan saat turun hujan. Ada satu toko niche yang khusus menjual ponco. Aku pernah berkunjung ke sana sekali, tapi memutuskan untuk tidak beli apa-apa karena jika aku belanja jas hujan di sana, sudah bisa dipastikan aku bakal kembaran dengan paling tidak tiga orang lain. Lagi pula, aku punya mobilku. Aku juga punya parka anti-air yang secara value for money memang tidak diproduksi untuk mahasiswa. Itu meminimalkan risiko kembaran yang tidak diinginkan.

Yah, singkatnya hari itu hujan. Becek, langit gelap, orang-orang dengan bot dan ponco warna-warni berkeliaran. Keluar-masuk kafe dan gedung-gedung fakultas. Daniel dan aku wisuda di hari yang sama, bersama puluhan mahasiswa arsitektur yang lain. Acaranya di ballroom pribadi Basalt, aku sudah menutupi mini gown-ku yang asimetris dengan toga, rambutku yang cuma dikepang-kepang di bawah topi. Wisudanya sudah selesai tiga puluh menit yang lalu. Sialnya, payungku ketinggalan di mobil, dan karena tadi pagi cuaca cukup hangat dan aku tidak ingin merusak dandanan full-blown Oscar de la Renta-ku ini, aku tidak jadi memakai parkaku.

"It's raining," kata Daniel yang tiba-tiba muncul setelah membeli minuman kaleng untuk kami berdua.

"Cats and dogs," aku mengimbuhi.

Daniel mengoper kaleng Sprite-ku, dan cowok itu sendiri ternyata beli UC1000. Huh. Bilang, kek, ada minuman yang lebih sehat.

"Job's finished," kata Daniel lagi. "Nggak ada lagi kelas bareng-bareng."

"Dan nggak ada lagi mergokin orang ciuman di perpustakaan," aku menggoda cowok itu.

"Said the walls behind your back."

Aku mengerutkan dahiku, marah.

Seperti diingatkan saja belum cukup buruk, Daniel malah menambahkan dengan iseng, "Kamu yang duluan, tuh."

"Nggak boleh?" Aku sewot.

"Boleh." Sekarang Daniel memejamkan matanya, cowok itu lalu membungkuk agar wajahnya selevel denganku. "Ditambahin sekarang juga boleh banget."

"Ogah," aku membalas, tapi kemudian tidak tega melihat wajah memelas dan bibirnya yang sudah maju-maju dan memberi cowok itu kecupan kecil saja.

Daniel tersenyum senang. "Makasih, sayang."

"Sayang, sayang," aku berdecak sebal, padahal menilai dari ekspresi Daniel sepertinya aku sudah memerah dari ujung kepala sampai kaki.

"Kamu memang sayangku." Yang Daniel minum UC1000, tapi saat cowok itu bersandar dengan satu bahunya dan melirikku dari bibir botol, rasanya kami sedang di apartemenku cuma berdua, minum anggur, dan mulutku akan berada di lehernya yang indah sebentar lagi. "Siapa lagi sayangku kalo bukan kamu?"

Dan aku tidak tahu untuk alasan apa aku marah. Karena jika aku mencium Daniel duluan sekarang, cowok itu pasti akan menggodaku atas perubahan sikapku yang mendadak. Mungkin jika aku bukan Marki yang pemarah saat kami pertama kali ketemu, semuanya akan jadi lebih mudah.

"Yah," kataku, lalu menggaruk leher dengan gugup. "Mana kutahu, kan..."

"Nggak ada, Marki." Daniel tersenyum sambil menutup botol UC1000-nya, senyumnya terlihat lucu dengan pipi penuh minuman elektrolit rasa lemon. "Cuma kamu aja."

Tante Ribka dan Om Tristan datang setelahnya, tidak memberiku kesempatan untuk tidak lebih merona lagi. Tidak seperti kedua orangtua Daniel yang suportif dan open minded, Papa sekarang di Kanada dan Mama sedang mengurus gala untuk acara amalnya di ibukota. Dan coba tebak, tidak ada satu pun dari anak-anaknya yang datang! Ha-ha. Aku benar-benar sendirian di tempat ini; Clarence pergi keluar kota untuk tourney game-nya, aku sudah tidak mendengar dari Andreas sejak awal tahun, dan Z masih di Saint Helena. Cuma Daniel yang kupunya saat ini.

Tante Ribka ingin mengantarku pulang, tapi aku tidak mau dan tidak bisa karena itu artinya mobilku ditinggal di kampus. Tapi Tante Ribka memaksa, dan kemudian Daniel, dan kemudian Om Tristan juga ikut-ikutan. Rambut Om Tristan putih dan panjang sebahu, seperti bagaimana aku selalu membayangkan seniman Prancis dulu. Dan membayangkan Daniel tuanya begini membuat aku ingin melakukan hal-hal yang tidak bisa diucapkan kepada cowok itu.

"Nanti dianter ke sini lagi, deh," Daniel berjanji. "Kita makan-makan aja, sama foto-foto."

Atas paksaan itu, aku akhirnya menurut. Selain itu, aku juga lapar. Kami pergi dengan mobil Daniel ke tempat bernama Monemvasia, lalu makan sambil terperangkap di dalam hujan. Langit semakin gelap tapi suasana hangat. Om Tristan dan aku ternyata berbagi selera humor yang sama, ditambah makanannya enak membuatku hampir tidak keberatan saling bertukar suap dengan Daniel. Tux-nya menghangatkan bahuku sementara togaku melapisi pahaku yang kedinginan. Setelah datang pencuci mulut, macaroon dari Yunani bernama kokakia, Daniel mengangkat piring kecil itu di antara kami dan tersenyum kepada kamera Polaroid yang dipegang Om Tristan, mendorong kepalaku ke bahunya pada detik-detik terakhir sebelum Polaroid mencetak hasil foto kami.

Aku tidak ingat kapan terakhir kali berfoto dengan seseorang, tapi aku tidak pernah terlihat sebahagia ini. Aku akan menipu diriku sendiri kalau itu cuma karena aku sudah lulus, tapi hati kecilku yang maha mengetahui menampiknya. Tidak, aku tidak senang karena aku sudah lulus. Aku senang karena aku sudah lulus dan berada di tempat ini. Restoran yang tidak semahal makan siang regulerku di Ritz Carlton atau Shangri-La, bersama orang-orang yang menyukaiku dan jelas kusukai, orang-orang yang mengharapkanku.

Om Tristan mengambil satu lagi fotoku dan Daniel agar kami bisa menyimpannya masing-masing. Aku mendapatkan foto pertama karena aku lebih suka ekspresiku yang natural di situ, dan Daniel senang-senang saja dengan hasil yang kedua karena cowok itu memang sudah terlatih untuk tersenyum ke kamera. Aku menjepret keduanya dengan ponsel, memastikan tangan Daniel dan tanganku kelihatan, lalu menge-post-nya ke Instagram setelah hampir dua tahun tidak menge-post apa-apa.

Lady killers? Aku menulis, lalu menunjukkan Daniel caption-ku, siapa tahu dia keberatan.

Cowok itu malah tertawa, tawa yang merdu dan sangat kusukai. "I had to agree," dia berkata, lalu menekan post.

Papa tidak datang ke wisudaku, Mama dan Andreas tidak tahu aku lulus, dan perhatian Clarence hampir tidak bisa kuharapkan. Aku diantar ke kampus setelah hujan cukup reda untuk menjemput Benz-ku. Daniel menciumku selamat malam sebelum aku masuk ke mobil, kami sama-sama tidak ingin berpisah tapi dia punya keluarganya dan aku punya rumahku. "We're officially unemployed now, remember?" aku tertawa dari dalam kabin mobilku, agak merunduk menatap cowok itu yang berdiri di luar. "Kita bisa ke Lucifer setiap hari, basket di By the Beach, ke mana aja—nggak ada yang ngelarang kita."

Kami mengucapkan perpisahan untuk sementara, aku menyalakan mesin Benz-ku dan Daniel ke kursi depan Rolls Royce tuanya, Om Tristan yang menyetir. Bersama-sama kami keluar dari kompleks Basalt, mungkin untuk yang terakhir kalinya; kami sama-sama sudah lulus. Aku tidak yakin kalau itu adalah hari terbaik dalam hidupku karena jalanku dan Daniel masih panjang, tapi hari itu jelas salah satu yang paling hebat.

ziesselshadrach
| already booked my flight
| 2 weeks to go

markydelrosario
maaf marki nya gabisa jawab |
udh jadi tugu |

.

Kalo ini film, dari sini closing theme-nya udah mulai main. Selamat jalan, lady killers-ku. 😌

Kiss & TellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang