8. These Backcourts Don't Burn

661 52 42
                                    

"I've made mistakes and made some choices, that's hard to deny."

Aku teler sampai bangun kesiangan.

Tapi bukan masalah. Aku masih punya kesempatan untuk memanaskan pizza beku yang terasa seperti karton juga menonton kartun pagi sebentar. Barangkali jalanan agak macet jadinya, tapi itu juga kesalahan kampusku. Populasi mahasiswa yang berjalan kaki amat sangat langka, kecuali jika mereka tinggal di asrama atau menyewa apartemen di kompleks universitas, karena jika itu terjadi bisa-bisa dijadikan bahan olok-olokan. Aku tahu, aku tahu, kampusku sangat kejam. Mereka keterlaluan dengan menganggap kampus kami sekelas kampus internasional. Pada kenyataannya, kampus kami hanya kampus swasta reguler yang bertetangga dengan banyak sekolah internasional.

Aku bersiul-siul mengikuti Bring Me The Horizon yang terdengar dari tape. Tanganku dengan fasih mengklakson, menganggap seolah jalan ini milik ayahku. (Well, in certain ways, they are.) Aku akhirnya bebas dari kemacetan dan memutar kendali ke pelataran parkir Teknik. Seperti biasanya, aku memarkirkan mobil di bawah pohon, jauh dari matahari yang menyebabkan bodinya terkelupas. Jangan mulai dengan diskusi soal bodi Benz tidak bisa mengelupas. Aku manusia dengan akal sehat. Benz-ku bukan tikus percobaan.

Meraih string bag dari kursi penumpang depan, aku keluar dari mobil, lalu menekan lock. Belum lima langkah aku menjauh dari mobil, suara klakson yang familier terdengar. Rolls Royce lama Daniel melintas cepat, dan aku berhenti sebentar, menyipitkan mata.

Dengan napas terputus-putus, aku menasehati diriku sendiri bahwa sudah sepantasnya aku menabung dan tidak  menghambur-hamburkan duitku untuk membeli barang-barang yang tidak penting. Sudah semestinya aku vakum membeli wine mahal dan pakaian yang terlalu parlente untuk beberapa waktu, demi mewujudkan keinginanku membeli Rolls Royce seperti Zeo. Aku belum sempat berkomunikasi dengan Papa belakangan ini, dan terakhir kali aku bertanya, jawabannya tidak. Sungguh tidak adil. Tapi aku bisa coba berkonsultasi dengan Zeo. Kembaranku itu sangat murah hati, dia pasti mengerti dan rela meminjamkan Rolls Royce-nya untukku.

"Hey, babe."

"JANGAN panggil aku babe!" aku langsung menghardik.

Di belakangku, Daniel terperanjat atas reaksi instanku.

Kembali aku berjalan lurus seperti robot tanpa hati menuju kelas.

"Marki!" Daniel menyerukannya dengan agak terlalu keras, dan aku menggigit bibirku mendapati seisi lobi menoleh. Hari ini Daniel terlihat luar biasa ganteng dengan leather jacket hitam. Harus kuakui cowok itu terlihat seperti baru berjalan keluar dari kover Vogue, tapi aku sedang ingin melakoni kehidupanku yang biasanya. Dia tidak lihat, apa, aku sedang memakai t-shirt polos dan mencepol rambutku asal-asalan? Mau ditaruh di mana mukaku kalau-kalau seseorang mendengar Daniel memanggilku babe?

"Kamu kenapa?" Pergelangan tanganku dicengkeram sampai aku terlempar kembali pada Daniel. Aku memberontak tanpa suara. Terus melangkah, tapi segera sadar dari tadi aku jalan di tempat dan mendadak sol sepatuku terasa licin. Aku menoleh dengan gusar, mendelik pada Daniel yang kelihatannya menikmati tontonan itu. "Kamu lupa soal kemarin?" tanya cowok itu dengan nada yang lebih lembut.

"Aku inget!" bisikku keras-keras. "Tapi aku buru-buru! Aku lupa punya hutang esai, padahal aku udah rencana ngerjain itu kemarin!"

Daniel akhirnya melepaskan tanganku.

"Oops," katanya. "Sorry."

Aku mengedik ringan, lalu meninggalkan Daniel begitu saja. Mengundaki tangga dengan perasaan bersalah. Aku tidak ingin bersikap kasar pada Daniel. Faktanya, aku agak ingin menjadi teman cowok itu, tapi soal panggilan babe itu aku memang belum menoleransinya. Daniel boleh bilang begitu saat kami cuma berdua, tapi setiap dinding dan tikungan jalan di kota ini punya telinga, dan mereka tidak pernah tutup mulut.

Kiss & TellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang