"And I can't let you go, your hand prints on my soul; it's like your eyes are liquor, it's like your body is gold."
—
Telepon-telepon dan SMS-SMS dari Daniel berhenti, tapi sebagai gantinya aku yang memeriksa ponselku setiap lima menit sekali, diam-diam berharap Daniel masih sama bebalnya dan tetap menghubungiku setelah apa yang terjadi.
Yah, jelas tidak. Aku sendiri yang bilang, meskipun tidak secara eksplisit, kalau pilihan Daniel bukan cuma aku. Setelah aku pergi, ada antrean cewek-cewek yang siap menghibur cowok itu. Aku tidak yakin banyak orang yang tahu kalau kami sempat jalan bareng, sebab dari luar kami tampak seperti sahabat biasa. Baguslah. Yang orang-orang itu tahu, Marki tidak minat pacaran. Pikirnya, "Marki? Yang tinggi itu? Pacaran? Memangnya bisa?" Aku sudah dengar hal-hal seperti itu berkali-kali. Aku lumayan menyukai perasaan kalau mereka menganggap standarku terlalu tinggi atau tidak tertebak untuk merusaknya dengan berkencan dengan seseorang, jadi saat aku memutuskan untuk jalan bareng Daniel, aku mempertaruhkan semuanya.
Dan aku kehilangan semuanya kemarin.
Aku masih belum bisa menghilangkan kebiasaan jelekku minggat dari apartemen jika ada sedikit ketidaknyamanan yang terjadi, jadi minggu itu kuhabiskan bersama Clarence di rumah, hanya main game, one on one basket di taman jika cuacanya bagus, dan membuka botol-botol anggur yang disimpan di bawah tanah.
"Dang, aku nemu yang lebih lama lagi," aku berkata pada Clarence yang sedang memeriksa atap cellar, lalu menunjukkan botol anggur dari tahun 40. "Gila, buat apa disimpen lama-lama? Kayak rasanya enak aja."
Karena Papa juragan anggur. Itu jawabannya. Ada kepala Dionysus di pengetuk tembaga yang dipasang di pintu ruang penyimpanan ini, dulu kupikir itu Medusa. "Buka ini, Clarence," aku menyuruh, lantas menyerahkan botol itu kepada Clarence yang siap dengan lengan pencungkilnya. Terdengar bunyi berdesis saat botol terbuka dan Clarence mengucurkan cairan hitam ke dalam piala kuningan.
Mengerutkan hidung, aku mengintip ke dalam piala itu. "Nggak nafsu minumnya," aku berkomentar.
"Watch me," kata Clarence, lalu menuangkan isi piala itu ke dalam tenggorokannya dan mengelap bibir dengan serbet. "Biasa aja," katanya setelah beberapa lama. "Masih lebih enak yang tadi."
Lalu, karena kami sudah kebanyakan minum dan berkeliaran di rumah seperti tikus, Clarence dan aku beristirahat di sofa yang dulu jadi tempat favorit Andreas untuk nongkrong bareng teman-temannya, main dart dan sebagainya, kemudian bicara tanpa melihat satu sama lain, "Skylar apa kabar?" Skylar itu ceweknya.
"Hmm?" Clarence bergumam. "Baik. Kenapa?"
"Udah lama aku nggak lihat dia."
"Dia juga nanyain kamu terus." Clarence memandang langit-langit. "Kubilang kamu udah lulus."
Aku berjengit. "Dia nggak apa-apa kamu bohongin gitu?"
"Kamu mau kubilang tugas akhirmu masih mangkrak?"
"Memang sengaja nggak kukerjain duluan, sih," aku mengomel.
"Nah. Gitu aja udah gengsi."
Ada jeda. Lalu, "Nggak bosen?" tanyaku.
"Hah?" Clarence menghela setengah badannya bangkit.
"Sama Skylar," ujarku.
"Hah?" Bahkan dia terdengar lebih menyebalkan lagi sekarang. "Nggak, lah."
"Ada, kok, cowok yang bosenan," aku protes.
"Belum nemu yang pas aja, kali."
Reaaallyyy? Sebagian diriku bertanya pada Clarence, tapi juga menatapku mengejek. Baik. Aku masih mencari pembenaran atas sikap Daniel. Seluruh sikapnya, lebih tepatnya. Aku masih berharap semua yang cowok itu lakukan padaku benar-benar karena dia suka aku. Aku juga ingin mencari pembenaran kalau aku adalah the one-nya Daniel. Maksudku, hello? Aku Marki! Aku boleh saja tidak cantik, tapi seseorang memilih orang lain daripada aku? Orang-orang pasti bertanya-tanya apa yang salah denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss & Tell
RomanceSemua orang tahu Daniel Desjardins, eye candy Basalt yang bikin cewek-cewek mendadak suka nonton basket. Cowok itu bintang di By the Beach; apa saja yang cowok itu inginkan, bisa cowok itu dapatkan. Kecuali satu hal. Namaku Marki del Rosario, usiaku...