"Reputation precedes me, in rumors I'm knee deep."
—
Jam berpendulum yang kuadopsi dari workshop Art Nouveau kakek buyutku berdentang dua belas kali, tapi Daniel masih di penthouse dengan sebotol amarone yang telah menipis.
Cowok itu sudah minta maaf (lagi), tapi aku masih syok. Daniel tidak salah, hell, cowok itu melakukan pekerjaan mulia memijit dan memuaskan wanita kesepian ini, tapi wanita kesepian ini sudah terbiasa dengan kesendirian dan praktis tidak familier terhadap cara-caranya yang agak, well, kinky.
Aku melapisi chemise Fleur Du Mal-ku yang sangat tipis dengan satu set piama baseball-style dari Karl Lagerfeld, tidak sadar aku sendiri menyambut Daniel dengan pakaian tidurku. Mungkin cowok itu pikir aku sedang menggodanya untuk tidur denganku. Tapi, kan, dia yang datang duluan saat aku sedang men-FaceTime Zeo. Lagi pula, stance-ku kalau aku tidak mau pacaran dan agak anti-cowok sudah cukup jelas... atau mungkin tidak lagi setelah yang barusan.
Aku mendekatkan bibirku pada tepian cangkir berisi chai masala yang kubuat, masih tidak bertukar sepatah kata pun dengan Daniel.
Apa kata Basalt saat mereka tahu cowok favoritnya menjilat kaki Marki del Rosario seperti popsicle? Aku yakin kota ini akan hidup seperti mereka hidup ditenagai oleh basket dan rumor-rumor tentang mahasiswanya. Tapi hidup yang seperti apa? Semua orang juga tahu cewek-cewek yang pacaran dengan Daniel adalah para it girl Basalt. Akulah it girl itu kalau saja aku tidak setinggi enam-kaki-tiga-inci dan memasang implan di pantatku. Cowok-cowok akan kecewa, cewek-cewek akan marah, dan para biang gosip akan menulis headline seperti, "NBA Babies Incoming? What If King James and Mamba Had a Baby?"
Daniel akan dijadikan bulan-bulanan karena khilaf denganku.
"Ready to talk?" tanya Daniel dari sofa, aku sendirian di island dengan chai masala-ku.
"We need to act cool," ungkapku. "Like we're... like we're besties!"
"Marki, mereka nggak bakal tahu kita udah ngapain aja."
"Mereka lihat kamu gigit pipiku!" aku memekik. "Terus barusan kamu—oh my God..."
Bahkan aku tidak berani ke kamar mandi untuk memeriksa apakah celana dalamku basah.
"Marki," kata Daniel tenang. "Rahasiamu aman sama aku. I don't kiss and tell. Never."
"I know!" pekikku lagi. "Siapa juga yang mau ketahuan begituan sama aku—"
Daniel mendengus geli. "Begituan?"
"Be for real, kamu jilatin kakiku."
Daniel mengedik santai. "Kakimu enak."
"Nggak ada orang yang mau denger Daniel Desjardins bilang kakinya Marki del Rosario enak."
"Marki, serius, memangnya kenapa kalau kita ketahuan?" Daniel mengubah posisinya sampai sembilan puluh derajat, lalu melipat lengan di atas kepala sofa.
"Aku sayang sama reputasimu."
"Sorry?"
"Mending kamu ketahuan pacaran sama tante-tante empat puluh tahun, atau cewek yang udah tidur sama semua cowok di Basalt daripada ketahuan making out sama aku."
"Kenapa?" desaknya.
"Aku bukan orang baik." Aku mengangkat kedua bahuku. "Aku brengsek."
Daniel terlihat ragu. "Kamu kalem-kalem aja tiga tahun kita sekampus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss & Tell
RomanceSemua orang tahu Daniel Desjardins, eye candy Basalt yang bikin cewek-cewek mendadak suka nonton basket. Cowok itu bintang di By the Beach; apa saja yang cowok itu inginkan, bisa cowok itu dapatkan. Kecuali satu hal. Namaku Marki del Rosario, usiaku...