9. Double the Trouble

539 48 32
                                    

"Our past days were the fun, this end game is the one."

Sehari sebelum akhir pekan, aku menemukan pemandangan yang aneh di pelataran parkir Teknik.

Agak gerimis di luar, tapi cuaca yang tidak menentu tidak menghentikanku dari menemukan kejanggalan saat aku baru setengah jalan dari lobi. Sekumpulan orang mengitari Benz-ku. Sambil mengacungkan satu tangan, aku menyeberang asal-asalan, menerobos mobil dan motor yang terjebak macet di jalan utama. Beberapa kendaraan membunyikan klakson saat aku menyeberang tidak sabaran. Tapi aku hanya mengatupkan tangan, meminta maaf.

"Udah, udah!" Terdengar suara Alesha. "Cabut semuanya! Orangnya dateng!"

Aku membuka kunci mobil dan melompati parit lebar yang membatasi pelataran parkir dengan jalan raya. Biasanya aku tidak mau lewat sana, skeptis bisa masuk tanpa terperosok. Aku nekat saja sekarang. Badanku sudah kepalang basah, dan aku perlu tahu apa yang Alesha perbuat pada satu-satunya Benz-ku.

"BANGSAT!" aku menyumpah keras sampai-sampai juru parkir yang sedang berteduh di pos melongo. Empat cewek kocar-kacir lari menyeberang jalan, kembali ke kompleks universitas.

Jantungku mencelus. Aku memandang penutup ban yang berserakan di kaki mobil, menyisakan ban yang lembek dan katup yang patah.

Darahku mendidih.

Luka lama saat aku harus menjemput mobil ini ke bandara sore-sore setelah Zeo berangkat ke Paris tanpa bilang-bilang terbuka lagi. Aku masih ingat hari itu seperti aku ingat namaku sendiri. Aku berangkat ke sekolah diantar sopir Mama, mereka bilang mobilku nanti dipakai untuk mengantar Zeo ke bandara. Kenyataannya, janji mengantar Zeo ke bandara itu cuma iming-iming agar aku tidak langsung lempar tantrum. Zeo berangkat sendiri dengan Benz-ku, dan sorenya aku dapat kabar kalau Benz-ku ada di basemen bandara, jemput kalau mau, tidak usah kalau tidak mau, besok ada sopir yang bakal menjemputnya. Aku bahkan belum mengganti seragam Rabu Pyxides-ku saat aku menjerit keras-keras di hall, menangis dan berteriak kepada setiap orang yang lewat.

Benz ini mungkin benda terakhir yang Zeo sentuh di sini, dan aku tidak ingin ada seorang pun yang mengubahnya selain aku.

Aku merasa sudah mengecewakan Zeo.

Aku merasa, seolah, aku telah kehilangan Zeo.

Sosok yang selalu kurindukan saat aku hendak tidur di malam hari dan sadar kami beberapa benua jauhnya dari satu sama lain.

Aku berjongkok di atas kedua kaki, memungut satu per satu komponen rusak yang mengapung di atas kubangan air. Sesak mengumpul di dadaku, menunggu untuk dilepaskan, tapi aku sudah tidak bisa berteriak lagi.

Pada akhirnya, amarahku menemukan jalan keluar yang lain.

Air mataku jatuh, menyatu bersama tetes-tetes hujan yang mengalir di pipiku.

Aku tidak percaya aku melakukannya, tapi aku baru saja menelepon Daniel.

Cowok itu masih di sekitar sini, akhirnya datang hanya dengan jersey basket dan celana pendek. Daniel jelas terkejut saat cowok itu menemukan aku sedang menangis kepada kedua lututku. Daniel menarik ketiakku dan menarikku ke dalam rangkulannya, yang secara mengejutkan terasa hangat dan nyaman di kulitku.

Kedua lenganku refleks melingkari pinggang cowok itu, meremas bagian belakang jersey-nya, menangis seperti bayi yang baru melihat dunia untuk pertama kali.

"Kamu kenapa?" Daniel meraih pipiku, membuatku menatap kedua mata cowok itu. "Kenapa kamu nangis, Marki?"

"Mobil," aku terisak, tidak peduli seaneh apa pun kedengarannya saat aku bicara. "Ban mobilku—ada yang rusakin—"

Kiss & TellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang