12. GDFR (Going Down For Real)

518 50 55
                                    

"We tried to forget it, but we just couldn't."

Sore itu aku di Rockingdown Park, menyusuri koridornya yang terang seperti anak kecil yang ketakutan, cemas mendadak Daniel muncul dan menciumku.

Bukannya aku bakal menolak, aku cuma tidak menerima publisitas dalam bentuk apa pun dalam waktu dekat. Aku tidak ingin ban mobilku kempes lagi.

Aku selamat hingga mendapatkan buku fantasi epik keluaran terbaru yang telah kuincar sejak awal bulan. Hell yeah. Aku akan menamatkanmu hari ini juga, lihat saja. Tersenyum lebar, aku menatap ke kiri dan kananku, memastikan Rockingdown cukup ramai agar aku bisa berkeliaran tanpa terpergok Daniel atau salah satu antek-anteknya.

Sayang beribu sayang, aku tertangkap basah saat sedang mengantre untuk segelas chai hangat. Daniel rupanya tidak bisa hidup tanpa allongé, tidak aneh karena dia orang Prancis, dan cowok itu selalu mengisi tumbler-nya sampai penuh sebelum sesi latihan dimulai.

"Tumben pake baju cewek?" Daniel memandang blus dan jaket denim yang kukenakan sambil tersenyum kecil. Aku memandang diriku sendiri dan mendesah pendek. Mungkin besok aku harus muncul dengan setelan hazmat supaya cowok ini tidak membuat ekspresi seperti dia akan memakanku bulat-bulat. "Kamu mau langsung pulang?" dia bertanya setelah aku mendapatkan chai-ku.

Aku mengangguk lesu.

Daniel sedang bersama teman-teman Instinct-nya, dan aku tidak suka bagaimana teman-teman Daniel berwajah heran seperti itu. Aku tahu, kok, aku bukan Alesha atau cewek-cewek yang pernah dekat dengan Daniel, aku bukan it girl. Kadang-kadang aku cewek goth tanpa lipstik hitam dan eyeliner tebal, kadang-kadang aku model Fear Of God, dan kadang-kadang aku model Prada. Daniel beruntung cowok itu menyukaiku karena aku tidak akan minta apa-apa darinya.

"Kamu nggak mau, gitu, nemenin aku latihan?" Daniel menyandarkan satu lengan pada konter dan agak mencondongkan lehernya padaku.

"Uh," kataku.

"Ikut aja," bujuk Kess, teman Daniel yang paling ramah di antara semuanya, karena ternyata cowok itu juga sekampus dengan Clarence di Pyxis dan kenal adikku.

"Ayo." Daniel meraih tanganku, dan aku bersumpah baru saja mendengar salah satu teman Daniel tersedak kopinya. Mampus. Semoga nanti dia keselek bola basket sekalian. "Aku pengen banget latihan ditemenin kamu."

By the Beach, nama lapangan basket itu, adalah lapangan basket three on three, tipikal lapangan basket separuh dengan satu ring yang sudah menjadi jantung kota ini sejak tiga tahun silam. Lapangan basket itu sebetulnya punya nama lengkap: Court by the Beach, tapi mayoritas penduduk Basalt sepakat menyebutnya By the Beach, jadi lahirlah nama tersebut. Ada tribun seperti amfiteater yang menghadap langsung ke pantai, dan di sanalah remaja-remaja paling membosankan di Basalt nongkrong untuk minum kopi dan menonton matahari terbenam.

Aku tidak percaya baru saja setuju untuk jadi salah satu dari remaja-remaja itu, menemani Daniel latihan dan duduk di undakan terbawah, yang, semua orang juga tahu, adalah tempat VVIP untuk para pacar dan teman dekat.

"Memang apa bedanya?" aku bertanya saat Daniel menitipkan ranselnya padaku dan mengganti t-shirt-nya dengan jersey ungu yang dipakai fakultas Teknik di anniversary Basalt dua tahun lalu. "Aku cuma duduk," ujarku, "nggak ngapa-ngapain."

"Koreksi aku, lah," katanya. "Kamu, kan, mantan atlet."

"A rotten one, yeah," aku membalas sengit.

"I believe you've still got it in you," sahut Daniel kalem.

Cowok itu mencubit pipiku dan berlari kecil menuju lapangan.

Kiss & TellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang