16. What It Is

393 41 37
                                    

"I swear I don't love the drama, it loves me."

Setiap fakultas di Basalt sebenarnya punya perpustakaan masing-masing, tapi mereka punya satu perpustakaan di Plaza yang disebut Perpustakaan Besar. Seperti namanya, bangunannya besar dan beratap kubah dengan kupola, serambinya punya portico, dan kalau kamu norak, di sanalah kamu foto untuk pertama kali setelah resmi jadi mahasiswa Basalt. Mau bagaimana lagi, tempatnya harus kuakui memang keren, aku tidak punya alasan untuk benci tempat itu selain kalau ramainya bukan main di jam-jam tertentu.

Ini minggu keduaku tanpa Daniel, kami sempat ketemu di kelas kemarin tapi cowok itu tidak mengatakan apa-apa meski kami sempat bertatapan lama. Kursi di sebelahku kosong, seperti biasanya, tapi banyak juga kursi lain yang masih tersedia. Antara orang yang duduk di sebelahku memang kepengin duduk di sebelahku atau mereka tidak punya pilihan sama sekali, no in between. Daniel jelas punya pilihan, dan setelah membuang tatapan dariku, cowok itu akhirnya memilih duduk di pojok ruangan, jauh dari kursiku dan lebih jauh lagi dari podium dosen.

Serius, aku sangat berusaha untuk tidak menoleh ke belakang karena rasanya setiap leherku pegal-pegal dan aku terpaksa melihat Daniel, cowok itu pasti sedang mengawasiku. Kurasa kami kembali seperti awal lagi. Kelas itu selesai tanpa aku bicara dengan Daniel sama sekali. Cowok itu tidak mengejarku ke mobil, dan meskipun aku agak kangen diberi perhatian, aku bersyukur kami tidak bikin ribut di kompleks universitas.

Aku masuk ke Perpustakaan Besar untuk memperbarui kartu anggota setelah empat tahun karena ternyata aku bisa mengakses banyak koleksi komik di e-reader dengan kartunya Basalt. Aku tidak pernah sadar itu sampai kemarin malam, jadi setelah kelas usai aku buru-buru ke sini dengan lagak seperti aku mengunjunginya setiap hari. Sungguh, para mahasiswa yang cuma numpang tidur atau ngadem di sini masih jauh lebih mulia daripada aku yang hampir tidak pernah masuk sekali pun. Untungnya, petugas perpustakaannya adik kelas cewek yang sedang kerja sambilan, dan kebetulan cewek-cewek polos begini adalah keahlianku. Aku tidak merayu mereka—hell, no—tapi biasanya mereka takut duluan melihat tinggiku yang abnormal.

"Ha-halo, ada yang bisa saya bantu?" Namanya Stella, tertera di pin namanya, dan cewek itu punya rambut liar yang diikat rendah. Kalau saja dia tidur lebih banyak, cewek ini pasti lebih manis.

"Ada," kataku, lalu mengambil kartu perpustakaanku yang sudah kadaluwarsa dari saku blazer Prada-ku. "Kartuku udah expired. Aku nggak pernah pake kartuku di sini, tapi aku mau pake kartunya buat akses perpustakaan digital di internet."

"Oh, bisa, Kak, bisa!" Stella meraih kartu yang kuangsurkan, mengamatinya sebentar, lalu menulis sesuatu di komputer. "Nggak pernah diperbarui sejak maba, ya..."

Brengsek. Bisa nggak, sih, nggak usah buka-buka kartu? No pun intended.

"Aku jarang di kampus," ujarku sok sibuk.

"Tunggu sebentar, ya, Kak," kata Stella. "Soalnya kartu fisiknya juga harus diganti. Duduk aja dulu, nggak apa-apa."

"Oke," aku membalas. "Aku sekalian mau liat-liat."

Ada yang bilang ini perpustakaan paling besar di provinsiku dan banyak yang mencoba memalsukan identitas sebagai mahasiswa Basalt untuk mengakses bukunya, tapi hari ini pengunjungnya lumayan sepi. Aku bisa menyisir rak demi rak dan memindai judul-judul yang tersedia sambil membuat catatan dalam hati. Daripada perpustakaan ini, sejujurnya aku lebih sering ke perpustakaan fakultasku sendiri untuk kepentingan-kepentingan mendesak, alhasil aku berpikir koleksi di sini tidak jauh beda dari koleksi perpustakaannya Teknik. Ternyata aku salah. Isinya tidak cuma buku-buku refrensi dan koleksi penelitian mahasiswa saja. Banyak juga buku-buku yang jelas bisa kubaca dan kubawa pulang jika aku memang mau.

Kiss & TellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang