Minggu pagi ini cukup cerah, lumayan bagus bagi beberapa orang yang suka bepergian untuk sekedar berjalan santai sambil menikmati udara pagi.
Lain halnya dengan Koyuki. Selama menjadi Noir, dia jarang mendapatkan waktu istirahat yang panjang. Paling-paling ia hanya bisa berjalan beberapa jam di pusat perbelanjaan, membaca buku-buku tebal atau berakhir menonton film di laptopnya. Kehidupannya nyaris monoton selama sekian tahun dia hidup.
Jadi, ketika ia kembali ke usia lima belas tahun-- dengan kehidupan yang berbeda pula, Koyuki agak linglung di awal. Namun sepertinya ia sudah mulai terbiasa, seperti sekarang. Gadis itu tengah berjalan-jalan di sekeliling distrik Sannoh. Ia mengenakan Kaos hitam yang sedikit kebesaran, dengan celana jeans longgar yang nyaman. Rambutnya masih dicepol, kebiasaan baru saat rambutnya mulai memanjang.
Berbekal dompet dan ponsel, Koyuki berjalan menuju perbatasan distrik Sannoh dan Oya, melewati pagar besi yang menjadi pembatas lain antara dua distrik itu. Sepanjang jalan, gadis itu menatap area distrik yang terkenal dengan sekolah berandalannya itu dengan lekat. Tidak berbeda jauh, tapi dia merasa bahwa Sannoh terasa lebih tenang.
Suasana Oyakou terasa agak dingin, mungkin karena dirinya baru pertama kali bertamu ke distrik biru ini. Matanya menilik salah satu toko buku yang terlihat usang di kanan jalan, namun entah mengapa menarik matanya. Koyuki lantas berlari kecil ke toko itu, tampaknya dia sedikit bersemangat.
Namun, bak hari sial yang tidak ada dalam kalender, seorang pemuda ber-gakuran hitam menabraknya dari samping hingga dirinya nyaris limbung. Koyuki sigap menoleh ke arah pemuda dengan bandana biru yang melingkar di lengan kanannya.
Rahang Koyuki mengeras. Dia mencoba menghela napas pelan, memasang wajah default-- dingin tak tersentuh. Matanya melirik kanan kiri, mengantisipasi apakah ada orang yang siap menabraknya lagi. Dan tebakannya benar, memang ada beberapa orang lagi, namun jaraknya tertinggal cukup jauh.
Koyuki melirik punggung pemuda yang kini mulai hilang dari pandangannya itu, "Dipikir ini jalan nenek moyangnya? Dasar anak SMA." Koyuki mendumel kesal hingga tanpa sadar berbicara bahasa yang ia gunakan saat hidup sebagai Noir.
Sisi lain yang perlu diketahui, Koyuki-- Noir lebih tepatnya itu aslinya cerewet. Bahkan diawal dia memang memiliki kepribadian ceria, persis seperti Koyuki yang asli. Namun seiring pengaruh dendam dan pekerjaan, karakternya berubah dingin dan cenderung sadis. Lalu ketika kembali hidup di sini, sifat aslinya sebagai Noir di masa lalu sekaligus sifat Koyuki yang asli seolah bercampur menjadi satu.
Aneh? Entahlah, Koyuki juga bingung. Dia bahkan merasa takjub karena bisa menahan niat membunuh ketika emosinya sedang naik atau tidak stabil. Namun itu sedikit melegakan, setidaknya dia tidak perlu mengurung diri agar tidak melukai orang lain.
Yah, waktu tidak bisa berbohong. Sepuluh tahun hidup sebagai assassin membuatnya sudah tidak merasakan apapun saat mencabut nyawa seseorang, tapi untungnya dia selalu menahan tangannya hingga dirinya nyaris tidak pernah melukai warga sipil tidak bersalah meski se-berbahaya apapun misi yang ia lakukan.
Akhirnya setelah mencoba menenangkan diri, Koyuki lantas memasuki toko buku tersebut, menghiraukan riuh anak-anak SMA yang penampilannya sulit disebut sebagai anak SMA, tengah berlari sambil ribut-ribut memanggil seseorang. Koyuki tidak begitu jelas mendengarnya karena ia tidak peduli.
Bukunya jauh lebih penting daripada mengurusi sekelompok anak SMA yang bahkan belum pernah ia temui.
-------------
"Arigatou, Obaa-san." Koyuki menunduk pelan yang disambut senyum manis oleh seorang wanita tua selaku pemilik toko buku. Gadis itu baru saja selesai berkunjung dan bersiap untuk pergi berkeliling.
![](https://img.wattpad.com/cover/370006867-288-k58791.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Incipient : Another World - High and Low Fanfiction
FanfictionIncipient (adj) | mulai ada atau muncul; pada tahap awal Noir selalu membenci hujan. Disaat hujan ia kehilangan kakak tersayangnya, di bawah hujan pula ia nyaris kehilangan mahkotanya. Dibawah hujan, dia kehilangan rasa kemanusiaannya. Untuk pert...