SATU - KESALAHAN

223K 5.6K 235
                                    

Aku sungguh-sungguh tidak menyukai saat mata tajam pria itu menatapku lama. Hanya menatap, tidak berkata apa-apa ataupun memberiku sebuah senyuman. Dia tetangga baru yang pindah ke sebelah rumahku, namun aku berharap tidak akan pernah berhubungan dengannya.
***

PART 1 - KESALAHAN

Lagi-lagi tetangga baruku membawa seorang wanita ke rumahnya. Dan selalu wanita yang berbeda setiap kalinya―aku tahu itu karena beberapa kali tanpa sengaja aku melihatnya, terlebih hal itu diperkuat oleh kabar angin yang telah tersiar di perumahan tempat kami tinggal. Tapi aku merasa heran karena sampai detik ini Pak RT belum melabrak pria tetanggaku itu.

Aku benci pria itu. Aku benci Pak RT. Aku benci karena setiap malam harus menulikan pendengaranku dari desahan-desahan dan erangan si pria sialan itu dan wanita-wanitanya. Apa pria itu tidak tahu bahwa dinding yang membatasi rumahnya dan rumahku itu sangat tipis? Ataukah ia malah tahu tapi tidak peduli ataupun ambil pusing?

Brengsek! Sialan!

Malam ini aku memasang senjata baruku, headset. Malam-malam sebelumnya―selama satu bulan sejak kepindahan pria itu―biasanya aku menyetel televisi atau tape dengan volum maksimal agar suara-suara erotis mereka teredam. Namun hasilnya, tadi pagi sebelum aku berangkat kerja, Pak RT malah mendatangiku untuk menegurku karena keluhan para warga yang merasa terganggu atas ulahku. Aku ingin balik mengeluh dan mengadu mengenai sikap tak bermoral tetangga sebelah rumahku itu, tapi sayangnya aku belum mempunyai nyali yang cukup.

Kini headset sudah kupasang, namun suara-suara erangan, desahan, dan teriakan itu masih bisa menyapa gendang telingaku. Dengan amarah yang sudah menggerogotiku, aku menjerit sekuat-kuatnya. Lalu hening, yang terdengar hanya alunan musik heavy metal yang mengentak-entak di telingaku dan suara napasku yang terengah-engah. Kupikir semua sudah berakhir, tapi ternyata aku salah. Suara-suara itu malah semakin menjadi.

Kubanting headset-ku ke lantai. Sudah cukup! Lama-lama aku bisa gila! Akhirnya dengan keberanian yang timbul karena rasa marahku, kudatangi rumah tetangga sebelahku itu. Setelah lima ketukan yang rasanya seabad, pria itu baru membuka pintu rumahnya. Saat melihat wajah tampan namun liar pria itu, rambutnya yang acak-acakan, tubuh bagian atasnya yang hanya mengenakan kemeja putih yang seluruhnya tidak terkancing, dan celana boxer hitam, kemarahanku langsung surut, dan dengan cepat digantikan oleh rasa malu yang luar biasa.

Aku wanita single dan belum pernah berpacaran seumur hidupku. Dulu saat aku masih tinggal dengan keluargaku, aku biasa melihat ayah, adik, dan kakak lelakiku hanya mengenakan handuk atau celana mereka. Tapi pria yang tengah menatapku dengan malas ini jelas-jelas bukan keluargaku, dan aku tidak siap!

Buru-buru kupalingkan wajahku ke arah lain, ke mana saja, asal tidak ke arah pria itu.

"Ada apa tengah malam...?" Sialan, kenapa suara seraknya terdengar seksi dan menggoda di telingaku, ya? Atau itu hanya perasaanku saja?

Dengan tubuh gemetar dan napas yang terasa menyangkut di tenggorokanku, aku berusaha untuk mengeluarkan suaraku. "Ak-aku tetangga sebelahmu." Ya Tuhan, ya Tuhan! Tenangkan dirimu, Chocolate!

"Ada apa, tetangga sebelah?"

Sialan, saat ini aku ingin segera kembali ke kasur hangatku! Tapi itu bisa menunggu. Hei, kenapa pria itu tidak berusaha untuk menutupi tubuhnya sih? Memangnya dia tidak malu? Ah, aku lupa, mana mungkin pria seperti dia punya rasa malu kan? "Bisakah kamu berhenti untuk... berisik?" Aku berusaha untuk mencari kata yang sopan, jauh dari kesan vulgar, dan hanya kata itu yang terpikirkan saat ini.

"Berisik?" tanyanya dengan nada yang seolah bingung.

Aku menyeka peluh di wajahku dan menelan ludah sebelum berkata, "Itu... suaramu dan suara wanitamu... berisik."

Ia hanya menjawab oh. Apa maksud oh itu? Saking kesalnya, aku menoleh kembali pada pria itu dan kutatap tajam matanya. kesalahan besar, fatal.

Dari dekat, pria ini sungguh sangat tampan dan memesona! Dan aku juga dapat merasakan aura liar dan berbahaya, serta feromon memabukkan yang terkuar dari tubuh six packs-nya yang serta merta membuatku merinding.

"Kamu... yang berteriak tadi?"

Wajahku langsung memanas dan kurasa saat ini warnanya sama dengan warna piyama merah yang tengah kukenakan. Aku tidak perlu menjawab kan?

Mata pria itu tiba-tiba menatapku dengan tajam dan ekspresinya berubah serius. Namun ia masih berdiri dengan posisinya semula; bersandar ke kusen pintu dengan santai. "Apa kamu mau bergabung dengan kami?"
***

VIRGIN CHOCOLATE IS MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang