2. Memulai dari Awal

70 36 29
                                    

"Jika ini garis takdirku maka aku bisa apa selain menerimanya"

_Alengka Prajastama Mahendra_

^^^^^

Siang hari yang begitu panas tidak menggugurkan niat Alengka untuk mencari pekerjaan dan menghidupi kebutuhannya dan ibunya.

Sudah satu minggu lamanya Alengka mencari pekerjaan dan mengabaikan kuliahnya tapi pekerjaan yang Alengka cari cari tidak pernah kunjung didapatkannya. Sedangkan Alengka sudah tidak tega melihat sang ibu keliling menjajakan dagangannya di tengah teriknya matahari.

"Susahh banget cari kerja" Alengka mengacak acak rambutnya frustasi saat dirinya hampir seharian penuh mencari kerja tapi tidak pernah dapat

Alengka sedang duduk di emperan toko yang sedang tutup sambil melihat surat lamaran kerjanya yang tidak pernah diterima di perusahaan manapun.

"Aneh juga gue nyari kerjaan di perusahaan tapi lulusan SMA" Alengka merutuki dirinya sendiri yang bodoh karena begitu nekat mencari pekerjaan di perusahaan dengan modal ijazah SMA.

Alengka pun kembali melangkahkan kakinya untuk mencari pekerjaan dan langkah kakinya terhenti di depan sebuah tempat di mana paket akan dikirimkan.

"Apa gue coba di sini aja ya? " dengan mengumpulkan segala keberanian, Alengka pun memasuki tempat tersebut dan memberanikan diri untuk melamar pekerjaan

HRD melihat penampilan Alengka yang cukup rapi dan cocok untuk menjadi pekerja di kantoran, salah bukan pekerja tapi pemiliknya atau biasa disebut CEO. Tapi jika melihat Alengka yang lulusan SMA rasanya hal tersebut sangat mustahil untuk terjadi.

Karena kebetulan tempat tersebut kekurangan pekerja untuk menjadi kurir HRD tersebutpun menerima Alengka untuk bekerja di tempat tersebut dengan syarat Alengka harus mempunyai motor.

Tentu saja hal tersebut membuat kepala Alengka rasanya ingin pecah, bagaimana dirinya bisa mendapatkan sebuah sepeda motor jika dirinya saja tidak mempunyai uang sepeserpun, makan saja dia menggunakan uang hasil jualan ibunya dan mana mungkin seorang Alengka meminta kepada ibunya untuk membelikan sebuah sepeda motor.

Alengka hanya bisa duduk termenung di jendela kamarnya sambil melihat ke arah bulan yang menerangi seluruh dunia dengan sinarnya yang begitu cerah.

Tepat 3 hari yang lalu Alengka membawa ibunya pindah ke sebuah kontrakan yang sederhana yang terdiri dari dua buah kamar, satu ruang tamu, satu dapur dan satu kamar mandi.

Alengka menyewa kontrakan tersebut menggunakan uang tabungannya dulu saat ayahnya memberikan uang jajan. Alengka bukanlah tipe anak orang kaya yang akan menghambur hamburkan uangnya untuk ketenaran, tapi Alengka akan memilih menyimpan uang tersebut dan menabungnya untuk hari kedepannya yang dirinya tidak tau apa yang akan terjadi.

Dan sisa uangnya Alengka berikan kepada ibunya untuk membuka usaha di kontrakan, tapi di luar prediksinya sang ibu malah memilih berjualan keliling yang membuat Alengka frustasi sendiri.

Alengka sengaja membawa ibunya pergi dari apartement karena Alengka tidak ingin sang ibu mengingat kembali masa kelam saat di rumahnya. Tentu saja kenangan indah tersebut tidak hanya terjadi di rumah saja melainkan di apartement Alengka juga, jika Alengka tidak pulang ke rumah maka kedua orang tua Alengka akan menyusul Alengka ke apartement dan menginap di sana hingga akhirnya Alengka pulang ke rumah.

"Kenapa bang? " tanya Hanna sambil mengelus rambut putranya yang sedang melamun sedari tadi

Sudah dari tadi Hanna memperhatikan putranya yang melamun sambil duduk di jendela kamarnya dan menatap bulan, sebagai seorang ibu Hanna mempunyai insting yang kuat bahwa putra semata wayangnya sedang mempunyai masalah.

"Gapapa bun" Alengka menjawab sang ibu dengan senyuman, selain tidak ingin membuat sang ibu kepikiran Alengka juga tidak mau jika ibunya mengetahui dirinya selama satu minggu ini tidak masuk kuliah

"Jadi gak mau nih cerita sama bunda" Alengka menatap ibunya yang duduk di kasur miliknya. Dapat Alengka lihat dengan jelas perubahan ibunya yang begitu drastis.

Dari tubuh yang menjadi semakin kurus, wajah yang semakin tidak terurus, dan mata yang sayu. Alengka tidak tega melihat kondisi ibunya yang setiap hari pergi menjajakan kuenya dari pagi hingga malam, jika kue milik ibunya habis maka ibunya akan kembali cepat seperti hari ini ibunya telah tiba sejak pukul 3 sore, jika tidak habis maka ibunya tidak akan kembali hingga jam menunjukkan pukul 9 malam. Dan Alengka akan merasa khawatir karena ibunya yang tidak kunjung kembali, sehingga dirinya harus menyusuri seluruh jalanan untuk mencari ibunya.

"Abang emang gak papa bunda" Hanna menatap mata putranya yang kelihatan banyak sekali memikul masalah tetapi putranya tersebut tetap saja tidak ingin bercerita

"Bunda tau kalau kehidupan kita berubah 180 derajat, tapi abang juga harus tau mau gimanapun kehidupan kita yang namanya keluarga tetaplah keluarga" Alengka menatap ibunya dengan mata berkaca kaca tapi tetap saja dirinya tidak ingin jika ibunya mengetahui permasalahan yang sedang dihadapinya

"Abang inget kan? Dulu setiap malam kita pasti nyempatin untuk deep talk bareng, kalau gak bunda sama ayah yang ke kamar abang, maka abang yang ke kamar ayah sama bunda, kita pasti saling tanya gimana harinya hari ini? Seru gak? Bahagia gak? Ada yang sedih gak? Ada masalah gak? Kita keluarin semua deh unek unek kita, sampai kita ketiduran bareng, ayah deh yang mondar mandir untuk mindahin abang ke kamar abang, dulu kata ayah badan abang kayak hulk berat banget soalnya" Alengka langsung memeluk ibunya yang kembali bernostalgia ke masa lalu tapi Alengka tau dibalik senyuman yang ditampilkan ibunya ada hati yang begitu sakit saat mengingatnya

"Apa hal tersebut harus hilang hanya karena perubahan takdir yang sudah ditentukan oleh maha kuasa bang? " Alengka menggelengkan kepalanya saat ibunya bertanya kepadanya

"Terus kenapa abang gak mau cerita sama bunda? Hm? " mati matian Alengka menahan air matanya agar tidak tumpah dihadapan sang ibu

"Abang gak papa bunda, abang baik baik aja, abang cuman keinget kehidupan kita yang dulu aja, kenangan kenangan sebelum ayah....... " Alengka menghentikan kalimatnya saat sang ibu membalas pelukannya dengan erat

"Maafin bunda nak, kamu harus menghadapi semua ini gara gara bunda, maaf" lirih Hanna

"Bukan salah bunda, tapi ayah yang brengsek dan gak tau kenapa sampai saat ini Alengka gak bisa benci sama dia" air mata Hanna semakin deras luruh saat mendengar ucapan Alengka

"Jangan, jangan pernah benci ayah, sebrengsek apapun dia, dia tetap ayah terbaik Alengka"

ALENGKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang