• 27. Tayangan Masa Lalu •

92 8 1
                                    

Yuhuu thanks for 10k viewers-nya🤩🌷

And thanks juga karena udah mau nungguin cerita ini, but I think bakalan stop dulu sampai chapter ini bcs aku sibuk banget di rl. Aku berharap bisa dimaklumi (walau sebenarnya ragu ada yang nungguin🤣).

Oke itu aja. Let's enjoy this chapter!🤗


 Let's enjoy this chapter!🤗

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






Anetta mengernyit, ia tidak tau apakah ini mimpi atau kenyataan. Melihat adanya singgasana megah di hadapannya, pun dengan dua laki-laki berbeda usia di sana. Laki-laki lebih muda itu berlutut menghadap laki-laki satunya.

"Saya akan menerima perintah, Ayahanda." Pemuda itu menunduk dalam, memberi hormatnya pada pria paruh baya yang dipanggil 'ayahanda' itu.

Anetta menatapnya dengan bingung. Ia tak mungkin salah mengira jika itu adalah ayahnya di kehidupan lampau. Namun, ia tak bisa mengingat siapa gerangan laki-laki yang berlutut itu. Ia bahkan tak bisa melihat wajah itu dengan jelas.

"Kau siap untuk pergi membela negara, Akselion?" tanya pria itu dengan raut wajah yang sulit diartikan.

"Saya selalu siap, Ayahanda. Apa pun untuk kerajaan kita." Pemuda itu menjawab tegas, tak terdengar keraguan sedikitpun di dalam kalimatnya.

"Bagaimana jika kau nantinya tidak kembali? Aku ... tidak bisa membiarkan itu terjadi, karena kau penerus kerajaan ini." Pria itu menggeleng, sebenarnya ia tak pernah ingin mengirim anaknya itu ke medan perang. Hanya saja, kali ini adalah kewajiban. Hal yang dilakukan oleh masing-masing keluarga untuk mengirim salah satu keluarganya ke medan pertempuran.

"Tidak, Ayah. Ini adalah kewajiban. Saya yakin akan kembali."

"Apakah kau tidak merasa ini adalah jebakan, Nak?"

Sepertinya pria itu berniat menggoyahkan tekad putranya itu. Berharap-harap cemas agar putranya menolak perintah itu.

"Untuk berjaga-jaga, saya ingin menyampaikan permintaan saya, Ayah."

"Jangan mengatakan hal itu, kau harus yakin bisa kembali dan menjadi pemimpin kekaisaran ini, Nak," cegah pria itu tak ingin sang anak mengatakan bahwa dia tak akan kembali.

Pemuda itu bangkit, berdiri tegak. Menatap lurus netra hitam milik ayahnya. Ia mengulas senyum simpul pada birai tampannya. "Izinkan saya mengajukan permintaan, Yang Mulia."

Pria itu menghela napas, mau tak mau mendengarkan permintaan sang putra. Begitupula dengan sosok Anetta yang tak terlihat oleh keduanya.

Gadis itu akhirnya tau, siapa laki-laki itu. Ternyata tidak jauh bedanya dengan di kehidupannya sekarang, bahwa laki-laki itu memang kakaknya.

"Saya ingin memberikan tahta ini pada Anetta, Ayah. Jika pun saja kembali nanti, saya ingin Anetta yang menjadi penerusmu."

Anetta mengernyit, bagaimana bisa laki-laki itu mengatakan hal demikian? Bukankah semua orang pasti menginginkan tahta yang tinggi itu? Lantas bagaimana kakaknya itu bisa memberikan hak istimewa itu pada Anetta? Pada dirinya yang bahkan tak tau rasa terima kasih?

Apa ini? Mengapa ia tak pernah mengetahui kebenaran bahwa sang kakak memberikan tahta itu padanya? Mengapa?

Sebuah cahaya biru terang menyinari dua laki-laki yang berbincang serius itu. Membuat Anetta menyipitkan matanya karena silau. Dan tanpa sadar, ia sudah berpindah tempat.

Kini ia berada di padang gersang, dengan pepohonan tanpa daun di sekitarnya. Pepohonan tua yang lambat laun bisa saja tumbang.

Anetta menyapu pandangan ke sekitar. Tak menemukan orang satu pun di sana. Membuat dirinya bertanya-tanya, mengapa ia bisa ke tempat ini jika tak memiliki kepentingan?

Belum habis ia menerka, sebuah suara membuat ia refleks menoleh. Netranya melebar begitu mengenali seseorang yang kini bersandar di bawah pohon itu. Terlebih lagi dengan luka di beberapa sisi yang masih mengeluarkan darah segar.

Anetta segera mendekat, berusaha menyentuh pemuda itu. Sayang sekali, ia hanya penonton bagi penderitaan pemuda itu. Ia tak dapat membantu karena yang ia lihat ini hanyalah tayangan kehidupan lampaunya.

Gadis itu menitikkan air mata menatap ketidakberdayaan Akselion dengan luka-luka yang menganga lebar itu. Rasanya sakit melihat orang yang ia sayangi terlihat tak berdaya di depan matanya. Padahal dirinya dekat sekali.

"Ternyata ini yang ayah maksud."

Mendengar itu, Anetta kembali terisak keras. Tak peduli jika Akselion mendengarnya.

"Maaf, Ayah. Sepertinya wasiatku memang harus dilaksanakan. Karena aku sangat menyayangi gadis itu melebihi hidupku sendiri," ucapnya diiringi ringisan pelan.

Pemuda itu tersenyum, memegangi lukanya di bagian perut. "Maaf juga Ayah, karena putramu ini tidak dapat bertahan lama. Tapi aku senang bisa berjuang di medan pertempuran untuk negara kita, Ayah."

"Hentikan. Kau jangan berbicara terus! Lukamu tidak akan berhenti menitikkan darah jika kau berbicara terus, Kak!" Anetta berseru marah, masih dengan air mata yang mengalir deras. Ia berusaha agar bisa menyentuh saudaranya itu, tetapi tangannya selalu tembus. Membuat ia hanya bisa menangis tersedu, menatap pemuda itu yang meringis menahan sakit.

"Akselion ..." lirih Anetta, tak kuasa melihatnya.

"Aku seperti mendengar kau memanggilku, Netta. Terima kasih telah menjadi adik manisku. Aku sangat menyayangimu," gumamnya pelan. Nyaris tidak terdengar.

"Kak, aku juga menyayangimu. Maafkan aku, maafkan diriku yan telah mengecewakanmu. Aku bersalah, Kak, maafkan aku," ucap Anetta mengulang-ulang perkataannya.

Seperkian detik, Akselion hanya tersenyum di akhir hayatnya setelah menggumamkan kalimat sayang untuk Anetta untuk terakhir kalinya.

Melihat saudaranya itu menutup mata, Anetta meraung keras. Memanggil nama pemuda itu berkali-kali, berharap sang kakak bisa kembali. Namun, sayang sekali, pemuda itu sudah pergi. Tak menggelakkan perpisahan antara keduanya untuk berpisah.

"AKSELION!"

***



Diketik : 769 kata

.

Any question?

.

Transmigrasi : Anetta's Journey Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang