• 21. Orang Misterius •

295 18 0
                                    

Halo, ada yang kangen cerita ini?👀

Terima kasih sudah tembus 1k viewers🥳🤭

Happy reading ya~

Cek for typo!^^

Cek for typo!^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






***

"ANETTA!"

Ketiga orang itu segera menghampiri ranjang tempat Anetta berada. Ketiganya menatap kompak ke arah Liovando, membuat laki-laki itu mengernyit bingung.

"Lo apain Anetta?" tanya Diyara dengan nada yang tak bersahabat.

"Lo bisa tanya dia nanti. Urusan gue udah selesai, jadi gue pergi." Liovando berdiri dari duduknya. Melenggang begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari ketiganya.

Nino yang hendak menyusulnya ditahan oleh Jeffryan. "Lo gak perlu urusin dia, Anetta perlu kita saat ini," ucapnya mengundang decakan dari Nino.

Diyara mengangguk, "Iya, bener. Gue setuju sama Jeffry, kita mending temenin Anetta sampai dia sadar."

Nino akhirnya mengalah, lantas mengambil tempat di sebelah kiri ranjang. Tanpa kata mulai mengeluarkan ponselnya, menghubungi seseorang.

Jeffryan tak peduli banyak dengan tingkah Nino,  ia mengalihkan pandangannya pada Anetta yang masih terpejam. Ia menatap sendu wajah gadis itu. Entah kenapa setiap hal yang berhubungan dengan Anetta, membuat dirinya menjadi orang yang berbeda. Gadis itu benar-benar bisa membuat hatinya terasa sakit hanya dengan melihat penderitaannya. 'Lo cuma pingsan, Net, tapi kenapa gue khawatir banget. Plis buka mata lo, kita di sini nungguin lo.'

Tak hanya Jeffryan, Diyara juga merasa sangat khawatir pada sepupunya itu. Padahal baru saja mereka selesai berbincang di rooftop, tetapi kenapa sekarang Anetta berakhir pingsan? Tidak bisakah gadis itu hanya diam dan menikmati hidup dengan tenang? Ia sangat sayang pada Anetta, meski Anetta bukan sepupu aslinya, tetapi karena Anetta-lah ia bisa merasakan indahnya pertemanan.

'Sebenarnya apa yang menahan jiwa lo, Net? Sehingga lo selalu penasaran dengan banyak hal,  yang seharusnya gak lo ketahui. Gue harap lo gak kenapa-kenapa.' Diyara membatin, seraya tersenyum tipis memandangi mata yang setia tertutup itu.

***

Berbeda dengan keadaan UKS yang menunggu gadis itu membuka mata, di ruangan penuh dengan lukisan seseorang tengah menggebrak meja. Ia melempar beberapa barang, membuat pecahannya berserakan di lantai. Ia terlampau kesal karena rencananya yang gagal total.

Ia menatap nyalang pada seorang pria dengan tindik pada telinga kanannya. Semua kegagalannya bertumpu pada pria itu yang tak memastikan rencana mereka dengan teliti.

"Lo udah gue bayar mahal asal lo tau. Kenapa lo malah gagal ha?!"

Diam-diam pria itu tersenyum, tipis sekali, sehingga tak terlihat oleh orang itu. "Bayar gue mahal? Uang cuma 50 juta gak ada apa-apa. Lagian yang kerja jagain mereka bukan gue, tapi anak-anak buah lo yang lain," sahutnya tenang, seolah sudah biasa menghadapi orang di hadapannya.

Orang itu menggeram, matanya hampir keluar saking memelototnya menatap sang lawan bicara. "Memang berapa uang yang lo butuhin untuk buat Anetta celaka?" Nada suaranya terkesan menyentak, masih ada kesal yang kentara.

"Gak banyak sih, cuma 5 miliyar," jawabnya membuat orang itu refleks menjatuhkan rahang. Namun, kemudian mengeluarkan tawa sumbangnya. Seolah tak percaya akan apa yang ditangkap indera rungunya.

"Lo gak salah? Itu jumlah yang besar anjing!"

"Kalo lo gak punya, ya udah batalin perjanjian kita. Gue bisa coba berbagai cara untuk deketin keluarga Anetta, gak harus melalui lo," kata pria itu seraya mengangkat bahunya. Sebenarnya ia tak memerlukan kerjasama ini, toh tak ada untung baginya. Namun, karena ini menyangkut Anetta, mau tak mau ia akan mencoba kerjasama ini.

"Oke, gue ngalah. Tapi gue gak bisa siapin uangnya secepat itu, gue butuh waktu," ucap orang itu setelah mengembuskan napasnya pelan.

Pria itu terkekeh mendengar penuturan orang di hadapannya. Membuat orang itu mengernyit, "Kenapa lo ketawa?" tanyanya seraya menatap selidik pria itu.

"Lo bisa cepet dapet uangnya kok, satu malam aja bisa," jawab pria itu lengkap dengan seringaiannya.

"Maksud lo, gue jual diri, gitu?"

Pria itu menjentikkan jarinya. Tawanya mengudara hampir memenuhi ruangan remang-remang itu. Hanya ada cahaya bulan yang masuk ke kisi-kisi ruangan berperan sebagai penerangan.

"Lo ternyata pinter juga ya," kata pria itu entah memuji atau meremehkan, tetapi ia kembali tertawa pelan.

"Gue gak akan pernah sekalipun jual kesucian gue. Gue bakal lakuin apa pun buat nyiapin uang,  tapi gak dengan menjual diri. Camkan itu!"

Pria itu mengangguk-angguk, dengan tangan bersedekap di dada. "Oke, kabarin gue kalo uangnya udah kumpul."

Tanpa menunggu persetujuan orang itu, pria itu melenggang begitu saja. Tak sadar bahwa orang itu menyeringai menatap punggungnya yang menjauh.

"Harusnya lo tadi nawarin diri untuk mengambil kesucian gue 'kan?" katanya dengan percaya diri.

***




Diketik: 684 kata

.

Diharapkan menekan bintang dan meluweskan jari untuk berkomentar yang baik dan sopan. Terima kasih.



Transmigrasi : Anetta's Journey Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang