• 6. Keinginan Yang Tersampaikan •

493 32 0
                                    

Buat dirimu senyaman mungkin untuk menikmati cerita ini, selamat membaca-!^^

Buat dirimu senyaman mungkin untuk menikmati cerita ini, selamat membaca-!^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.









Anetta menghela napas pelan kala melihat jam menunjukkan pukul 06.00 pagi. Masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah, tetapi ia tak ingin berdiam di rumah lebih lama. Sebab sepupunya itu sudah lebih dulu berangkat, katanya ada hal yang perlu ia lakukan.

Selesai sarapan, ia berpamitan pada mama dan papanya yang asik bersenda gurau. Ia sudah tak heran bagaimana berisiknya dua orang dewasa itu, yang tentu mengingatkannya pada ayah dan ibunya di kehidupan sebelumnya.

"Ma, Pa, Anetta pamit." Ia beranjak menyalami keduanya.

"Iya, Sayang, belajar yang rajin ya. Nanti kalo ada yang sulit, langsung lapor ke Mama," sahut Engine, wanita yang merangkap sebagai mama Anetta itu.

"Betul, dijamin kami akan ubah peraturan sekolah yang buat kamu gak nyaman," timpal Gusta, si papa paling pengertian.

'Hal inilah yang membuat anakmu menjadi perundung kejam,' kata Anetta membatin.

"Mengerti?"

Anetta mengangguk, tentu sangat paham dengan orang tua yang seperti ini. Ia kemudian tersenyum dan pamit sekali lagi, baru setelahnya meninggalkan ruang makan.

Di halaman rumah, sudah ada mobil terparkir di sana. Jika saja ia bukan Anetta Fatiniantri, sudah dipastikan jiwa yang asli akan merampas kunci mobil itu dan meninggalkan sopir itu. Namun, sayangnya ia ini Anetta Gerlyana, gadis yang bahkan tidak tau cara mengendarai mobil.

"Pak, ayo berangkat!" titahnya seraya memasuki mobil. Ia duduk di kursi belakang kemudi, tak lupa meletakkan tasnya di sampingnya.

"Loh, lo siapa?" tanyanya melihat bukan pak Apung yang duduk di kursi kemudi.

"Maaf, Nona, beberapa hari ke depan saya yang akan menggantikan bapak saya karena beliau sedang sakit. Semoga Nona tidak keberatan ya," jawab laki-laki berkacamata itu.

Anetta akhirnya paham, ternyata laki-laki itu adalah anak sopirnya. Sejujurnya ia sempat kaget karena laki-laki itu mirip sekali dengan Ladon, sepupunya pada kehidupannya yang lalu.

"Oke, nama lo siapa? Gue lihat-lihat seragam kita sama," ucap Anetta dengan sebelah alis terangkat.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Nino, saya bersekolah di tempat yang sama dengan Nona. Saya kelas XI MIPA 5." Laki-laki itu memperkenalkan dirinya diiringi senyuman manisnya.

"Terus sekarang lo mau nganter gue?" Nino mengangguk. "Tapi kalo gue bilang gak mau karena lo pakai seragam yang sama kayak gue, gimana?"

Nino kembali tersenyum, "Saya tau kekhawatiran Nona itu, makanya saya nanti setelah mengantar Nona akan pergi menitipkan mobil di minimarket simpang sekolah."

"Lo ternyata udah siapin semuanya ya," kata Anetta dengan senyuman miringnya. "Oke, kalo gitu lo bisa jalan sekarang. Gue udah telat," suruhnya yang diangguki oleh Nino.

Akhirnya mobil itu pun mulai keluar dari halaman rumah Anetta yang luasnya bak stadion bola.

Di tengah perjalanan, Anetta yang sibuk membaca buku dapat merasakan tatapan dari Nino yang menatapnya dari balik spion. Hal itu membuatnya risih, terlebih lagi laki-laki itu baru ia kenal. Dan perlu diingatkan bahwa Nino itu bukan Ladon.

Anetta mendecak, "Lo kenapa natap gue segitunya?" tanyanya tak tahan juga.

Nino terkekeh pelan, "Maaf, Nona. Saya tidak bermaksud apa-apa, hanya kagum semata."

"Gue tau sih gue cantik, tapi setiap orang yang natap gue pasti lari ketakutan. Tapi kenapa lo malah kagum?" heran Anetta yang atensinya benar-benar tertarik melihat laki-laki itu dari spion di atas kemudi.

"Itu mereka, Nona, berbeda dengan saya. Saya selalu kagum pada Nona, selain itu saya berhutang budi pada Nona."

Anetta mengernyit, "Hutang budi?"

Nino mengangguk, lagi-lagi ia menunjukkan senyuman yang manis. "Nona pernah menolong saya dari perundungan Ale cs dulu saat kelas sepuluh semester dua. Semenjak itu, Ale cs sudah tak menganggu saya lagi. Untuk itu saya ucapkan terima kasih, Nona."

Penjelasan panjang itu dengan mudah dicerna Anetta. Ia jadi punya pikiran positif terhadap pemilik tubuh ini. Setidaknya, ada perbuatan baik yang pernah ia lakukan.

"Sorry, gue udah lupa," sahut Anetta tak ingin berbohong dengan sok menjadi pahlawan.

"Tidak apa-apa, Nona, saya paham karena saat itu sudah lama sekali." Anetta mengangguk saja, tak sempat melihat reaksi dari laki-laki itu lebih lanjut karena mobilnya mulai menepi ke trotoar sekolah.

Anetta yang baru saja keluar dari mobil, menoleh karena panggilan Nino. "Apa?"

"Sedikit saran dari saya, Nona. Jangan biarkan diri Nona terkalahkan oleh apa pun itu, termasuk dengan emosi Nona sendiri. Semangat belajarnya, Nona," ucap Nino seraya menampilkan senyumannya, lagi.

Anetta hanya mengangguk, ia kemudian berbalik pergi dari sana. Mulai memasuki area sekolah.

Ia tersentak ketika tangannya tiba-tiba dicekal oleh seseorang. Ia berusaha melepaskan diri, tetapi orang itu tenaganya lebih kuat dari Anetta. Sehingga gadis itu terseret pasrah mengikutinya.

Tujuannya adalah gudang belakang sekolah. Gudang yang sama sekali jarang didatangi dan sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Begitu langkah keduanya berhenti, Anetta segera melepaskan cekalan itu. Ia merasakan pergelangannya sakit dan terlihat memerah. Ia tak segan-segan menatap nyalang laki-laki di depannya.

"Lo ada urusan apa sama gue?" serunya dengan masih dengan tatapan tajamnya.

"Daripada gue, lebih baik lo gak usah bertingkah selayaknya ratu. Lo cuma cewek yang gak punya harga diri."

Anetta terkekeh, terlihat sangat meremehkan lawannya. "Gue? Gak punya harga diri?"

Laki-laki itu diam, enggan menjawab pertanyaan yang menurutnya retoris itu.

"Gue tanya sama lo, Lio. Bagian mananya gue gak punya harga diri? Apa karena gue seorang perundung, makanya lo simpulin gue gak punya harga diri?"

Anetta menggeleng pelan, tak habis pikir dengan Liovando ini. Sebegitu lempengnya menjadi laki-laki? Hanya tau menuduh tanpa ada bukti? Cih!

"Tapi sorry banget ya, Lio. Sekarang tipe gue bukan lo lagi. Lo terlalu ciut jadi cowok, gak bisa lihat mana yang baik dan mana yang nyeleweng."

Setelah mengatakan itu, Anetta berbalik pergi. Puas dengan perkataannya sendiri, yang sebenarnya ingin ia sampaikan pada Noren Algaforus, tunangannya di kehidupan lampau.

Sementara itu, Liovando hanya bergeming. Baru tersadar bahwa ia begitu memyudutkan Anetta, tanpa membawa bukti yang jelas tentang segala keburukan gadis itu. Namun, daripada itu, ia merasakan hatinya berdenyut sakit setelah mencerna kalimat yang dilontarkan oleh gadis itu. Memangnya, perasaan apa yang tengah ia rasakan?

***

Diketik: 995 kata

Diharapkan menekan bintang dan meluweskan jari untuk berkomentar yang baik dan sopan; Terima kasih.

Transmigrasi : Anetta's Journey Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang