1. mencoba terbiasa, di tempat yang tak nyaman

343 22 2
                                    

Tepat saat ibunya meninggal, seorang pria baya menghampirinya. Dia mengulurkan tangannya, dan membawa Dertan untuk pergi bersamanya.

Sudah dua bulan berlalu Dertan tinggal bersama keluarga barunya. Dia memiliki dua saudara tiri, keduanya sama-sama membenci Dertan yang di anggap sebagai tamu tak di undang.

Dertan tidak pernah mau jika dia akan di bawa ke tempat seperti ini. Dertan saja terkejut, jika seorang ayah yang sudah dilupakannya tiba-tiba datang menemuinya. Bahkan membawanya untuk ikut bersamanya, dan tinggal di rumah yang tidak memiliki kenyamanan.

"Siapa yang menyuruhmu ikut makan di sini? Kau makan aja nanti. Kalau enggak jangan makan sekalian," ucap Emil yang menatap sinis ke arah Dertan.

Ibu tirinya itu dari awal tidak menyukainya, dia juga secara terang-terangan memberikan perlakuan buruk di depan Sakta. Tapi ayahnya justru tidak peduli, seolah-olah hal seperti itu pantas untuk Dertan dapatkan.

Saat Sakta datang menemuinya, dia memberitahu kenyataan yang ada. Bahwa dirinya merupakan ayah kandung Dertan. Sayangnya dia tidak bisa berperan sebagai seorang ayah.

"Tamu yang enggak di undang itu, seharusnya sadar diri kan? Kau kenapa juga datang ke rumah ini. Di rumah ini cuma ada kami berdua sebagai anaknya ayah," kata Sarel yang merupakan putra sulung.

Kedua kakak tirinya itu tidak pernah sekalipun memperlakukannya dengan baik. Mereka beranggapan jika Dertan merupakan seorang pengganggu, yang seharusnya tidak pernah datang.

Padahal kan Dertan juga tidak mau datang ke rumah ayahnya. Sakta sendiri yang membawanya ke rumah ini, dan menjadikannya salah satu anggota keluarga mereka.

"Kau itu keliatan menjijikkan, Dertan. Aku nggak tahu sama sekali, kenapa ayah mau membawamu ke sini," sambung Sarta yang menyudahi sarapannya pagi ini.

Sementara Dertan berusaha untuk tidak menangis. Dia harus terbiasa akan perlakuan dari keluarganya, lagian dia pantas untuk menerimanya. Karena kedatangannya sudah membuat keluarga itu hancur berantakan.

Seandainya dia pun tahu, bahwa semuanya tidak akan baik-baik saja. Pastinya Dertan akan menolak ajakan dari ayahnya, agar dia tidak terluka seperti sekarang.

"Jangan merusak suasana pagi ini, cepatlah makan," ucap Sakta yang langsung bergabung dengan mereka.

Emil juga tidak bisa menyela perkataan dari suaminya, dia sampai membiarkan Dertan untuk ikut sarapan bersama mereka pagi ini. Padahal dia sudah mengusir Dertan berkali-kali, hanya saja Sakta selalu membuatnya tetap berada di rumah mereka.

Walaupun tidak pernah ada kepedulian yang di perlihatkan oleh Sakta pada Dertan, di mata Emil sendiri. Suaminya telah memberikan kasih sayang pada anak tirinya itu, lagi-lagi Emil selalu gagal.

"Sarel memang nggak tahu peraturan di rumah ini? Kau gagal mendidiknya dengan baik. Seharusnya dia jangan pergi sebelum aku datang, tetaplah ikut makan bersama. Itu semua dilakukan agar kita menjadi keluarga yang harmonis," kata Sakta yang justru memarahi Emil.

"Yah, kan bukan salah bunda. Semuanya salah Dertan, kalau dia enggak ada di sini. Pastinya nggak bakalan kayak gini kan? Ayah kenapa membawanya ke sini. Kalau pada akhirnya keluarga kita malah hancur berantakan," sahut Sarta yang tidak terima jika bundanya mendapatkan amarah dari ayahnya.

Sedangkan Dertan justru diam saja, seakan-akan dia merasa bangga. Bahwa dia sedang di bela. Padahal Dertan merasa, jika ayahnya selalu memperlakukannya dengan dingin.

Tidak ada kasih sayang, apalagi kepedulian. Semuanya sama-sama menyakitkan. Dia tetap bertahan hanya karena, dia masih berharap pada ayahnya. Harapan jika ayahnya memberikan kasih sayang yang di inginkannya.

"Kau bisa diam, Sarta? Tetaplah makan dengan tenang. Ayah sedang bicara dengan bundamu, bukan denganmu."

Setelahnya Sarta menunduk dalam, dia sebenarnya takut pada ayahnya. Sakta yang tidak mengekspresikan keadaannya dengan baik itu, terlihat sangat mengerikan. Di mata Sarta sendiri, ayahnya terlalu buruk. Karena dia tidak pernah menunjukkan sedikitpun perhatian padanya.

Meskipun begitu, bukan berarti Sakta benar-benar tidak peduli. Di saat dia membuat putra-putranya merasa pundung, ataupun sakit hati. Sakta pasti akan menemuinya, dan memberikan hadiah sebagai bentuk permintaan maaf.

Lainnya dengan Dertan, dia bahkan tidak pernah mendapatkannya sama sekali. Dia pernah melihat Sakta memberikan hadiah pada Sarel dan Sarta, hal itu terjadi karena Sakta tidak sengaja membentak putranya.

Tapi, kenapa saat Sakta mengabaikan Dertan dengan terang-terangan. Dan sudah pasti membuatnya terluka, dia tidak melakukan hal yang serupa. Dertan iri, dia benar-benar merasa sedang dibedakan. Padahal kenyataannya, dia merupakan anak kandung dari ayahnya.

•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•

Dertan bersekolah yang sama dengan kedua kakaknya. Sakta yang sengaja membuat mereka berada di sekolah yang sama, agar mereka bisa pulang bersama.

Namun, ternyata kedua kakaknya itu tidak menyukainya. Ada banyak perdebatan yang dilakukan, dan Dertan sengaja untuk mengabaikannya. Dia tidak akan baik-baik saja, jika kenyataan menyakitkan itu sering didengar olehnya.

"Aku baru tahu, kalau Dertan adekmu. Kalau boleh tahu, kau mau gabung ke klub mana?" Seseorang yang baru saja bertanya padanya itu, adalah Andika. Teman dekatnya Sarel.

"Jangan asal ngomong lah, dia bukan adekku lho. Lagian siapa juga yang mau punya adek, yang tiba-tiba datang ke rumah. Dan menjadi keluarga, kesannya jadi kayak tamu gak di undang," sahutnya dengan tutur katanya yang sinis.

Setelahnya dia pun berlalu pergi, di ikuti oleh Andika yang hanya tertawa saat mendengarnya. Andika berpikir jika Sarel hanya bercanda, karena bagaimanapun Sarel itu di kenal baik. Dia suka bercanda, maka di saat dia mengatakan kebenaran. Orang-orang akan menganggapnya sebagai bentuk candaan belaka.

Tapi, bagi Dertan hal itu bukan candaan. Kakaknya mengatakan perihal kebenaran, yang lagi-lagi menyakitkan.

"Kau mau ikut gabung klub basket enggak?"

Dertan terkejut saat seseorang memberikan selembar kertas, yang merupakan formulir pendaftaran klub sekolah.

"Maaf aku nggak sengaja mengejutkanmu, lagian kau kenapa ngelamun?" Cowok itu kembali bertanya, sembari mengambil bangku di dekatnya. Dan duduk berhadapan dengan Dertan.

"Aku ngelamun, tadi kau menawarkan masuk klub basket ya? Bukannya di klub itu kak Sarel juga jadi wakil kaptennya?"

"Kak Sarel tuh orangnya baik lho, yok kita bergabung aja. Kita kan masih kelas satu SMA, masa-masa disekolah itu menyenangkan," katanya yang sangat berantusias.

Cowok berkulit putih, matanya yang berwarna cokelat dan rambut hitam legamnya yang bersinar. Dia adalah Reihan Galima. Yang saat ini menjadi teman sekelasnya Dertan.

Keduanya juga sama-sama tidak dekat, akan tetapi karena Reihan anak yang ramah. Dia langsung mengakrabkan diri dengan Dertan, tanpa banyak basa-basi dia mampu membuat Dertan merespon setiap perkataannya.

"Orang-orang tahunya kak Sarel itu baik ya," lirih Dertan yang nyaris tidak didengar oleh Reihan.

"Ah maaf, mungkin tanggapan kita beda-beda ya. Tapi gimana, kau mau gabung ke klubnya enggak?" Reihan sekali lagi bertanya, karena dia diberikan tugas oleh Andika untuk merekrut anggota baru dari kelas satu.

Dertan mengalihkan tatapannya ke arah lain, sebenarnya dia tidak ingin gabung ke klub manapun. Tapi di sekolah ini, semua siswa-siswi di wajibkan untuk bergabung ke dalam klub.

"Aku belum memutuskannya, lagian aku nggak tertarik sama basket."

Perkataan itu menjadi final, Reihan tidak lagi banyak bicara. Dan keduanya pun saling diam, sampai akhirnya jam istirahat berakhir. Reihan kembali ke tempat duduknya, dia juga memperhatikan Dertan yang menundukkan kepalanya dengan dalam setelahnya. Entah apa yang terjadi, yang terpenting Dertan pasti sedang tidak baik-baik saja.

══✿══╡°˖✧✿✧˖°╞══✿══

Please banget, semoga otakku gak geser. Soalnya kalau geser dikit aja, alurnya malah maju mundur gak jelas♪⁠ヽ⁠(⁠・⁠ˇ⁠∀⁠ˇ⁠・⁠ゞ⁠)

Ayah Lihatlah Aku [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang