9. di dalam hidup yang penuh lukanya

100 11 4
                                    

Padahal Dertan sudah memiliki rumah untuk pulang, dia juga memiliki tujuan dalam hidupnya. Alasan untuk bertahan hidup, dan takut pada sebuah kematian. Tapi tetap saja, Dertan masih belum baik-baik saja.

Rumah yang dijadikannya tempat berpulang, bukan rumah yang layak untuk ditempati. Ada banyak luka di dalamnya, dan tujuan dalam hidupnya semakin berantakan karena keinginannya untuk mati. Padahal sebelumnya Dertan takut pada kematiannya sendiri, dia takut jika penyesalan mengiringi kematiannya. Karena ketika dia mati, semuanya tidak akan bisa di ulang kembali.

Semuanya akan langsung berakhir, hanya dengan satu kali kematian. Tidak ada kehidupan selanjutnya, Dertan yakin akan hal itu. Hanya saja, dia justru tidak takut pada sebuah kematian.

Ketika rasa sakit tak tertahankan, dan sosoknya seorang ayah yang tidak melihat ke arahnya. Membuat Dertan merasa bahwa dia pun tidak berharga. Maka apa gunanya dia tetap hidup? Jika dia saja hanya merasakan sebuah luka.

"Yah, pokoknya Dertan harus pindah sekolah. Teman-teman ku disekolah pada tahu, kalau Dertan adekku," ucap Sarel yang terlihat sangat kesal pagi ini. "Padahal Dertan bukan adekku, aku mana mau punya adek yang tiba-tiba datang kayak gini."

"Ayah juga udah nggak kayak dulu lagi, ayolah lihat kami ayah. Tolong kabulkan keinginan kami kayak dulu lagi," sambung Sarta membuat suasana semakin tak terkendalikan.

Selama ini Sakta hanya diam saja, dia malas menanggapi segala keluhan dari kedua putranya. Dan juga istrinya itu, Sakta hanya ingin membuat Dertan memiliki kehidupan yang layak. Karena bagaimanapun, anak itu tetaplah putra kandungnya.

Meskipun dia di terima dengan tidak baik, itu semua bukan urusan Sakta untuk terlalu memperdulikannya. Yang terpenting dia sudah bertanggung jawab, dan tidak menelantarkannya. Sesuai dengan keinginan dari wanita yang pernah di cintainya, Sakta akan merawat Dertan menggantikannya.

"Ayah kenapa diam aja?"

"Jangan kebanyakan mau nya kalian, mau gimanapun Dertan tetap bagian dari keluarga ini," jawabnya yang setelah itu langsung memutuskan untuk pergi.

Dertan juga mendengarnya, dia baru keluar dari kamarnya. Tapi bukan berarti, dia tidak mendengar tentang pembicaraan pagi ini. Yang lagi-lagi sedang membicarakannya dengan buruk.

Saat binar itu saling bertatapan, Sakta terlihat sangat tidak peduli. Dia langsung mengalihkan tatapannya, dan melangkahkan kakinya untuk semakin menjauh.

Kemudian Emil mendekat pada Dertan, tanpa berperasaan dia langsung saja memberikan sebuah tamparan. Dertan sampai menatap ke arah lain, karena saking kuatnya tamparan itu. Pipinya juga memerah, dapat Dertan rasakan bagian dalam pipinya berdarah akibat tamparan itu.

"Semua gara-gara kau, Dertan. Kenapa kau harus datang ke rumah ini. Kenapa juga ada seorang wanita yang ngebuat kehidupan ini berantakan, karena menghadirkan untuk menjadi seorang penghancur keluarga ini!" Sentaknya yang mendorong tubuh Dertan berkali-kali.

Apapun yang terjadi padanya, Dertan hanya bisa diam saja. Dia tidak memiliki kesempatan untuk membela diri, lagian membalas perkataannya percuma saja. Sejak kapan Dertan pun didengar.

"Kau seharusnya nggak pernah datang ke rumah ini."

Usai mengatakan kalimat menyakitkan itu, Emil juga memilih pergi. Di ikuti oleh kedua putranya, sementara Dertan yang diam mematung di depan kamarnya. Hanya bisa mengelus-elus pipinya yang terasa sakit.

Bahkan ibu kandungnya sendiri tidak pernah menamparnya, sosoknya penuh dengan kasih sayang. Namun, Emil yang sebagai ibu tirinya. Dengan berani dan tak berperasaan nya memberikan sebuah tamparan. Dertan hampir saja meneteskan air matanya, dia tidak boleh menangis. Dengan begitu, Dertan sama saja menunjukkan kelemahannya.

Dari awal semuanya sudah tidak baik-baik saja, maka Dertan hanya perlu menjadi lebih kuat lagi. Agar dia pun mampu bertahan, dalam segala keadaan yang menyakitkan nantinya.

┈┈┈┈․° ☣ °․┈┈┈┈

"Den, masih sakit kan pipinya yang di tampar nyonya tadi? Aden jangan diem aja. Kalau sakit ya bilang aja sakit, berpura-pura nggak kenapa-kenapa itu jauh lebih menyakitkan lho den," kata Fani yang menangis tersedu-sedu, saat Dertan menemuinya.

Fani melihat apa yang terjadi tadi pagi, sayangnya dia pun tidak dapat menolong Dertan. Rasa sakit itu pastinya tidak akan pernah berakhir, jika satu-satunya penyelamat justru menutup mata pada sebuah kenyataan.

Hanya sekadar melihatnya saja Fani sudah tidak sanggup. Dertan pasti sangat kesakitan, hanya karena dia diam saja. Bukan berarti dia sedang baik-baik saja.

"Memang sakit, bi. Tapi aku beneran nggak apa-apa kok," sahut Dertan yang masih sempat-sempatnya tersenyum lebar. Padahal pipinya terasa sakit, dia juga tidak mudah sembuh dari perkataan yang tertujukan padanya.

Sebuah perkataan yang hanya mendapatkan luka. Dertan berusaha baik-baik saja, agar dia tidak memutuskan untuk lebih baik mati dari pada bertahan hidup. Selama ini, Dertan berusaha mati-matian untuk tidak menyerah. Dia ingin bertahan lebih lama lagi, untuk memenuhi harapan dari ibunya sendiri.

"Mereka nggak berhak melampiaskan segala amarahnya ke Dertan. Padahal Dertan juga nggak pernah minta jadi anaknya tuan, semuanya terjadi karena memang udah ditakdirkan," sambung Galih memberikan usapan paling terlambatnya pada Dertan.

Dertan tidak dapat menahan tangisannya lagi, dia benar-benar meneteskan air matanya. Menangis pilu pada pelukan Fani yang langsung mendekapnya, saat melihat Dertan menangis.

Dalam keadaan seperti ini, mana mungkin Dertan akan baik-baik saja sampai akhir. Dia hanya berpura-pura kuat saja, agar orang lain tidak mampu untuk melihatnya yang lemah tak berdaya itu. Segala rasa sakit tak dijelaskan olehnya pada banyak orang. Dertan tidak ingin terus-terusan merasakan luka, tapi dia tidak dapat menghentikan hal seperti itu agar tidak terjadi.

"Kalau memang menyakitkan, den. Jangan pernah terbiasa, semuanya nggak akan baik-baik saja," kata Fani yang mengelap air mata Dertan yang menetes deras.

"Aden nggak sendirian, masih ada orang-orang yang peduli sama Aden," sahut Galih yang ikut memberikan usapan lembut pada Dertan. "Aden memang harus lebih kuat, tapi bukan berarti Aden harus terbiasa dengan luka."

Selama ini Dertan telah melakukan kesalahan, dia pun tahu letak kesalahannya sendiri. Di mana dia tetap berpura-pura sedang baik-baik saja, padahal dia hampir mati karena merasa kesakitan. Di abaikan secara terang-terangan, dan terus diberikan luka pada penyudahan.

Dertan ternyata tidak seharusnya seperti itu, bukan hal yang salah. Jika dia pun mengakui kelemahannya sendiri.

"Ak-aku juga nggak mau terbiasa dengan setiap luka. Aku hanya ingin baik-baik saja," lirih Dertan yang menumpahkan air matanya sejadi-jadinya.

Karena selalu menahan tangis, dan berpura-pura sedang baik-baik saja. Dertan semakin membuat dirinya terluka. Maka dari itu, dia tidak akan lagi melakukan kesalahan yang sama. Dertan akan lebih jujur lagi, bahwa dia pun memiliki luka jika terus disakiti.

.•*•.•*•.•*•.•*•.•*•.•*•.
ᴛʙᴄ 🍁

Ayah Lihatlah Aku [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang