8. Nadaf si teman baru

115 11 0
                                    

Dertan berusaha untuk tetap hidup, dia tidak ingin menyerah pada kehidupannya yang didatangkan banyaknya rasa sakit. Dertan hanya terfokuskan bagaimana caranya untuk sembuh, dan bangkit berkali-kali ketika dijatuhkan.

Jangan pernah bertanya rasa sakit yang selama ini dirasakan oleh Dertan. Karena dia benar-benar tidak sanggup untuk memberikan jawaban. Walaupun tanpa keluhan, dan hanya diam saja tak berniat memberitahukan. Bukan berarti Dertan sedang baik-baik saja pada lukanya.

Dertan sebenarnya juga ingin menyerah, tidak peduli jika masih ada orang-orang yang benar-benar tulus padanya. Dertan tidak membutuhkan hal seperti itu, karena ketika dia hampir menyerah dalam hidupnya. Dertan berkeinginan untuk mati dan menyudahi semuanya.

"Bun, mau sampai kapan Dertan tetap tinggal di sini? Ayah juga nggak peduli sama dia kan? Jadi nggak ada gunanya dia tinggal di rumah ini. Semenjak ada Dertan, semuanya jadi lebih berantakan. Bunda jadi jarang ngajakin ayah ngobrol, dan ayah juga nggak pernah nanyain kabar kami berdua," ucap Sarel bahkan didepan Dertan.

Mendengarnya saja sudah membuat Dertan merasa sesak, rasanya menyakitkan. Secara terang-terangan dia diberikan luka, dan berkali-kali dia di sakiti. Namun, ayahnya tidak pernah memberikan pembelaan. Bahkan ketika ayahnya melihat segala perlakuan buruk yang diberikan pada Dertan.

Hanya Dertan yang berusaha menguatkan dirinya sendiri, di sini dia benar-benar sendirian. Bukan karena Dertan tidak memiliki seorang pun yang peduli padanya, Dertan hanya berusaha untuk tidak bergantung pada siapapun, karena jika dia mulai bergantung pada orang lain. Maka Dertan tidak akan bisa bangkit seorang diri.

Di dunia ini, adakalanya kesendirian adalah penguat sesungguhnya. Dertan selalu berpegang teguh dalam kepercayaan itu, dia benar-benar berusaha untuk kuat seorang diri. Dan tidak akan berharap pada orang lain, sekalipun diberikan banyaknya kepedulian.

"Ayah belum pulang, jadi lebih baik kau makan di dapur aja sana. Jangan makan bareng kami, ngeliat kau di sini aja udah buat jijik," ucap Sarel yang menarik Dertan untuk berdiri dari kursinya.

Tidak ada penolakan sama sekali, anak itu langsung pergi. Di sini dia justru sadar diri, Dertan akui dia memang bodoh. Tidak mampu membela diri, dan membiarkan dirinya terus saja tersakiti.

Namun, untuk Dertan yang diberikan kehidupan yang layak oleh ayahnya. Setidaknya dia perlu berterimakasih, dan tidak meminta lebih. Di rumah yang dijadikan tempat berpulangnya, Dertan akan percaya bahwa dia pun bisa baik-baik saja.

"Aden kenapa ke dapur?" Pertanyaan itu di lontarkan oleh bi Fani, yang merupakan seorang asisten rumah tangga. Yang sudah lama bekerja di rumah ayahnya.

"Bi, aku makan di sini ya? Gak apa-apa kan?"

Sontak wanita baya itu membulatkan matanya, dia tahu bahwa anak dari majikannya itu selalu diperlakukan dengan buruk. Dia yang di cap sebagai anak haram, tidak pernah mendapatkan perlakuan yang baik. Tapikan jika dia makan bersama mereka, yang hanya seorang pembantu. Bukankah posisinya sudah sangat direndahkan?

Fani tidak menyangka, jika anak majikannya itu akan terus mendapatkan perlakuan seperti ini. Bahkan tanpa perlawanan, seolah-olah dia sadar diri dengan posisinya. Padahal kan dia berharap untuk mendapatkan segala perlakuan baik, karena dia pun anak kandung dari ayahnya—Sakta.

"Gak apa-apa, den. Sini makan bareng bibi ya, aden mau makan apa? Biar bibi masakin."

"Kasihan sekali aden ini, selalu aja diperlakukan buruk ya. Tapi kenapa tuan malah diam aja, padahal anaknya sendiri mendapatkan perlakuan yang nggak seharusnya diterima lho," ucap Galih si tukang kebun keluarga Sakta.

Dertan hanya bisa tersenyum, dia juga sebenarnya merasa sakit. Ingin marah, dan ingin memberontak serta menuntut banyak hal pada ayahnya. Kenapa hanya dia yang menderita? Kenapa hanya dia juga hang selalu tersakiti. Di mana letak keadilan itu, ayahnya tahu dia hanya berpura-pura tidak melihatnya.

Ayah Lihatlah Aku [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang