18. ini bukan karena aku menyerah

133 11 0
                                    

Bukannya keadaan saat ini pun selayaknya langit? Cerahnya seperti sebuah harapan. Dan kelamnya sama seperti kenyataan yang menyakitkan. Itu sebabnya Dertan mulai menyukai langit. Karena langit, mampu mengekspresikan keadaannya dengan mudah.

Namun, Dertan tidak mudah memberitahukan pada orang-orang yang peduli padanya. Jika dia sedang terluka, Dertan tidak mudah melakukan hal semacam itu. Walaupun dia tahu, bahwasanya ada beberapa orang yang mau peduli padanya.

Langit yang mulai cerah, langit yang berwarna biru terang yang ditatapnya hari ini. Sambil menghela napasnya, Dertan usahakan bahwa dia akan baik-baik saja sampai akhir.

Pastinya Dertan dari awal pun tahu, bahwa mengalah saja dia akan tetap bersalah. Tapi saat Dertan melawannya, yang ada justru bermasalah. Hanya saja keadaan tidak adil, dan selucu itu tidak akan terulang lagi. Dertan tidak ingin menjadi seseorang yang lemah, apalagi sampai keterusan mengalah.

Tidak ada yang berubah bukan? Lukanya tetap akan terciptakan. Tapi setidaknya Dertan sudah tahu caranya untuk menyembuhkannya.

"Suka kali ngeliatin langit, oh iya kau udah bilang sama ayahmu minta dibelikan motor? Aku juga minta sama ayahku lho. Aku minta belikan motor yang bagus," ucap Nadaf yang memperlihatkan foto motor yang baru di belinya.

"Lah cepat kali kau beli, kau langsung keturutan gitu. Tapikan seharusnya Dertan duluan, kenapa malah kau," sahut Erlan menepuk pundak Nadaf sedikit kuat.

Anak itu bukannya marah, dia justru tertawa lepas. Karena merasa dirinya itu lucu sekali, seharusnya kan dia menunggu Dertan yang membelinya dulu. Barulah dia mengikutinya, bukan malah mendahului Dertan dan malah memamerkannya seperti sekarang.

"Tenang aja, kalau Dertan belum beli motor. Aku juga nggak bakalan pakai motorku dulu sih. Aku mau diantar jemput dulu sama ayah," katanya yang memberikan susu stroberi seperti biasanya.

Dertan tidak menyangka jika Nadaf justru tertarik dengan keinginannya itu, padahal dia tidak bersungguh-sungguh. Dia saja tidak berani memintanya pada sang ayah, perkataannya waktu itu hanya sebuah keinginan tanpa keberanian.

Hanya karena asal bicara saja, Nadaf menanggapinya dengan serius. Namun, barangkali Dertan pun tidak perlu ragu-ragu lagi. Karena bagaimanapun ayahnya sempat bertanya padanya, mengenai hadiah yang di inginkan.

Bahkan jam tangan yang saat ini dikenakannya itu, selalu Dertan banggakan kepada teman-temannya. Karena setiap Dertan dapat memamerkan barang-barang pemberian dari ayahnya, agar teman-teman sekelasnya tahu bahwa dia pun memiliki seorang ayah yang baik hati.

"Jangan bangga dulu ngapa, lagian kau itu udah ngebuat keluargaku berantakan," ucap Sarel yang justru secara terang-terangan mengatakan hal demikian.

Dia baru saja melewati kelas Dertan, dan dengan sengaja pula mengatakan hal tersebut. Saat itu kelasnya Dertan sedang sesi belajar mandiri. Itu sebabnya tidak ada guru, dan tentunya perkataan Sarel pun terdengar dengan jelas.

Maka dari itu, Nadaf yang emosi mendengarnya pun mengejar Sarel. Dia tidak bisa membiarkannya, seseorang yang hanya sibuk menyalahkan orang lain sudah seharusnya sadar diri saja.

Dertan merupakan anak kandung dari Sakta, yang sudah pasti dia pun berhak diberikan kasih sayang. Maka dia bukan seseorang yang telah menghancurkan keluarganya, melainkan seseorang yang sudah seharusnya ada di dalam keluarga itu.

"Kau bisa jangan ngomong kayak gitu lagi! Kau pikir cuma kau aja gitu yang berhak di kasih segala-galanya sama ayahmu. Dertan di sini bukan orang asing, ataupun tamu tak di undang kayak yang kau bilang itu! Kau yang iri kau juga yang berlagak paling terluka," kata Nadaf yang berusaha untuk tidak meninggikan suaranya.

Ayah Lihatlah Aku [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang