10. yang tak terbiasa dengan luka

108 11 0
                                    

Tidak apa-apa jika sering merasa lelah, lelah juga bagian dari perjalanan hidup. Asalkan tidak menyerah saja, itu sudah lebih dari kata cukup. Jalani dengan semampunya, dan jangan meminta lebih pada banyak hal. Akan lebih baik juga, jika dinikmati seadanya apalagi sampai mensyukuri banyak hal.

Namun, entah kenapa sulit bagi Dertan untuk mensyukuri banyak hal dalam hidupnya. Bagaimana tidak, apa yang perlu disyukurinya. Jika dia hanya tahu perihal luka.

Rasa sakit yang tak tersudahi, dan luka yang entah akan sampai kapan terus diberikan. Dertan hanya bertahan pada hidupnya, yang tak menjanjikan akhir yang bahagia. Tapi dia pastikan, bahwa dia tidak akan terbiasa dengan luka.

"Kau kenapa? Pagi-pagi udah nggak ada semangat buat hidup," ucap Nadaf yang lagi-lagi bertingkah sok akrab itu.

Dertan tersenyum atas ucapan Nadaf, anak itu memang selalu saja seperti ini. Tapi Nadaf juga bukan orang jahat, dia selalu berusaha untuk selalu berada di dekat Dertan. Karena dia pun tahu, bahwa kehidupan Dertan tidak baik-baik saja.

"Aku nggak kenapa-kenapa tuh."

"Eh kita yang di kelas sendirian lagi nih. Aku nggak habis pikir sebenarnya, ini sekolah elite. Sebenarnya sekolah apaan juga sih? Masa terlalu menonjolkan ke klub doang. Dikit-dikit klub, pagi-pagi udah ada pengumuman," kata Nadaf yang duduk di atas meja Dertan.

Kenyataannya memang seperti itu adanya, di sekolah mereka murid-murid hanya terlalu terfokuskan pada klub sekolah saja. Walaupun masih banyak waktu untuk belajar, akan tetapi klub sekolah dijadikan prioritas utama. Tidak heran lagi, anak-anak orang kaya memang hanya menyukai hiburan, apalagi jika di sekolah ada banyak kesempatan untuk memiliki ekskul yang di sukai.

Berbeda dengan Nadaf sendiri, dia bahkan tidak menyukai sebuah klub. Dia juga tidak suka belajar, hanya dengan alasan Nadaf tahu semua penjelasan dari para guru.

"Di sekolah ini banyak orang-orang elite juga, jadi wajar aja sih," sahut Dertan yang menatap ke arah Nadaf.

"Kau nggak bosen di dalam kelas nih? Kalau aku sih tinggal tidur aja. Tapi kau malah nggak sama sekali, kau juga sering merhatiin keluar jendela. Apa kau sebenarnya kepengin gabung ke klub ya? Jadi kita juga beda jauh ya."

Lagi-lagi Nadaf membicarakan hal yang sama seperti sebelumnya. Anak itu memang terlalu blak-blakan saja, yang membuat Dertan canggung jika harus bersamanya.

Jika ada Erlan, pasti dia akan langsung membungkam mulut Nadaf. Karena dia hanya membicarakan hal-hal yang tidak di sukai oleh Dertan. Dertan juga tidak mungkin menceritakan lebih banyak pada Nadaf, mereka juga tidak belum lama mengenal.

Tentang luka yang selalu diberikan oleh keluarga barunya. Dertan tidak asal membicarakannya dengan orang-orang yang belum bisa dipercayainya.

"Kau masih nganggap aku ini bukan siapa-siapa ya? Aku juga nggak maksa kau ngasih tahu apa yang kau rasakan selama ini. Cuma kalau kau kayak gini terus, lama-kelamaan yang lain bakalan tahu. Kalau kau sebenarnya banyak lukanya."

Bugh!

Sebuah pukulan tepat mengenai kepalanya, Nadaf meringis kesakitan sampai berdecak kesal. Ternyata si pelakunya adalah Erlan, entah sejak kapan dia sudah berada di sana. Tapi yang terpenting, kedatangannya langsung melayangkan sebuah pukulan yang tak terduga-duga.

"Erlan sialan!"

"Kau bisa nggak, kalau ngomong lebih diperhalus lagi. Perkataanmu juga bisa nyakitin Dertan, apa ini yang disebut teman?" Kata Erlan yang menarik Dertan untuk diajaknya pergi.

Sementara itu, Nadaf terdiam beberapa saat. Dia tidak menyadari bahwa perkataannya merupakan kesalahan. Dia memang terlalu banyak bicara, niatnya hanya ingin membuat Dertan tidak menyembunyikan apapun darinya. Dia ingin di akui sebagai seorang teman, bukan di abaikan hanya karena tidak dipercayai.

Namun, Dertan secara terang-terangan menganggapnya sebagai orang asing. Dia tidak memperlakukanya seperti seorang teman.

Padahal Nadaf ingin mengatakan hal-hal baik untuk Dertan. Agar dia tidak memaksakan dirinya menjadi yang sempurna. Karena masih ada tempat di mana kekurangannya akan diterima dengan mudah. Sepertinya hal semacam itu masih sulit, sebab Dertan tidak memperhatikan perlakuan khusus padanya. Selayaknya seorang teman baik.

─── ・ 。゚☆: *.☽ .* :☆゚. ───

"Jadi sebenarnya kau nggak nerima Dertan jadi adekmu gitu? Padahal kalian juga udah resmi jadi adek kakak. Alasannya apa coba?" Pertanyaan itu di ajukan oleh Andika kala Sarel menceritakan tentang yang terjadi selama ini.

Sarel terdiam beberapa saat sebelum memberikan penjelasan lebih mendalam. Jika memikirkan tentang Dertan, rasanya masih banyak yang perlu dilampiaskan nya.

Sampai kapanpun Sarel tidak akan bisa menerima kehadiran Dertan, yang tiba-tiba datang dan justru menghancurkan kedamaian dari keluarganya. Meskipun sang ayah masih peduli, tetap saja sang ayah terkadang tak memperhatikan ke arahnya seperti dulu lagi.

Atas hal itu, Sarel justru menyalahkan Dertan. Sementara dengan kenyataannya, Dertan bahkan tidak pernah diperhatikan oleh ayahnya sama sekali.

"Karena Dertan kan tamu nggak di undang. Dia juga lahir dari kesalahan. Ayah seharusnya mutusin hubungannya dari dulu, aku nggak bisa nerima Dertan. Karena aku yakin, kalau Dertan bakalan menghancurkan banyak ketenangan di keluarga kami lagi," katanya sambil menghela napasnya dengan kasar.

Andika menepuk-nepuk pelan punggung Sarel, dan mengambil sebuah bola basket sembari melemparkannya ke arah ring.

"Coba cari alasan yang tepat, kenapa kau harus ngebenci seseorang. Yang bahkan nggak mengusik hidupmu sama sekali," ujar Andika yang sebenarnya merasa kasihan pada Dertan.

Akan perkataan itu, Sarel langsung memahaminya. Jika saat ini, Andika sedang membela Dertan.

"Kau lebih suka membela yang bersalah ya, Andika. Dari dulu kau nggak berubah," ucap Sarel yang merebahkan tubuhnya di atas lantai. "Coba sesekali belain aku gitu, padahal di sini aku lho terluka."

"Apanya yang terluka, yang ada kau tuh yang ngasih luka bodoh!"

Sontak Sarel langsung mengubah posisinya menjadi duduk, menatap tajam sang oknum yang baru saja mengatakan hal tersebut. Suaranya yang terdengar keras, dan tatapannya yang sangat tajam mengarah padanya.

Sementara itu Andika langsung menarik cowok yang ada di dekatnya. "Nadaf kau sebenarnya kenapa?"

"Aneh ya padahal yang jadi peluka dia sendiri. Tapi nyalahin orang, yang ada kau tuh yang sering ngasih luka ke Dertan," sahutnya yang bahkan sampai mengepalkan tangannya.

"A-adekmu itu beneran nyari ribut ya Dik," Sarel pun ikut terbawa emosi. Dia tidak tahan jika seseorang menyalahkannya seperti itu.

Bahkan tanpa rasa takut, Nadaf memperlihatkan dengan jelas betapa dia murka atas apa yang dikatakan oleh Sarel beberapa saat yang lalu. Padahal itu merupakan kenyataan, keegoisan dari Sarel lah yang membuatnya merasa paling benar.

"Selama ini yang sering nyakitin Dertan siapa? Kau keluarganya kan? Dia bahkan nggak pernah bahagia sama keluarganya sendiri. Dan kau kenapa ngerasa paling tersakiti. Ini nggak lucu lho, yang ada malah lebih rendahan. Playing victim banget jadi orang," Nadaf masih saja mengucapkan perkataan yang sudah jelas membuat Sarel marah.

Andika pun menarik pergelangan tangan adiknya dengan kuat. Dia membawa Nadaf pergi dari lapangan basket. Tadi saja Nadaf tidak ada di sana, dia tiba-tiba datang dan membuat masalah.

"Kau memang suka nyari masalah ya?!"

"Kak, nggak ada yang terbiasa dengan luka. Kenapa kakak cuma dengerin omongan kosong dari Sarel. Dia tuh berlagak jadi korban, padahal dia pelakunya lho," ucap Nadaf sambil mengacak-acak rambutnya.

Tidak ada jawaban dari Andika setelah itu, karena kakaknya yang hanya menatapnya tanpa berniat mengatakan sepatah katapun lagi. Nadaf berlalu pergi begitu saja, jika berlama-lama di sini. Yang ada dia semakin kesal, melihat seseorang yang mengaku telah di lukai.

Ternyata ada juga manusia yang tidak sadar diri, merasa paling terluka bahkan sampai lupa. Jika dia pun telah menjadi sosoknya peluka yang handal.

══✿══╡°˖✧✿✧˖°╞══✿══
ᴛʙᴄ
ᴊᴀᴅɪʟᴀʜ ᴘᴇᴍʙᴀᴄᴀ ʏᴀɴɢ ʙɪᴊᴀᴋ ᴋᴀᴡᴀɴ👌🦋

Ayah Lihatlah Aku [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang