11. jika ayah membenciku, jangan biarkan aku tetap tinggal di sini

147 14 1
                                    

Dertan tahu bahwa Sarel membencinya, dia juga sering memberikan banyak luka padanya. Seakan-akan Dertan pantas untuk mendapatkannya. Hanya saja, kali ini lebih menyakitkan.

Kakak tirinya itu tiba-tiba datang ke kamarnya, dan mengacak-acak semua barang yang ada. Bahkan merobek sebuah foto milik ibunya, Dertan berusaha untuk menjaganya dengan baik. Tapi Sarel justru merobeknya, menjadi robekan kecil yang bahkan tak tersisa.

Dertan sudah tidak tahan lagi, dia berusaha untuk tidak melawan. Hanya karena Dertan tidak ingin terlalu banyak berdebat, dengan alasan yang sama. Di sini dia telah menemukan tempat berpulangnya, walaupun sepenuhnya tidak pernah nyaman.

"Bisa kau keluar dari kamarku? Selama ini aku bukannya tidak bisa marah. Dan bukan karena aku menerima semua perlakuan buruk dari kakak, aku cuma ingin hidup dengan tenang. Tanpa perlu membenci seorangpun di hidupku. Tapi kenapa kakak ngebuat semuanya jadi berantakan. Apa salahku? Kenapa kakak ngelakuin hal kayak gini!" Bentak Dertan dengan matanya yang berkaca-kaca.

Tangannya juga terkepal kuat, dia benar-benar tidak ingin diam saja. Selama dia diam, Sarel menganggapnya lemah karena tak memberikan perlawanan.

"Jadi hanya karena foto kayak gini kau marah? Lagian foto usang yang nggak seharusnya di jaga," katanya dengan sangat santai. Seakan-akan hal itu pantas sekali untuk dikatakannya.

Bugh!

Dertan tidak mampu menahan emosinya lagi, dia melayangkan pukulannya tepat mengenai wajah Sarel. Anak itu langsung jatun tersungkur, dan meringis kesakitan. Tangannya masih terkepal, hendak melayangkan pukulannya lagi jika Galih jika datang untuk menengahi.

"Aden, udah jangan dilanjutkan."

"Kenapa kau bilang foto itu nggak berharga? Kau pikir aku akan tinggal diam. Di balik foto itu, terdapat kenangan dari ibuku. Senyuman ibuku abadi di balik selembar foto, tapi kau merobeknya tanpa bersisa sama sekali. Kau pikir aku akan diam aja gitu? Nggak akan!" Ucap Dertan yang terus memberontak.

Karena kejadian yang menimbulkan keributan itu, Sakta yang mendengarnya langsung menuju ke sumber suara. Dia mendapati Dertan yang di tahan oleh Galih, sementara Sarel yang merintih kesakitan dengan wajahnya yang lebam.

Sudah dapat Sakta ketahui apa yang terjadi, dia pun mendekat pada Sarel. Menyuruh anak itu untuk segera pergi keluar, memerintahkan Galih untuk mengantarkannya dan juga mengobati lukanya itu.

Kemudian Sakta beralih pada Dertan, yang kini jatuh bertumpu sambil menangis sesenggukan. Entah apa yang di terjadi, Sakta hanya tahu jika sebuah amarah baru saja terlampiaskan.

"Kau hanya perlu hidup dengan tenang di sini, jangan ngebuat masalah apalagi sampai keributan," ucap Sakta, seolah-olah di sini memang murni kesalahan dari Dertan.

Padahal di sini Dertan tidak bersalah, dia berhak marah. Ketika barang berharganya di hancurkan oleh orang lain, dia hanya ingin menjaganya dengan baik. Namun, dengan tidak berperasaan. Seseorang merusaknya tanpa memikirkan, bagaimana Dertan berusaha untuk tetap menjaganya.

Dertan tidak ingin untuk terus tetap diam, dia sudah benar-benar berusaha untuk tidak memberontak. Menerima segala perlakuan buruk dari keluarga barunya, dan tidak pernah marah atas apa uang terjadi.

Namun, barang berharganya telah di rusak. Satu-satunya foto ibunya yang Dertan miliki. Bagaimana dia tidak marah, bagaimana bisa dia tetap diam dalam hal seperti itu.

"Foto ibuku di robek sama Sarel, bahkan dia merobeknya tak tersisa seperti itu. Apa ayah akan tetap menyalahkanku? Ayah bilang aku hanya perlu hidup dengan tenang? Ayah tahu apa tentang aku! Aku bahkan tidak pernah hidup dengan tenang yah. Aku benar-benar menderita semenjak tinggal di sini," ucap Dertan yang kemudian berlalu pergi.

Bahkan Dertan sampai menabrak lengan Sakta sebelum keluar dari kamarnya. Sakta memperhatikan sebuah robekan foto di atas lantai. Tidak salah jika Dertan sampai marah seperti itu. Sakta memang tidak memahami putranya, apalagi memperdulikannya.

Hanya karena Dertan diam saja selama ini, semua perlakuan buruk tertujukan padanya. Padahal Dertan terluka, Dertan juga tidak mungkin akan terus baik-baik saja.

Dertan selalu menyakinkan pada dirinya sendiri, bahwa ayahnya pasti akan menatap ke arahnya. Sambil merentangkan tangannya, untuk segera mendapatkan pelukan dari Dertan. Ternyata itu hanyalah sebuah harapan Dertan yang berlebihan, sampai kapanpun. Ayahnya tidak akan pernah mampu memberikan kepedulian padanya.

"Kau tenangkan dirimu," ucap Sakta yang berniat untuk pergi.

Akan tetapi langkahnya terhenti, saat Dertan tiba-tiba saja menarik pergelangan tangannya dengan kuat. Tatapan cowok itu juga terlihat sangat sendu, pipinya juga sembab akan air matanya sendiri.

Namun, di saat itu Sakta tidak menatapnya lebih lama. Dia sekadar memastikan, jika putranya sedang baik-baik saja menurut penilaiannya sendiri pula.

"Kau mau apa?"

"Jika ayah memang ngebenci aku, kenapa ayah membawaku ke sini. Kalau memang terpaksa, nggak seharusnya ayah ngelakuin hal itu. Semuanya menyakitkan bagiku, yah," tutur Dertan yang tertunduk dalam saat mengatakannya.

Sembari menghela napasnya, Sakta melepaskan cengkeraman tangan Dertan darinya. Tanpa mengatakan sepatah katapun, dia langsung saja pergi.

Dertan langsung jatuh bertumpu, ternyata sampai sejauh ini ayahnya masih tetap mengabaikannya. Percuma dia mengatakan banyak hal, percuma saja jika dia meminta pada ayahnya untuk menatap ke arahnya. Hal seperti itu pun, tidak akan pernah terjadi.

"A-aden, sudahlah jangan menangis lagi," ucap Fani yang masuk ke dalam kamar Dertan bersama Galih.

Keduanya mengusap-usap lembut punggung Dertan, dan ikut merasakan sakit yang sama. Melihat apa yang sudah terjadi, dan bagaimana mereka tidak mampu memberikan sebuah pembelaan. Pastinya Dertan menderita sendirian untuk waktu yang lama, hanya karena dia tidak banyak bicara.

Kemudian Dertan memeluk Fani pada sosoknya yang mengingatkannya pada sang ibu. Fani yang lembut, dan memperlakukannya dengan baik. Bahkan Galih juga mampu memberikan hal yang serupa, karena mereka tidak ingin melihat Dertan merasa sakit terlalu lama.

"A-ayah membenciku, Bi. Padahal aku menyayangi ayah, aku ingin ayah melihat ke arahku. Tapi ayah nggak pernah ngelakuin hal itu," ucap Dertan sebagai bentuk pengaduan.

Fani tidak mampu mengatakan sepatah katapun, karena rasanya menyakitkan. Dadanya juga ikut sesak, karena tidak bisa melakukan apapun untuk membuat Dertan tidak kembali terluka.

Setelah mengetahui banyak hal yang menyakitkan dalam hidupnya. Dertan nyaris tidak mampu untuk bertahan. Dia hanya bertahan, karena dia berusaha menepati janjinya pada sang ibu. Padahal baginya kematian bukan hal yang menakutkan.

"Aden hanya perlu bertahan ya, hidup ini nggak semenakutkan itu. Semuanya akan baik-baik saja, rasa sakit yang nggak bisa disampaikan dengan baik. Nggak semuanya akan ngebuat aden kembali terluka terlalu lama," ucap Galih berusaha untuk mengatakan kata penguat untuk Dertan.

Cowok itu pun langsung menangis tersedu-sedu dalam pelukan Fani. Apa yang telah dikatakan oleh Galih mampu untuk menenangkannya. Dia yakin semuanya akan baik-baik saja, jika tidak pun. Dia akan melakukan keputusan akhirnya untuk bertahan hidup.

"Padahal kalau ayah memang ngebenci aku, dia bisa aja nyuruh aku pergi dari sini. Dari pada aku tinggal terlalu lama di sini, semuanya selalu membicarakan luka. Ketika di lukai, mereka sudah merasa paling tersakiti," ucap Dertan yang mengepalkan tangannya dengan kuat.

Melihat itu Galih menggenggam tangan Dertan, semua yang telah diusahakannya untuk tidak dilampiaskan. Pada akhirnya akan meledak juga, Dertan bukan sosoknya yang terlemah. Ada saatnya dia menjadi seseorang yang tak terduga-duga hebatnya.

- - ┈┈∘┈˃̶༒˂̶┈∘┈┈ - -

TBC 🥀

Ayah Lihatlah Aku [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang