Tentang Redupnya Cahaya Bulan

64 3 0
                                    

Seorang wanita berlari di tengah hujan yang deras. Kaki dibiarkan tanpa alas kaki. Tidak peduli apa pun, kecuali ia harus segera membawakan obat sirup untuk bayinya yang sedang demam. Dengan susah payah ia menerobos hujan. Air hujan kalah dengan air mata. Terisak-isak, ia rela sakit. Asalkan anaknya bisa kembali sehat.

Jauh ia bisa menjangkau klinik. Jauh pula ia pulang ke rumah kecilnya yang terletak di pedesaan. Ia harus melewati satu jalan raya yang luas. Penuh dengan kendaraan. Tapi, malam itu sunyi. Hujan deras membuat orang-orang harus berteduh dulu.

“Anakku harus tetap sehat,” ucapnya dengan suara gemetar.

“Ah,” ia menjerit memandangi telapak kaki.

Kakinya tertusuk duri, ia berhenti sejenak. Sakit yang dirasakan tidak membuat kakinya terus melangkah. Rumahnya ada di seberang jalan raya. Sebentar lagi ia sampai setelah melewati jalan raya itu.

Hampir ia melewati jalan raya itu, tiba-tiba ada cahaya terang. Terdengar samar suara orang berteriak. Memperingati wanita itu untuk segera memindahkan dirinya ke tepi jalan.

“Ibu, awas!”

BRUK

Darah bersimbah di sekujur jalan, wanita itu tergeletak lemah tak berdaya. Mobil yang menabrak langsung meninggalkan lokasi kejadian. Plat mobil tidak jelas terlihat ditutupi hujan.

“Bu, bangun.” Warga itu panik dan segera memeriksa sosok malang itu. Ia masih bernafas sambil memanggil-manggil anaknya sambil memegang erat plastik berisikan obat sirup. Warga itu memeriksa wajahnya. Terlihat jelas, ia adalah salah satu warga di desa itu, “Bulan.” Segera ia membopong tubuh wanita itu menuju rumahnya.

TOK TOK TOK

“Assalamu’alaiikum. Pak Baskara, Istrimu!”

“Wa’alaiikumsalam. Ada apa pak Somad?” Dengan nada suara yang begitu panik ia membukakan pintu rumah. Sontak ia kaget, membeku beberapa saat. Air mata bercucuran. Segera istrinya dibopoh menuju kursi kayu yang panjang.

“Bulan, bangun Bulan. Kenapa kamu bisa seperti ini?” ujarnya dengan air mata yang semakin deras.

“Ditabrak lari, Pak. Mobilnya kabur,” sela Pak Somad.

Anak Sulungnya ikut menangis melihat kondisi Ibunya yang semakin tidak berdaya. “Mama kenapa, Pa?”

Terlihat Bulan menggerakkan bibirnya, hendak mengucapkan sesuatu. “Anakku, anakku. Di mana anakku?”

Baskara meletakkan anak bayinya di samping Bulan, sementara anak sulungnya ia peluk hangat.

“Anakku. Jadilah anak yang berbakti, soleh.” Dengan susah payah ia mengutarakan kalimat-kalimat terakhirnya. “Ma… Ma…Maafkan Ibu, Nak.” Ucapnya sedih. “Kelak kalian akan sukses. Teruslah Melangkah.” Setelah kalimat itu, Bulan sudah berpindah alam. Matanya tertutup, air mata terakhir sebagai tanda pengorbanan.

Terlihat ia masih menggenggam obat sirup di tangannya. Dalam keadaan sekarat ia masih sangat memedulikan anaknya. Ia harus pergi, takdir telah memanggilnya untuk pisah.

Semua yang ada dalam rumah kecil itu, sontak menangis terseduh-seduh. Hujan bertambah deras disertai gemuruh dari langit. Bahkan cuaca pun tahu, siapa yang harusnya ia tangisi.

LANGKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang