Di antara ketiga gadis Choi itu, mungkin Jennie adalah yang paling terlihat menikmati hidupnya. Dia selalu melakukan apa pun sesukanya. Tidak terlalu mengejar nilai, menghabiskan waktu dengan bekerja part time, serta bermain bersama teman-temannya setiap malam.
Kenyataannya Jennie tidak sebahagia itu. Dia bukanlah Choi Jisoo yang selalu memandang semua sebagai hal baik. Dia juga bukan Choi Chaeyoung yang memilih melupakan semua perasaan sedihnya.
Jennie adalah yang paling tertekan di antara kakak dan adiknya karena tidak bisa melupakan hal buruk sekecil apa pun. Setiap malam, dia selalu menangis meratapi hidupnya yang seakan ada di tepi jurang.
"Mengapa kita harus menurutinya? Tidak cukupkah selama ini, Eomma? Biarkan anak itu hidup bersama Choi Jinhyuk. Kita bisa menjalani hari tanpa mereka." Seperti sekarang, Jennie manatap putus asa pada sang ibu yang sedang membereskan barang-barang mereka.
Kwon Nara tampak serius untuk menerima tawaran Choi Jinhyuk. Namun Jennie adalah satu-satunya yang masih menolak dengan keras.
"Jennie-ya, dia membutuhkan kita." Mendengar jawaban sang ibu, Jennie terkekeh hambar.
"Eomma, tidak cukupkah kau menempatkan kami di posisi yang sulit?" Suara bergetar Jennie membuat kegiatan Nara terhenti.
Ucapan Jennie ada benarnya. Karena keegoisan Nara, dia harus menempatkan ketiga anaknya pada posisi yang rumit. Tapi seakan hal itu belum cukup, Nara kembali menambah beban mereka.
Mengapa Nara tidak sadar dengan kesakitan ketiga anaknya? Hidup sebagai anak seorang simpanan pasti terasa berat. Hingga Jennie memiliki kebiasaan buruk untuk mengalihkan perasaan kecewa di hatinya itu.
"Mianhae, Eomma bersalah. Tapi, Jennie-ya. Kita tidak bisa meninggalkan adikmu." Nara tampaknya masih bersikeras.
Satu hal yang lucu di hidup Jennie adalah, dia selalu dipaksa mengakui seseorang sebagai adiknya. Seseorang yang tak pernah ia temui. Seseorang yang bahkan Jennie tak tahu rupanya seperti apa.
Berbeda dengan Jisoo yang selalu antusias melihat foto Choi Lisa pemberian Jinhyuk setiap tahun, Jennie selalu menolak itu. Jennie tentu memiliki alasan melakukannya.
Ia hanya tak mau semakin merasa bersalah melihat wajah itu. Sama seperti Chaeyoung, yang sampai sekarang tak mau melihat wajah itu.
"Dia bisa hidup tanpa---"
"Ani!" Bibir Jennie mengatup ketika sang ibu memotong ucapannya.
Melihat kedua mata Nara yang bergetar, Jennie seakan dilingkupi oleh perasaan aneh. Dia tak sanggup membantah lagi. Kalimat yang tersusun dikepalanya seketika pergi entah kemana.
"Jennie-ya, kau mau kan membantu Eomma merawatnya? Dia juga adikmu. Anggap dia seperti Chaeyoung, hm?" Kedua tangan Nara menyentuh bahu Jennie.
Menganggap orang asing sebagai adiknya tentu bukanlah hal mudah untuk Jennie. Terlebih, Jennie tidak tahu bagaimana sifat orang itu.
"Terserah Eomma saja." Jennie menyingkirkan kedua tangan ibunya, lalu memilih meninggalkan Nara.
Untuk menolak rasanya sudah percuma. Jennie berharap, keputusan ibunya tidak akan memberikan perubahan besar untuk hidupnya.
..........
Menahan rasa perih, Chaeyoung mengganti plaster di lututnya. Dugaan gadis itu tepat sekali. Lukanya semakin melebar karena ulah Yebin kemarin.
Hendak membuang plaster kuning di tangannya, Chaeyoung terdiam sejenak. Mengingat bagaimana manisnya sosok gadis berponi yang ia tak tahu namanya memasangkan plaster itu, membuat Chaeyoung seperti tak rela membuangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labyrinth
FanfictionDia sangat rumit. Dia tidak bisa dimengerti. Dia sulit untuk digapai. Layaknya labirin.