1. Lavana Petricia

10 4 2
                                    

Panas. Itu kesan pertama Lavana saat kali pertama menginjakkan kakinya di kota Jakarta. Suhu udara yang tentu saja sangat anomali dengan kota yang dulu ia tinggali, membuat dahi cewek itu bercucuran keringat. Padahal kalau dilihat, matahari sudah menuju ke ufuk timur, seharusnya 'kan gak panas-panas amat.

Suasana hatinya sekarang juga sedang tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Lebih tepatnya, jengkel, ingin mencakar muka orang, kalau bisa gulung-gulung di tanah atau membanting barang, yang untungnya tak akan ia lakukan karena stok kewarasannya masih tersedia mengingat ia berada di tempat umum.

Jika ditanya alasan dia sekesal itu dan masih berada di tempat ini selama empat jam adalah; pertama, koper-nya hilang usai landing, bodohnya lagi handphone-nya ia taruh di dalam koper—dengan alasan: ingin menikmati airplane flights tanpa embel-embel handphone—yang sayang jadi musibah besar baginya karena tak bisa menghubungi siapa dan melacak apa pun.

Oke, menaruh ponsel di koper itu kebodohannya. Tapi kalau koper hilang ia patut sebal dengan pelayanan pesawat—bukan salahnya karena ia tahu tadi ia jelas-jelas menaruh koper di bagasi yang padahal sudah ada tag 'bagasi prioritas' tapi tetap hilang. Tadi, ia sudah mendatangi layanan lost and found di bandara sebanyak tiga kali, tapi jawabannya tetap sama, menunggu. Yang lebih parah, setelah menunggu tiga jam tanpa kejelasan, mereka bilang:

Sorry we cannot find your suitcase, you have to wait for three days, please give us your contact number, and we will contact you if we have information about your suitcase.

Kedua, hal yang membuatnya kesal adalah bertemu dengan dua orang tidak jelas. Ya, Lavana tidak tahu namanya apa, tapi ia menyebutnya pengamen jalanan dan orang gila yang sedang kejar-kejaran kemudian si pengamen itu memberikan tas gendong lusuh padanya dengan mengatakan "Gua nitip tas gua! Jangan sampek ilang! Awas lo!". Semuanya terjadi begitu saja. Saat belum sempat Lavana mengatakan apapun, pengamen itu kembali kejar-kejaran dengan orang gila.

Padahal, Lavana saja tidak saling kenal dengan orang itu. Alhasil ia malah menunggu orang itu mengambil tasnya kembali yang sialnya orang itu tak kunjung datang setelah hampir satu jam.

Dan di sinilah dia, sudah seperti orang jalanan luntang-lantung dengan tas gendong itu yang tidak tahu mau ke mana. Ayolah! Ini pertama kalinya ia ke Jakarta sendirian, kenapa harus sesial ini sih?! Cewek itu jadi menyesal karena tidak menuruti tante Alicia yang akan menjemputnya saja di Malang melalui sopir pribadi, dan malah memilih naik pesawat sendiri beralasan ingin merasakan sensasi penerbangan kedua kali dalam hidupnya.

Sembari mendudukkan diri si sebuah kursi, Lavana merasakan deringan ponsel dari dalam tas asing yang ia bawa. Dahinya mengerut. Sempat terlintas di pikirannya, lancang jika ia membuka tas orang yang tak dikenal. Namun, beberapa saat kemudian, pikirannya berubah.

Ia menemukan ide yang entah benar atau salah. Baiklah, orang gila dan pengamen, maafkan dirinya. Ini demi keselamatannya karena langit mulai menggelap, lagi ia juga tidak ingin membuat tante Alicia khawatir karena tidak bisa dihubungi mengingat ponselnya masih berada di koper. Ia janji akan mengembalikan tas ini. Nanti.

***

Jangan salahkan Lavana yang kini tengah membawa tas itu pergi dan menggunakan handphone—yang beruntungnya tanpa password—di dalamnya buat memesan ojek online menuju rumah tante Alicia. Lagian urusan Lavana bukan untuk mengurusi tas asing milik dua orang gak jelas. Jadi tadi ia meminta sebuah kertas dan meminjam bolpoin di bandara untuk menulis pesan 'tasnya saya bawa, saya keburu pengen berak, kalo mau tasnya datengin alamat ini' yang ia tempel di kursi di mana orang itu menyerahkan tas padanya tadi.

Seenggaknya, Lavana tanggung jawab, 'kan? Walau itu bukan tanggung jawabnya sih. Ia hanya merasa berhutang budi setelah memakai handphone di dalam tas itu tanpa izin. Sebenarnya, Lavana bisa saja menghubungi tante Alicia untuk menjemputnya melalui ponsel itu tanpa harus memesan ojek, tapi dia sadar dia tidak hafal nomornya. Kalaupun hafal, ia tidak yakin tante Alicia bakal menjawab telepon dari nomor tak dikenal mengetahui wanita berkelas itu sangat tidak gampang percaya.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang