8. Why Should I feel like ....

4 1 0
                                    

Saat itu, Lavana pergi ke kamar mandi dulu, meninggalkan Pazia yang tengah asik dengan minuman di bar dan music jedag-jedugnya. Jika dilihat-lihat, cewek blasteran itu seperti tidak asing dengan yang namanya pesta, musik, ataupun bau minuman. Bahkan ekspresinya tampak biasa saja dengan suasana pesta di bar ini.

Padahal ....

"Kalo ditanya sering, gue jarang sih ke pesta ginian. Palingan cuma sekali dua kali kalo bokap gue ngijinin karena perginya sama dia, waktu dia mau ketemu rekannya. Tapi, gue tuh selalu excited banget loh kalo ke pesta gini tau jarang dibolehin dan gak ada yang ngundang. Nah, ini untung diundang kak Fazero. Katanya cuma orang yang diundang doang loh yang bisa masuk! Lo tuh sekali-kali harus coba pesta gini!" Begitulah kata Pazia saat ditanya seberapa sering dan terbiasa dia dengan pesta di bar ini.

Sangat anomali dengan karakter seorang Lavana yang tidak pernah tahu bagaimana itu pesta, tidak suka keramaian yang menyebalkan, atau alkohol yang menyengat. Yang ia tahu adalah sekolah, keteraturan, dan tidak aneh-aneh. Bukan cupu, tapi ia terlalu malas untuk berurusan dengan dampaknya. Lavana itu terlalu teratur, tidak boleh ada masalah dalam hidupnya.

Setelah dari kamar mandi, ia tidak menemukan Pazia di tempat tadi mereka duduk. Ia mengamati sekitar dan matanya berhenti pada bar di seberang yang terdapat Zero serta Pazia yang sedang bersemu dengan pipi merahnya. Cewek itu tampak sangat mudah dirayu.

Lavana mulai mengepalkan tangannya saat Zero memainkan rambut Pazia, membisikkan sesuatu di telinganya. Ia segera beranjak cepat menghampiri Pazia, tak memedulikan orang-orang di sekitarnya yang sedang menikmati music.

"I really didn't expect you'll come at my party," cakap Zero di sela bisiknya yang masih bisa Lavana dengar. Lavana langsung saja menarik Pazia dari jangkauan Zero.

"Jauhin temen gue!" teriaknya keras membuat beberapa teman Zero menatap ke arah keduanya.

"Lav?" Pazia menghempas lengannya. Dari baunya, Lavana tahu Pazia sedang terpengaruh alkohol. Sejak kapan cewek itu minum alkohol?

"Lo mabuk? Pasti lo dikasih dia, 'kan?" tudingnya pada Zero. Zero mengerutkan keningnya.

"Siapa tuh bos, jarang liat, kelihatan lumayan manis," bisik Iver di sebelah telinga Zero yang tak digubris.

"Lo! Lo gila huh?! Bikin anak orang yang baik-baik jadi mabuk gini?!"

"Siapa yang bikin mabuk?" tanya Zero masih tampak santai membuat Lavana kali ini meledak.

"Gue gak mabuk," bilang Pazia masih ingin membela Zero.

"Lo diem, Paz! Lo mabuk!" Seketika itu juga bukan hanya beberapa teman, tapi setongkrongan Zero sibuk memperhatikan Lavana. Baru kali ini mereka menemukan cewek dengan tatapan berbeda pada Zero. "Lo. Lo emang suka banget ya bikin pesta gini, bikin temen gue mabuk?"

Zero diam, wajahnya datar. Tak seperti biasanya yang tersenyum menyebalkan, keningnya malah berkerut. Ia melangkah, melangkah mendekat pada Lavana, menyisakan jarak beberapa senti di sana. "Gue gak bikin dia mabuk tuh ...."

Lavana menatap mata itu. Iris mata hitam kecoklatan yang mengunci tatapan keduanya hingga beberapa detik. Lavana yang tak mau kalah hanya terkekeh, berbunyi pelan sampai percakapannya hanya bisa didengar oleh mereka berdua. "Lo ...! Jadi gini ya kelakukan lo di luar? Cowok berkedok teladan yang suka datang pagi, katanya buat jadi osis, tapi ternyata buat godain cewek!"

"Kalo emang iya kenapa?" Senyuman Lavana menghilang saat respon cowok itu tak sesuai perkiraan. Cowok itu hanya tersenyum menyebalkan. "Lo mau cepuin ke orang tua gue?"

"Bisa kali ya ...," jawab Lavana masih tak mau kalah.

"Oh ya? Suka urusin urusan orang ya?" Zero menatap Lavana intens dengan mata elangnya. Mengikis jarak keduanya. Sial, di saat seperti itu, kenapa wajahnya terasa panas dan mendadak tidak tahu cara bernafas?

Dengan muak, ia mendorong Zero menjauh darinya yang disoraki cowok-cowok lainnya dengan ekspresi kecewa. Untung saja ia tidak melihat keberadaan Raven di sana. Ia segera menarik Pazia yang masih ngeyel itu untuk pergi dari sana.

Mengingatnya, Lavana berdecak sebal. Sejak hari itu, Lavana tidak pernah melihat batang hidung cowok itu di rumah ini selama dua hari. Kata bi Hanah sih Zero memang sering seperti itu yaNg katanya ada urusan sampai nginap di rumah temannya, dan baru hari ini ia melihat cowok itu lagi yang datang ke kamarnya dengan wajah serius.

"Gue cuma mau nyelamatin Pazia doang kok dari cowok jahanam kaya lo. Lagian, lo emang suka bohong gitu ya ke orang tua lo? Padahal setiap pagi, mereka kelihatan bangga banget loh sama lo."

"Bukan urusan lo. Kalo sampek mereka tahu, gue yakin itu pasti lo. Selain suka kentut, kebiasaan lo nambah jadi suka cepu ya?"

"Eh? Kenapa jadi bahas kentut?!"

"Dari kecil lo emang suka kentut."

"Enggak ya!"

"Lagi mengelak dari kenyataan?"

"Gue dari tadi ngebahasnya lo suka bohong! Kenapa jadi bawa-bawa kentut?!"

"Gue gak ngebawa tuh."

"Lo yang ngebahas!"

"Lo juga."

"Lo emang nyebelin gini ya?!"

"Gak kebalik?"

"Terserah lo! Terserah! Siniin foto gue dan cepetan pergi dari sini!" Lavana hendak meraih foto itu, tapi lagi-lagi Zero meninggikan nya.

"Lo pikir semudah itu ngasih ini ke orang cepu?" tanya Zero mengangkat salah satu alisnya, memberi tahu maksud asli kedatangannya ke mari. Lavana menggeram, rasanya kepalanya mau ngebul. Ayolah, dia sedang ada di fase PMS yang bisa meledak-ledak kapan saja.

Kemudian Lavana tersenyum yang dibuat-buat. "Tenang aja, Tuan Muda Adiwangsa. Gue gak cepu kayak fitnah yang lo bilang kok. Lagian, gak ada untungnya 'kan gue cepu ke tante Alicia maupun om Demas soal kelakuan lo itu?"

"You think I'll belive it?"

"Terserah lo mau percaya apa enggak! Siniin! Ih! Zero!"

"Apa jaminan lo?"

"Lo itu karyawan gue ya sampek minta jaminan?"

Zero menggidikkan bahu. Tidak semudah itu ia bisa percaya dengan cewek yang telah mengibarkan bendera perang dengannya sejak dini, ditambah ia tidak akan lupa sebetapa cepu-nya cewek itu dan sebetapa dekat ia dengan ibunya waktu belia.

"Look, gue gak kaget sih sama pergaulan anak Jakarta. Alkohol, disco, having sex kaya yang lo lakuin. Cuma gue gak suka lo ngedeketin Pazia. Dia anak baik-baik."

"Having sex?" Bukannya membahas Pazia, Zero teralihkan fokus. Seperti tidak terima kalau dirinya dituduh atau diklaim dengan dua kata itu. "I have never had sex."

"Just kiss and teas for enjoy my life, but not with having sex. Separahnnya gue, gue masih sadar umur dan batas," lanjutnya penuh penekanan.

Hal yang membuat Lavana terdiam dan terpaku beberapa saat, ditambah tatapan mata Zero yang lebih serius dari biasanya, membuktikan tidak ada kebohongan di sana. Namun yang Lavana rasakan saat ini, ada tatapan lain yang cowok itu berikan yang ia sendiri tak tahu maksudnya, serta ... rasa lega yang mengalir di tubuhnya mengetahui fakta itu.

Lalu, kenapa dia harus merasa lega?

***

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang