Before you start reading, i wanna you to turn star button (vote), Guys!
***
Dia, Fazero Choradeo. Dia Zero! Iya, Zero! Kenapa ia baru ingat sekarang?! Anak laki-laki menyebalkan yang selalu saja mencari gara-gara waktu Lavana masih berumur tujuh tahun, sedang dia yang seharusnya lebih dewasa darinya, tapi malah sukanya cari ribut itu, saat itu berumur delapan tahun. Jika diingat, Lavana dan Zero itu sudah seperti air dan minyak. Gak bisa bersatu! Mulai dari masalah sepele seperti rebutan es cendol sampek masalah besar yang harus kabur-kaburan buat gulung-gulung ke jalanan sepi sampek mau ketabrak truk.
Semuanya akan mereka lalui dengan pertengkaran yang bikin keluarga besar pusing. Tapi percayalah, setiap pertengkaran itu bukan Lavana yang mulai. Diduga, Zero tidak suka dengan ketenangan Lavana.
Sebenarnya nama panggilannya itu bukan Zero yang artinya nol, tapi karena kenakalannya melebihi standard setan kejang, Lavana sekalian memanggilnya 'Zero' sebagai simbol nol akhlak.
Lavana kira, setelah sepuluh tahun tidak bertemu, cowok itu mungkin sudah berubah, tapi nol! Rupanya cowok itu masih saja menyimpan dendam kesumat padanya setelah pertengkaran masa kecil mereka dulu. Nyatanya, cowok itu berubah jauh lebih menyebalkan!
Lavana mengetok-ngetok kepalanya dengan sisir di depan cermin. Teringat kejadian menjengkelkan serta memalukan kemarin malam yang masih terngiang-ngiang di otaknya.
Ya, cowok yang tiba-tiba muncul di ceruk lehernya dengan suara rendah 'Nyariin gue ya?' dan berhasil membuat dadanya merasakan hal aneh di area kolam renang kemarin itu Fazero Choradeo. Sebuah sepak terjang yang membuat dirinya terjingkat, berbalik badan, dan mundur beberapa langkah darinya. Anehnya, Zero malah memperlihatkan senyum miringnya ketika menangkap wajah Lavana yang pucat pasi.
Bodohnya lagi, kemarin Lavana malah kikuk dan menjawab, "I-iya."
"Ma-maksudnya ... aku lagi nyari-"
"Den Fazero!" Untungnya pekikan bi Hanah saat itu berhasil mencairkan suasana freak di antara keduanya. Ia tersenyum pada bi Hanah yang memberi hormat pada Zero, sedangkan Zero bergeming, masih menatap dirinya dengan senyum yang sulit diartikan. Nah, mendengar nama 'Fazero' itulah beberapa detik kemudian Lavana baru tersadar kalau dia itu Zero.
"Den, kenalin, ini Non Lava. Bibi mau bawa ke ruangannya nyonya Alicia!" Bi Hanah terlihat sangat tergesa-gesa, mungkin merasa bersalah meninggalkan Lavana terlalu lama.
"Biar aku aja yang ngater," sahut Zero santai dengan mata yang masih tak beralih dari Lavana.
Bi Hanah tentu saja terkejut, lebih tepatnya ada kekhawatiran di wajahnya yang Lavana tidak tahu apa. "Ah, gak usah, Den, ini 'kan tugas Bibi."
"Sstt! Biar aku aja! Aku lebih tahu soal kriteria pembantu mama."
Bi Hanah terlihat bingung, menatap Lavana yang tak kalah bingung darinya. "Pembantu? Tapi, Den, Non Lava bukan-"
"Sstt!" Zero mengarahkan jari telunjuknya ke hadapan bi Hanah. Kali ini, menoleh ke arah wanita itu bersama senyumannya. "Menolak perintah majikan itu ... gak baik, Bi ... Baiknya Bibi istirahat, muka Bibi pucat."
Bi Hanah mau tidak mau jadi mengalah, tentu masih dengan tampang syok sekaligus khawatir. Selanjutnya, Lavana mengikuti langkah Zero yang entah mau membawanya ke mana. Yang lebih mengejutkan, cowok yang baru beberapa menit bertemu dengannya itu berjalan dengan cara memeluk bahu kiri Lavana dari sisi kanan. "Jadi, lo pembantu baru yang direkrut mama minggu lalu?"
"Lo ... sebenernya cantik sih," bisiknya kemudian di telinga kanan Lavana membuat dirinya merinding juga. Lavana langsung saja melepas pegangan tangan sok akrab cowok itu di bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
RomanceJika ada orang paling menyebalkan dalam hidup Lavana, maka jawabannya adalah Zero. Seperti namanya, menurut Lavana, sepupunya itu punya otak dan akhlak nol. Si Playboy yang diagung-agungkan seluruh sekolah itu tak pernah akur dengannya saat pertama...