9. We Shouldn't Feel it

2 1 0
                                    

Sebelum sadar semua itu, mari saling rasakan apa yang tak seharusnya kita rasakan. 

***

"Sadar umur, tapi lo udah minum-minum, 'kan?"

"Urusannya sama lo apa?"

Lagi, Lavana diam dibuatnya. Bukan karena kalah telak. Jelas, Lavana tidak akan pernah mau kalah. Namun, dia sibuk bertanya-tanya pada dirinya yang tidak biasanya mengurusi orang lain.

"Siniin fotonya!" Lavana bertindak, Zero menjauhkan fotonya lagi."Zero! Gue udah bilang, gue gak bakal cepu, 'kan?" katanya sambil memukul-mukul cowok itu yang herannya tak nampak kesakitan.

Zero mengangguk-anggukkan kepala lalu mengamati foto yang sedari tadi ia pegang dan menyipitkan mata. "Dia yang dibilang saudara tiri lo?" tunjuknya pada salah satu foto gadis di sana.

Lavana menatap foto gadis yang ditunjuk, berhenti memukuli Zero berikut ia melirik ke tempat sampah, memastikan kertas teror tadi telah terbakar sempurna. Matanya Kembali menatap ke arah Zero yang juga menatapnya menelisik.

"Kalo iya emang kenapa?" tanya Lavana.

Zero kembali menatap foto itu. "Sejak om Darya menikah lagi, dia gak pernah balik ke Jakarta."

Di tengah hembusan angin malam di balkon, diam adalah hal yang hanya bisa Lavana lakukan saat menangkap Zero juga diam mengamati foto itu sejenak. Lavana sadar, dulu Darya yang merupakan ayahnya pernah menjadi orang terdekat untuk Zero. Orang yang selalu menghibur Zero saat semua orang memarahi cowok itu sampai Lavana sendiri dongkol karena diabaikan ayahnya hanya demi Zero.

Mulai playstation yang ngetrend pada zamannya, sampai mobil-mobilan termahal melebih harga aslinya, Darya memberikannya pada Zero. Seolah anaknya itu adalah Zero. Meski Darya memperlakukannya sama dan mengatakan lebih menyayangi Lavana, tapi Lavana tidak suka ayahnya itu berbaik hati pada musuhnya.

"Gak boleh gitu, Lava. Dia bukan musuh kamu, dia kakak kamu. Tante Alicia juga ibu kamu, 'kan?" Begitu kata ayahnya dulu. Namun, semejak menikahi wanita yang berasal dari Malang, Darya memutuskan pergi dari Jakarta untuk menetap di Malang.

Jelas, Lavana merasa senang karena tidak akan bertemu Zero yang menyebalkan. Ditambah, ia telah menemukan ibu baru, menemukan kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah ia rasakan sejak lahir. Sherin namanya. Wanita cantik, pekerja keras yang memiliki seorang anak perempuan yang kebetulan seumuran dengannya.

Anak perempuan yang terbilang manis dengan kulit kuning langsat, dan yang menjadi saudari tiri baiknya. Lavana juga tidak menyangka bisa mendapat orang sebaik mereka. Sejak saat itu, Darya tidak pernah kembali karena satu alasan. Alasan yang Zero tidak tahu.

"Then, he left without saying goodbye to me," kata cowok itu pelan.

"To me too," sahut Lavana mengingatkan rasa sakit kehilangan dua bulan yang lalu.

Bola mata Zero terangkat, tertuju pada Lavana yang dengan pandangan menerawang. Cowok itu mengernyitkan alis sambil melangkah mendekatkan diri pada Lavana, membuat Lavana mundur beberapa langkah saat Zero semakin dekat.

Rasanya aneh. Saat cowok itu terus menatapnya dengan serius. Jangan lupakan angin yang masih menerpa dirinya membuat rambut waves-nya berkibar indah. Zero kemudian mengapit dirinya dengan kedua tangan yang ia letakkan pada pembatas balkon saat tahu tubuh Lavana tidak memungkinkan mundur lagi. Hal yang mengakibatkan mata Lavana yang tadi mengerling ke mana-mana, kini saling bertatapan dengan cowok itu.

Dan, kali ini ia bisa mencium aroma khas woody cowok itu.

Zero menyilakan beberapa poni yang sempat menutupi wajahnya. Melihat dengan jelas wajah yang terdapat beberapa jerawat tapi tak menghilangkan kesan cantik di sana. Zero tersenyum dan sialnya itu semua membuat jantung Lavana memompa darah lebih cepat.

"Dulu, the last time I met you, you're so ugly," katanya pelan. Namun, terdengar hangat di telinga Lavana. "Tapi sekarang ... your waves hair, your lips, and your eyes, ngebuat lo lebih ...."

Zero menatap perubahan yang signifikan dari lavana yang dulu, "lebih jelek dari yang gue tahu."

Lavana mendorong Zero saat itu juga. Hell Zero! Padahal jantungnya sudah bergembor-gembor, bisa-bisanya Zero tertawa. Sekarang ia baru sadar sosok seperti apa Zero. Cowok itu tertalu terlihat santai dan tenang, tapi sebenarnya menyimpan sesuatu di otaknya.

"Fuck you!" Ia menyahut foto itu dari tangan Zero, menaruhnya dari tempat yang aman supaya tidak dicolong lagi.

"Ck, baperan! Oh, ya! Asal lo kemarin dari kota mana? Gue lupa!" tanya Zero yang masih tertawa, sedang Lavana tidak mau menjawab, ia tahu cowok gila ini bertanya seperti itu hanya untuk mengejek atau menertawakan apa pun jawabannya.

"Mending lo keluar deh dari kamar gue!"

"Ini rumah gue, jadi ini kamar gue juga," klaim Zero seenaknya.

"Ih! Keluar!" Lavana mendorong Zero sekuat tenaga, meski itu sia-sia dan hanya membuat beberapa barang-barang terjatuh.

"Oh, dari Malang, 'kan?" Zero mengambil salah sebuah gantungan kunci bundar bertulis 'Aku Cinta Malang, Brigindil Wenak Tenan' yang sempat terjatuh dari meja.

Sedang Lavana mendelik, merampasnya cepat dengan muka memerah. Itu 'kan souvenir yang sempat ia dapat dari rumah makan bernama Brigindil saat dalam perjalanan ke Jakarta di mana bapak-bapak di sana memaksanya untuk menerima souvenir itu. Lagian, namanya kenapa harus 'Brigindil' sih.

"Iya, gue dari Malang. Kenapa?"

Zero mengamati penampilan Lavana dari bawah hingga atas. "Pantes. Keliatan kampungan."

Tuh, 'kan! Zero cuma mau mengejeknya!

Sedangkan Zero. Sebenarnya cowok itu tahu, bukan kotanya yang ia ejek, tapi gadis di hadapannya. Ia tahu, Malang itu kota dingin sekaligus kota Pendidikan yang menurutnya cukup menarik. Hanya saja, entah kenapa ia suka membuat cewek di hadapannya merasa pundung.

"At least, kota gue gak sepanas Jakarta!" Jika ditanya mau kalah, tentu saja tidak. Lavana tidak akan pernah kalah dari Zero sekalipun perdebatan non-faedah.

Ingin cewek itu kembali nyrocos untuk melanjutkan, tapi suara yang memanggil namanya serta ketukan pintu berhasil membuatnya melotot. "Lavana? Kamu di dalem?"

Mengetahui Zero yang mengambil ancang-acang untuk menyahuti, Lavana langsung saja membungkam mulut cowok itu dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya menaruh jari telunjuk di bibir mengisyaratkan agar cowok itu tak bicara. "Sttt! Diem bentar!"

Saat suara pintu dibuka dengan kunci dari luar, jantung Lavana seperti mau copot. Cewek itu menatap sekeliling, lalu segera mendorong Zero untuk masuk ke dalam lemari yang untungnya cukup untuk keduanya.

"Kalo tante Alicia sampek tahu kita berdua di kamar gini dengan pintu dikunci, kita bisa dikira ngapa-ngapain tahu!" bisiknya memperingati, sedikit terdengar panik.

Sebuah lampu senter dari hp berlogo apel tergigit terpancar, menerangkan cahaya di tengah gelapnya lemari itu, membuat Lavana kini dapat menatap wajah Zero yang berjarak hanya tiga puluh senti dari wajahnya. Lavana terdiam sesaat dengan jantung yang berdetak kencang kala cowok yang terbilang tampan itu menatapnya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan.

"Lavana ini ada Pazia, nyariin kamu," ucap tante Alicia dari luar. "Kayaknya Lavana gak ada di dalem deh. Maaf banget ya, soalnya tadi kayaknya dia gak keluar sama sekali jadi tante ngiranya dia di kamar. Dia juga kalo keluar biasanya izin."

"Ah, gapapa, Tante. Kita keluar aja." Suara Pazia terdengar santai, kemudian suara selanjutnya adalah pintu kamarnya yang tertutup kembali tanda mereka sudah keluar. Hal yang membuat Lavana lega. Namun, harus kembali berdetak saat ....

"Emang di pikiran lo, kita bisa ngapa-ngapain ya?" Pertanyaan Zero yang masih melanjut peringatannya tadi terdengar pelan, tapi cukup membuatnya berdegup saat matanya kembali bertatapan dalam jarak dekat.

"Zero," panggilnya. "Lo inget 'kan selain sepupuan kita saudara sepersusuan?"

***

A/N:

Huhu, jujur, ini adalah bab yang paling aku suka, karena feels nya dapet gituloh! Menurut kalian gimana? Komen Guys!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang