7. The Look

3 1 0
                                    


Melupakan kejadian itu bukanlah hal yang mudah bagi Lavana. Melupakan sejenak fakta bahwa kedua orang tua serta saudari tirinya yang meninggal bersamaan dalam kecelakaan maut dua bulan yang lalu, juga bukan hal yang mudah bagi Lavana. Alasan kepindahan Lavana ke Jakarta, bukan hanya karena hak asuhnya kembali ke tangan keluarga Adiwangsa, tapi juga karena penyebab kecelakaan maut keluarganya yang masih belum terungkap hingga kini.

Mungkin selama ini, cewek itu terlihat biasa-biasa saja tanpa beban masalah, Lavana pun juga mencoba seperti itu, tapi nyatanya isi pikiran dan batinnya masih sama kacaunya seperti dua bulan yang lalu saat tiba-tiba mendengar kabar kedua orang tuanya dan saudari tiri kesayangannya pergi. Tiga orang yang sedari kecil selalu ada untuknya.

Tentunya kertas misterius yang dapat dikatakan teror itu mengingatkannya pada dua bulan yang lalu.

Lavana menatap kertas itu. Jika dibaca lagi, tidak ada hubungannya dengan kejadian dua bulan yang lalu, tapi Lavana yakin, kertas itu dikirim untuknya, mengingatkan rahasia Lavana yang secara tersirat berhubungan dengan tragedi kecelakaan keluarganya.

Lavana meremas kertas teror itu. Menatap datar dan membakarnya. Perasaannya mulai berkecamuk. Ia kemudian membuka sebuah laman berita kecelakaan di jalan tol pada malam itu yang merenggut keluarganya. Hingga saat ini, masih belum diketahui kronologi dan penyebab pasti kecelakaan itu.

Yang jelas, kecelakaan mobil di jalan tol dari arah Malang ke Jakarta itu terjadi sekitar pukul sebelas hingga dua belas malam dan hanya ditemukan tiga mayat nyaris tak berbentuk yang telah terbakar karena kemungkinan ledakan. Sedang mereka baru menemukan mayatnya pukul tujuh pagi.

Tentu, Lavana bukan orang yang bodoh untuk mempercayai fakta itu. Ada banyak sekali kenjanggalan dari kejadian yang diberitakan. Ledakan karena kebocoran gas, sedang ia tahu keluarganya bukan orang yang seceroboh itu. Rasanya, kecelakan itu sudah direncanakan.

Cewek itu menatap selembar foto di tangannya yang berisikan dirinya, ayahnya, ibu sambung, serta saudari tirinya yang sudah ia anggap seperti saudari kandungnya. Mengelus potret seorang gadis kecil yang sedang tersenyum lebar, bersebelahan dengan foto dirinya. "Maaf," katanya.

"Siapa tuh?"

Lavana terjingkat saat mendengar suara serak yang menakutkan di belakangnya. Berbalik badan dan refleks menyembunyikan foto yang tadi dicekalnya saat sebuah mahakarya Tuhan yang rupawan tersuguh di hadapannya. Wajah cowok yang sedang tersenyum lebar padanya.

"Ngapain lo di sini?" tanya Lavana, mengamati kanan kiri, bertanya-tanya gimana cowok itu bisa masuk ke kamarnya.

Tak menjawab, Zero melangkah maju membuatnya melangkah mundur, dan entah sejak kapan foto yang tadi di tangan Lavana itu sudah berpindah posisi di tangan Zero. Menyadari itu Lavana hendak menyahut foto itu.

"Huhuw!" ejek Zero yang meninggikan foto itu dari jangkauan Lavana.

"Apaan sih! Siniin!" Lavana berteriak sambil berjinjit guna meraihnya.

"Coba aja."

"Sini! Gak lucu tahu gak!"

"Zero! Siniin!" Hampir saja ia berhasil menginjak kaki Zero kalau saja cowok itu tidak menyadarinya dan kemudian tersenyum mengejek seperti biasa.

"Kalo gue gak mau?" tantangnya menirukan nada bicara Lavana saat dimintai ponsel beberapa hari yang lalu.

Zero sialan emang.

"Lo mau apa?"

Senyuman cowok itu kini bukan lagi mengejek, tapi lebih ke oportunis. Ia menengok ke arah pintu kamar Lavana yang tadi ia kunci dari dalam untuk memastikan tidak ada yang bisa menguping, sebelum kemudian memojokkan cewek itu ke dinding pembatas di balkon ruang kamarnya.

"Lo ngunci pintunya? Lo gila? Kalo ada yang denger lo di sini gimana? Yang ada ntar kita dikira macem—"

"Berisik," tuntasnya. Matanya menelisik. "Denger, gue ke sini buat kasih lo peringatan. Jangan pernah lo ikut campur urusan gue atau bahkan jadi tukang cepu ke orang tua gue. I don't like that. Karena kalo mama atau papa sampek tahu, gue gak akan tinggal diam sama lo."

"Gue? Ikut campur urusan lo?" Lavana tertawa garing. "Ngapain?"

"I hope you still remember two days ago in that party."

Ah, iya! Sekarang Lavana tahu kenapa cowok itu tampak berapi-api kali ini. Ingatannya kembali pada dua hari yang lalu saat ia pergi ke pesta yang diadakan tongkronganya Zero.

Awalnya, Lavana yang haid di hari pertama itu sangat mager untuk bepergian. Namun, Pazia sangat ngebet untuk mengajaknya pergi ke pesta yang katanya diundang oleh Zero kemarinnya, mau tak mau dia terpaksa untuk datang, sedang Haifa sedang keluar kota. Padahal dia juga lagi malas-malasnya untuk meladeni Zero kalau-kalau mereka sampai bertemu dan berantem.

Tapi, beberapa menit kemudian, Lavana jadi antusias mendengar nama cowok yang ia idam-idamkan disebut bakal datang ke pesta itu juga. Tentu saja, Raven.

Benar adanya, saat ia datang ke pesta, Raven ada di sana. Salah satu starboy SMA Tribuwana, cowok tampan dengan alis tebal dan perawakan tinggi serta outfit maco yang sungguh tipe Lavana sekali. Ya, walau Lavana tahu ada kalung salib yang berarti dia beda kepercayaan, tapi terkadang beda agama lebih menggoda.

Saat itu juga, matanya menemukan Zero berada di sana. Bersama Raven dan Olivo yang seangkatan dengannya, juga cowok lainnya yang tak Lavana kenal yang sepertinya kakak kelasnya seangkatan dengan Zero. Sialnya, pesta ini adalah milik Zero yang ternyata memang sering diadakan.

Double shit-nya, kini ia melihat cowok itu tengah didekati cewek cantik dengan aura berkelasnya yang mau-mau saja digoda oleh Zero. Lihat, itu adalah cewek yang berbeda yang pernah Zero cumbu di belakang sekolah. Lalu, satu cewek cantik lagi kemudian mencium cowok itu. Dan, bukan hanya Zero, tapi juga teman-teman laknatnya itu.

Lavana bergidik ngeri. Ia akui Zero memang tampan, bahkan bisa dibilang lebih tampan dari Raven meski sama-sama memiliki style berkelas. Namun percayalah, kalau ia tidak datang ke pesta itu, ia tidak akan tahu kelakuan asli Zero. Kalau ia tidak datang ke pesta itu, ia tidak akan tahu cowok playboy itu meminum alkohol.

Sekarang ia tahu, Zero itu hanya menyamar menjadi cowok teladan di depan orang tuanya untuk menutupi kenakalannya ini. Dasar pembohong!

Umpung saja Raven, yang ia idam-idamkan tidak begitu. Di saat kakak kelasnya itu sibuk bermain, cowok itu memilih tertawa dan berdiskusi dengan cowok ganteng lainnya.

"Itu tuh, yang di sebelah kak Zero, namanya kak Iver, kelas dua belas IPS 5, sekelas sama kak Fazero. Biasanya sama kak Fazero, tapi dia tengil. Agak bego," oceh Pazia yang baru ia dengar setelah beberapa ribu katanya tadi tak didengarnya.

"Dih, Zero 'kan juga bego!"

"Engga ih, kak Zero tuh ganteng!" kata Pazia manyun. Nggilani. Pazia melanjutkan, menunjuk seorang cowok berambut coklat dengan kulit tan. "Kalo itu, kak Logan. Sama cool-nya kayak kak Zero. Tapi kak Zero lebih ganteng sih."

"So far, gue gak tahu ya kenapa lo bisa sesuka itu sama cowok gila itu, padahal lo tahu 'kan dia udah goda berapa cewek tadi." Lavana yang terheran-heran itu beralih pada Zero, matanya tak sengaja bersitatap dengannya.

Ya, mata itu.

Tatapan yang menjadi pemicu masalah sekaligus menjadi alasan kedatangan cowok itu ke kamarnya saat ini.

***

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang