Masih ingat soal koper Lavana yang ketinggalan di bandara? Hari ini, Lavana menatap kegirangan koper berwarna ungu muda yang baru saja dibawakan bi Hanah ke kamarnya. Memeluknya dengan mata terpejam yang membuat bi Hanah geleng-geleng kepala. Akhirnya ia bisa mendapatkan kembali iphone edisi lama yang ia beli dengan uangnya sendiri, baju-baju kesayangannya, juga tentunya dokumen identitas dirinya itu.
Ini semua berkat tante Alicia yang turun tangan langsung mengurus kehilangan kopernya. Coba saja kalau bukan karena anggota keluarga Adiwangsa itu, pasti pihak bandaranya tidak akan secepat itu memprosesnya.
Oke, lupakan masalah koper. Beralih pada tas gendong yang malam itu Lavana bawa. Ini adalah ujian kedua karena kebetulan setelah masalah koper, pagi-pagi seperti ini yang Lavana lihat dari balkon kamarnya adalah seorang pria berpakaian punk ditemani gitarnya sedang memukul-mukul pagar kediaman Adiwangsa ini. Berteriak, "Woi, pencuri! Mana tas gua! Kembaliin tasnya!"
Lavana meringis saat penjaga gerbang yang berusaha menenangkan malah terkena gigitan si pria itu. Pria yang saat itu menitipkan tasnya pada Lavana, yang Lavana beri alamat rumah ini. Cepat-cepat, Lavana berlari keluar kamar untuk menuruni tangga, mencangking tas gendong yang kemarin ia bawa. Namun sebelum itu, di persimpangan tangga ia bertemu dengan Zero dengan wajah kusut khas bangun tidurnya.
Lavana tidak menggubris, ia cepat berlari menuruni tangga. Zero yang penasaran pun ikut mengekori Lavana ke arah gerbang. Cowok itu kini melihat seorang pria berpakaian aneh yang sedang berantem dengan penjaga gerbang selanjutnya marah-marah pada Lavana saat cewek itu menyerahkan sebuah tas. Ekspresi frustasi dan sebal jelas tercetak di wajah cewek berambut wavy itu.
"Tapi, Pak, saya itu gak nyuri, saya cuma bawa tas Bapaknya biar aman! Bapak waktu itu 'kan yang titipin ke saya terus kejar-kejaran sama temannya! Kemarin saya juga udah balik ke bandara buat nyariin bapaknya, tapi bapaknya juga gak ada!"
"Bodo amat! Pokoknya elu orang udah nyuri tas gua a! Awas elu ya! Gua cap muka elu! Gua pasang di tiang listrik jalanan biar semua tabiat tahu elu pencuri!"
"Tabiat?"
"Salah ngomong! Habitat! Bodo ya elu?"
Zero kemudian tertawa melihat itu, seolah mengejek Lavana yang sudah pasrah dan hanya bisa mengembuskan nafas setelah dimaki-maki. Tak lama kemudian, Demas dan Alicia kini menampakkan diri, menatap muka kusyut Lavana dan orang berlogat cina campur betawi itu yang baru saja pergi.
"Siapa itu tadi, Ze?" Tanya Demas pada Zero.
Zero hanya menjawab santai. "Pacarnya Lavana."
"Hah?"
"Biasa, orang pacaran. Mereka lagi berantem." Kalimat itu tentu saja terdengar jelas oleh Lavana yang eksistensinya tak melebihi 2 meter darinya. Lavana langsung menatap Zero tak percaya sekaligus sebal.
"Enggak ya! Waktu itu ada orang di bandara yang nitipin tasnya ke aku, karena aku anggep tasnya penting jadi aku bawa ke sini, sekalian pinjem hape di dalem tasnya! Kemarin aku udah cerita ke tante Alicia kok," klarifikasinya diplomatis. Takut kalau sampai om Demas maupun tante Alicia mikir aneh-aneh, mikir dia simpanan om-om, gimana! Emang dasar Zero!
"Jadi lo bawa kabur tasnya?" simpul Zero.
"Enggak, gue bawa ke sini!"
"Sama aja. Orangnya tadi ngamuk."
"Ya nggak tahu, siapa suruh ninggalin tasnya ke gue!"
"Kenapa gak lo balikin aja di bandara?"
"Gue udah bilang, kemarin gue udah ke bandara buat kembaliin tapi ga ada!"
"Kan bisa lo kasih ke penitipan di bandara?"
"Gak kepikiran!" pungkasnya. Lagian kenapa sih Zero tumben-tumbennya mengurusi masalahnya sampai harus jadi penyidik begini? Padahal Lavana yakin, cowok itu bukan tipe orang yang suka mengurusi masalah kecil apalagi masalah orang lain.
"Kemarin juga gak kepikiran?" Zero tertawa saat cewek itu diam, menatapnya sengit. Zero membisikkan sesuatu di telinga Lavana. "Double bego dong gak kepikiran dua kali?"
"Eh, kalo ngomong jangan sembarangan ya!" Lavana melotot pada Zero yang tersenyum miring. Padahal, sedari tadi Lavana sudah menahan mati-matian untuk tidak membantai cowok itu.
Dan, sekarang ia tahu alasan cowok itu mendadak jadi penyidiknya.
"Ternyata selain suka kentut, lo juga bego ya," kekeh Zero.
Hanya untuk mengejeknya!
Mendengarnya, Alicia langsung menghadiahi anaknya itu dengan pukulan. "Kamu itu! Bisa-bisanya ngomong gitu ke sepupu kamu." Alicia beralih pada Lavana. "Lavana, kamu gak papa, 'kan?" Lavana mengangguk sebagai balasan, berikut ia menjulurkan lidah pada Zero, membuktikan tante Alicia ada di pihaknya.
"Udah, udah! Emang di sekitar bandara sering ada pengamen kayak gitu tadi. Suka ngawur kalo nyari atau maki-maki orang. Kamu hati-hati ya!" Demas mengakhiri saat menangkap sinyal permusuhan antara anaknya dan keponakannya itu setelah mengamati interaksi keduanya sedari tadi. Hal yang membuatnya yakin, setelah sekian tahun kedua anak itu masih saja belum akur.
"Sekarang, mending kita sarapan aja!"
***
Jika ada orang lewat depan pintu kamar Lavana dan tidak sengaja melihatnya, dia pasti bakal mengira Lavana sinting. Bagaimana tidak, sedari tadi dia sibuk berginjal-ginjal di atas kasur dengan muka yang memerah, berteriak dengan bibir yang tertutup seperti orang kesemsem sambil mengamati handphone-nya.
Yap, komennya dibalas oleh Raven. Jadi ceritanya dia kemarin habis komen di salah satu postingan cowok yang kini sedang trending jadi starboy-nya tiktok itu: 'kamu sekolah di tribuwana?' saat cowok itu memposting kegiatannya bermain basket.
Kemudian cowok itu membalas komenannya: 'Iya'. Cuma satu kata itu doang, tapi bisa membuat Lavana se-sinting ini, apalagi kalau di-follback Raven?
Lavana sungguh menantikan saat itu.
Senyuman yang menghiasi wajah Lavana kini hilang saat menemukan sebuah postingan Raven yang terdapat Zero-nya di sana. Baiklah, itu wajar karena mereka sesama anak basket, tapi semakin scroll ke bawah, ternyata mereka akrab juga, sudah seperti teman satu tongkrongan pula. Padahal 'kan Zero satu tingkat lebih tua dari Raven dan dirinya.
Lavana mendengus sebal. Kenapa semua orang yang ia temui harus ada 'Zero-nya'?
Ting!
Pazia: ikut seneng dong gue kalo ketemu kopernya
Pazia: udah lo cek lengkap engganya isi kopernya?
Pesan Pazia itu membuat Lavana teringat dengan koper ungunya yang lupa belum dia unboxing saking senangnya komennya dibalas Raven. Ngomong-ngomong soal Pazia, sebab terlalu excited tadi, dia sampai cerita pada cewek yang jadi temannya chatnya itu kalau kopernya ketemu.
Segera ia membuka TSA lock dengan password yang pernah ia buat. Menemukan barang-barang yang dirindukannya.
Namun, kebahagiaannya memudar digantikan oleh jantung yang seaakan digedor saat menemukan secarik kertas dengan sebuah tulisan ditambah noda darah yang mengering.
Gue tahu rahasia lo saat ini:
'PEMBOHONG'
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
RomanceJika ada orang paling menyebalkan dalam hidup Lavana, maka jawabannya adalah Zero. Seperti namanya, menurut Lavana, sepupunya itu punya otak dan akhlak nol. Si Playboy yang diagung-agungkan seluruh sekolah itu tak pernah akur dengannya saat pertama...