3. Come On, It's My First Day School

3 1 0
                                    

Don't forget to click stat!

***

Lavana masih ingat jelas bagaimana dia dan Zero sering bertengkar dan tidak mau mengalah waktu kecil dulu. Ia masih ingat kejadian itu saat Zero membuatnya menangis. Awal mulanya Zero yang salah. Ia disuruh meminta maaf pada Lavana. Zero pun menurut dan meminta maaf, terlihat tulus. Zero mengajaknya bermain dan memperlakukannya seperti seorang adik kandung (meskipun kedua sepupu itu boleh disebut seperti itu karena mereka adalah saudara persusuan yang artinya merupakan mahram).

Lavana percaya saja dengan Zero, ia kira Zero memang sudah berubah. Namun, itu semua cuma angan-angan saat Zero memberinya sesuatu yang ia bilang permen coklat berbentuk bulat kecil-kecil, tapi saat dimakan rasanya aneh. Kalian tahu itu apa? Iya, itu adalah tai kambing!

Huek! Lavana ingin muntah saat membayangkan kejadian itu! Jelas saat itu ia menangis usai ditipu dan melaporkannya pada orang tua Zero, tante Alicia, juga paman Demas. Hal yang membuat cowok itu dimarahi habis-habisan.

Jika ditanya apakah Lavana memaafkannya saat Zero minta maaf kala itu? Ya, dia memaafkannya di depan orang tua serta paman dan bibinya. Oh, tapi jelas masih ada dendam terselubung dalam diri Lavana. Saat itu adalah acara penting keluarga Adiwangsa. Semua orang penting termasuk kolega bisnisnya berkumpul membawa anak dan istri untuk menghadiri pesta.

Zero yang sepertinya memiliki jiwa playboy cap kadal sejak kecil itu sedang menggoda para gadis dengan modal ketampanannya. Banyak anak konglomerat juga di sana. Dengan tega, saat ada kesempatan, Lavana menurunkan celana anak itu di depan semua orang. Membuat celana dalam berwarna merah yang ada saku di depannya bergambar batman telihat di depan semua orang.

Lavana jelas tertawa diselingi tawa anak-anak konglomerat lain yang ikut menertawakannya. Dengan pipi menggembung dipenuhi emosi, Zero bersembunyi di balik rok mamanya, matanya seolah ingin menangis membuat Lavana begitu puas.

Apa pun itu, kalau ketemu, tak ada sedetik pun mereka tidak berperang.

Baiklah, lupakan soal Zero sialan itu ataupun dirinya yang memalukan kemarin! Lavana sekarang harus fokus pada dirinya sendiri kali ini. "It's your first school day in Jakarta! First imperission's people to you!" Setidaknya hanya kalimat itu yang bisa ia pasang di otaknya saat ini.

Ngomong-ngomong soal sekolah, kemarin tante Alicia sudah mengurus kepindahan Lavana dari Malang ke Jakarta. Lavana bakal bersekolah di sekolah yang sama dengan Zero sebagai siswa baru kelas 11. Jadi, sekarang yang ia lakukan adalah menatap seragam baru yang melekat pada tubuh idealnya di cermin. Seragam putih abu model rok ban rempel selutut yang sedikit anomali dengan sekolah lainnya.

Setelah merasa beres, cewek itu menuju ruang makan untuk sarapan sesuai instruksi bi Hanah. Menemukan Alicia dan Demas yang sedang mengunyah oatmeal mereka. Dan, tidak menemukan eksistensi Zero sama sekali sedari tadi.

"There is a toast, then oatmeal, it's tacos, it's buritto. What do you like?" tanya Demas, sedang yang ditanya tergemap sesaat. Percayalah, meja makan ini penuh dengan europan dan American food.

"Kamu lagi diet atau lagi pengin yang berat-berat?" Alicia kini yang bertanya.

"Ini aja, Tante," balas Lavana mengambil selembar toast berikut mengunyahnya.

"By the way, nanti kamu berangkat sama pak supir ya! Fazero udah berangkat dari tadi pagi. Anak itu sukanya begitu, berangkat pagi, katanya lagi bertugas sebagai osis," celetuk Alicia seakan peka saat Lavana sedari tadi mengerling ke sekitar seperti sedang mencari seseorang.

Lavana sedikit ternanap mendengarnya. Keningnya berkerut. Zero? Menjadi osis? Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya.

"Dia itu masih muda, tapi terlalu rajin di sekolah, huh! Masa muda tuh harusnya seneng-seneng gitu loh!" Demas menggeleng-gelengkan kepala. Heran dengan Zero yang sukanya berangkat pagi-pagi hanya untuk mengawas atau melaksanakan kegiatan keorganisasian.

"Ih, Papa, anaknya rajin kok gak suka! Fazero tuh gak kayak Papa dulu. Pemain! Nih, Lav, om kamu ini dulu suka mainin cewek, suka bolos, suka berantem! Beruntung banget Fazero gak kayak dia," saut Alicia membanggakan anaknya yang tidak mengikuti jalan sesat bapaknya dulu.

"I just enjoy my young periode, Ma. Tapi gitu-gitu, dulu Mama tetep suka 'kan sama Papa," goda Demas yang hanya mendapat senyuman dari Alicia, begitupun Lavana yang ikut tertawa.

Meski begitu, Lavana bersyukur tidak bertemu cowok itu. Hitung-hitung mengurangi rasa malu atau gugup kalau sampai sepupunya itu mengejeknya. Dengan begitu ia bisa makan dengan tenang.

***

"Can you please introduce your self in english to me?" tanya seorang cewek berambut pendek dari barisan paling kanan di kelas saat Lavana usai memperkenalkan dirinya. Semua orang langsung menatap cewek itu dan Lavana secara bergantian. Lavan atersenyum saja.

"Hai, Pazia! My name's Lavana Petricia! You can call Lavana or just Lava." Cewek itu, yang melempar pertanyaan tadi, yang bernama Pazia melototkan mata tak percaya.

"Dia tahu nama gue?!" gumamnya tapi masih bisa didengar orang-orang.

"Oke-oke, enough pertanyaan untuk Lavana. Lava, you can sit anywhere that you want. Banyak bangku kosong di belakang." Miss Elis mempersilahkan duduk. Kebetulan jam pertama pagi ini pelajarannya bahasa inggris, jadi tidak heran kalau Miss Elis selaku guru Bahasa inggris itu setengah-setangah pakai Bahasa inggris setengah-setengah pakai indo.

"Duduk sama gue aja!" Mendengar itu, Lavana menoleh saat ia melangkah. Menemukan Pazia yang menepuk-nepuk bangku di sebelahnya dengan senyuman riangnya. Berikut Lavana mengikuti kemauan Pazia.

"How you can now my name?" tanya Pazia langsung.

"Aku lihat di mading depan kelas kok." Perlu di ketahui, mading di depan kelas 11 IPA 1 yang sengaja dipasang untuk jaga-jaga kalau ada lomba mading dan acara-acara sekolah itu dihias tema bumi, di mana di dalam mading terdapat nama-nama anak kelas beserta fotonya.

"So, you did memorize all of names of all student in this class from of the wall?" Pazia bertanya tidak percaya. Matanya sudah berbinar-binar kagum dengan cara menghafal Lavana yang rupanya tajam. Namun, kekagumannya harus dipatahkan saat Lavana mengatakan, "Aku cuma lihat sesaat, kebetulan yang aku hafal nama kamu."

"Oh."

"Lupain! Lo pindahan dari mana?" Kini giliran Haifa—cewek yang duduk di bangku depannya—yang bertanya girang.

"Aku dari Malang."

"Oh, pantes ya lo pake 'aku-kamu' dari tadi." Haifa kemudian mendekatkan diri ke Lavana, membisikkan sesuatu. "Kalo di Jakarta, jangan pake 'aku-kamu', pake 'lo-gue'! Nanti gak akrab! Apalagi kalo misal lo manggil 'aku-kamu' ke pacar orang, ntar lo dilabrak!"

Setelah dibisiki seperti itu, Lavana ber-oh ria sambil mengangguk-anggukkan kepala. Melihat Haifa yang tersenyum dan mengacungkan kedua jempolnya.

"Haifa! Menghadap ke depan!" ujar Miss Elis lantang memebuat cewek itu kikuk. "Ayo, sekarang kamu ke depan, jelasin cara ngerjain matematika pake Bahasa inggris!"

Oh shit!

***

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang